Westerling Mengaku, Apa Kata Keluarga Korban?

Raymond Westerling
Sumber :
  • verouden.pijnackerweb.nl

VIVAnews -- Hanya beberapa hari sebelum peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-67 --- yang dirayakan Jumat 17 Agustus 2012 -- ingatan bangsa ini diajak berpulang ke 66 tahun silam.  Masa kelam, di mana rakyat Sulawesi Selatan dibantai pasukan khusus Depot Speciale Troepen yang dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling.

Terekam Pakai Gas Subsidi, Begini Pembelaan Prilly Latuconsina

Lama terpendam, pembantaian itu kembali ramai dibicarakan, sesudah media massa di Belanda memuat pengakuan Westerling. Pengakuan itu adalah hasil wawancara Joep Buttinghausen dan kameraman Hans van de Busken dengan Westerling tahun 1969. "Akulah yang bertanggungjawab. Bukan tentara di bawah komandoku. Aku sendiri, secara personal memutuskannya," kata Westerling seperti dimuat  situs Volkskrant. Sejumlah televisi di Belanda menayangkan wawancara itu Rabu 15 Agustus 2012.

Tahun 1969 itu para wartawan di Belanda memburu Westerling menyusul pengakuan seorang prajurit bernama Joop Hueting dalam wawancara dengan harian De Volkskrant dan programa Achter het Nieuws.  Sang prajurit mengisahkan secara rinci bagaimana kejahatan-kejahatan militer Belanda di Indonesia berlangsung. Salah satunya adalah tragedi di Sulawesi Selatan itu.

Pesan Pep Guardiola ke Real Madrid: Bukan soal Permainan, Tapi Tolong Benahi Hal Ini

Sebagaimana ditulis dalam buku-buku sejarah tentang tragedi itu, dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh' -- Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dihabisi. Diperkirakan 40.000 nyawa melayang hanya dalam waktu 3 bulan.

Kekejian itu bukannya tak diketahui Pemerintah Belanda. Kala itu komisi penyidik khusus dibentuk. Dalam dokumen berlabel "sangat rahasia" termuat laporan pembunuhan sekitar 3.000 warga selama tiga bulan operasi pasukan Westerling. Namun, diam-diam pada 1954 kabinet memutuskan tidak akan mengusutnya lebih lanjut. Kasus dipetieskan.

Dubes Australia Beri Ucapan Selamat Idul Fitri ke Umat Muslim di Indonesia

Beberapa tahun kemudian hebohlah pengakuan Joop Hueting itu. Para wartawan yang menelusuri pengakuan itu kemudian mewawancarai Westerling. Dalam wawancara itu dia mengaku bertanggung jawab atas kematian 500 orang di Sulawesi Selatan.

Namun wawancara tersebut tak pernah ditayangkan ke publik kala itu. Suasana sedang panas, isu itu terlalu sensitif. Apalagi pengakuan mantan serdadu Joop Hueting sudah menyulut amarah para veteran perang. Bahkan wartawan yang mewawancarainya harus mendapat perlindungan dari polisi.

Tak terbayang jika saat itu pengakuan Westerling yang diungkap, efeknya bisa bak bom meledak di siang bolong. Bagaimana tidak, meski di Indonesia dianggap "tukang jagal", Westerling dianggap pahlawan oleh para veteran. Ia adalah komandan pasukan khusus yang dikirim pada Desember 1946 silam ke Sulawesi Selatan demi menyudahi pemberontakan revolusioner.

Dengan tangan berlumuran darah, Westerling mengaku tak jeri berbuat keji. Ia merasa mendapat dukungan dari Pemerintah Belanda. "Saya bertanggung jawab atas tindakan saya, mereka yang harus membuat perbedaan antara kejahatan perang atau tindakan tegas yang konsisten dan adil dalam keadaan sangat sulit," katanya.

Westerling mengakui bahwa ia mungkin melakukan kejahatan perang, tapi tidak bagi pasukan yang bertindak di bawah perintahnya. Dia juga mengatakan, sifat sadistis yang tersembunyi di dalam diri seseorang dapat berkembang jauh lebih cepat saat perang ketimbang dalam situasi normal.

Alkisah, pasukan Westerling tak hanya memberondongkan senapan ke arah penduduk sipil Sulsel yang tak bersenjata. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, dikatakan, Westerling tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk -- sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, ia juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.

Amunisi baru para penggugat

Terungkapnya pengakuan Westerling dalam video wawancara  itu disambut baik pengacara korban pembantaian Sulsel, Liesbeth Zegveld. "Ini adalah materi yang relevan secara hukum. Wawancara adalah pengakuan bahwa di bawah kepemimpinannya orang-orang Sulawesi Selatan dieksekusi."

JPengakuan itu juga dianggap amunisi baru. "Bukti pengakuan dalam bentuk rekaman itu akan menjadi amunisi baru bagi kami," kata Salman Dianda Anwar, salah satu tokoh dari Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), Kamis, 16 Agustus 2012, yang membantu gugatan 10 keluarga korban.

Ia menambahkan, dalam tiga bulan terakhir, pihaknya telah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti terjadinya pembantaian tersebut. Pengumpulan itu dilakukan dengan mendatangi sejumlah daerah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang menjadi daerah pusat pembantaian Westerling. "Kami melakukan wawancara langsung kepada keluarga bahkan masih ada saksi yang pernah disuruh menggali kuburan para korban," tambahnya.

Untuk memperkuat gerakan tersebut, KNPMBI akan menggaungkan gerakan nasional menggugat pemerintah Belanda dengan pembantaian tak berperikemanusiaan tersebut. KNPMBI dan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) akan menggalang seluruh keluarga korban yang diketahui berada di sejumlah daerah di Indonesia.

KUKB dan KNPMBI mengajukan gugatan dalam beberapa poin, yakni mendesak pemerintah Belanda untuk secara jantan mengakui pembantaian tersebut. Selanjutnya mereka meminta permohonan maaf dari pemerintah Belanda terhadap pemerintah Indonesia. "Kembali lagi, rekaman yang tidak pernah diputar dan baru terungkap itu sebagai modal, bahwa tidak ada alasan bagi Belanda untuk tidak melakukan permohonan maaf," tegasnya.

Lebih dari, pemerintah Belanda harus memberikan kompensasi namun bukan dalam bentuk orang per orang. Kompensasi bisa saja dilakukan dengan membangun rumah sakit, sekolah serta fasilitas lainnya di daerah-daerah yang menjadi pusat pembantaian warga tak berdosa.

Warga berharap, gugatan nasional yang kemungkinan akan dilakukan Oktober mendatang dengan mendatangi Mahkamah Internasional, bisa dimenangkan. Seperti pada kasus Rawagede beberapa waktu lalu.

Namun tak semua keluarga korban setuju atas gugatan itu. Salah satunya, sejarawan Anhar Gonggong. "Ayah saya dibunuh bersama dua kakak saya. Satu kakak dikubur bersama ayah, yang lain di kota berbeda, Pare-pare," kata Anhar kepada VIVAnews. Ia kehilangan 20 keluarga dekat dalam waktu singkat.

 "Jujur, saya tidak setuju dengan gugatan itu. Harga nyawa ayah dan dua kakak saya tidak ternilai dengan uang, miliaran sekalipun. Mereka berjuang demi kemerdekaan, keluarga kami tidak butuh uang kolonial," tegas dia.

Maaf dari Belanda juga bukan sesuatu yang diharapkan Anhar. "Apakah dengan maaf Belanda lantas ayah saya hidup lagi?," kata dia. Baca selengkapnya di .

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya