Politik Pilkada, Istri Tua Lawan Istri Muda

Sumber :
  • Antara/ Regina Safri

VIVAnews - Istri menggantikan suami menjadi bupati. Seorang anak terpilih menggantikan bapaknya. Istri tua bersaing dengan istri muda. Kakak bertarung melawan adik. Fenomena yang bermula setahun lalu itu, belakangan kian marak dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). 

Sebelum Lompat dari Apartemen, Sekeluarga di Jakut Ternyata Habis Lakukan Ini

Lihatlah yang terjadi di Kendal Jawa Tengah. Senin, 23 Agustus 2010, Widya Kandi Susanti dilantik sebagai bupati.  Dia akan menjabat hingga tahun 2015.Terpilih sebagai bupati, bagi Widya sungguh menghibur, sekaligus menegakkan kehormatan keluarga.

Kehormatan, sebab  Hendry Boedoro --sang suami yang menjadi Bupati Kendal sebelumnya--sudah membenamkan harga diri ke titik nadir.  Hendry kini mendekam di kamar bui, lantaran terbukti menyelewengkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APND), Kendal.

Sandiaga Uno Buka Puasa di Rumah Dinas Bupati Tanjung Jabung Barat Jambi

Semenjak sang suami mendekam di kamar penjara, Widya mengambil alih kendali keluarga, juga kendali atas para pendukung politik. Dia mengantikan sang suami sebagai Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kendal, Jawa Tengah. Lalu maju bertarung merebut jabatan bupati pada Pemilu yang digelar 6 Juni 2010. Dan Widya menang secara meyakinkan. Meraup suara 43 persen.

Bagi Widya, terpilih menjadi bupati sungguh membuktikan bahwa citra keluarga tidak seburuk yang digambarkan orang.  Status suami sebagai narapidana korupsi, tidak menggoyahkan dukungan warga Kendal bagi perempuan berusia 46 tahun ini.

Soal Donny Kesuma Sakit Jantung, Keluarga Ungkap Aktivitasnya Padat di Malam Hari

Jika Widya berjuang sendirian,  lantaran suami dipenjara, Sri Suryawidati di Bantul Yogyakarta, dibantu sekuat tenaga oleh sang suami ke kursi bupati. Idham Samawi, sang suami yang juga bupati  Bantul sebelumnya, menjadi mentor Sri Suryawidati dalam  berbagai soal, termasuk mentor saat kampanye pemilihan bupati.

Hasilnya sangat memuaskan. Sri menang secara mencenggangkan, meraih 67,8 persen dari total suara. Pada tanggal 27 Juli 2010 lalu, dia dilantik mengantikan sang suami.

Dilantik mengantikan suami itu juga terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Kamis, 19 Agustus 2010 lalu, Haryanti Sutrisno mengantikan suaminya yang bernama Sutrisno menjadi bupati. Wajah Haryanti  yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu sangat sumringah saat pelantikan.

Jika para wanita di daerah lain bertarung merebut jabatan bupati dengan  musuh politik dari luar, Haryanti bertarung melawan musuh politik  dari "dalam negeri." Lawan terkuatnya adalah Nurlaila, yang tak lain dan tak bukan adalah istri muda Sutrisno. Dan pertarungan istri tua melawan istri muda ini, dimenangkan sang istri tua. Siapa pun yang menang Sutrisno senang, sebab dia akan tetap menjadi pendamping bupati.

Di Indramayu, Jawa Barat, istri Bupati Irianto MS Syafiuddin (Yance) yang bernama Anna Sophanah juga dipastikan menang dalam pemilihan kepala daerah. Anna ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) meraup 60,78 persen suara bersama pasangan calon Wakil Bupati Supendi.

Lingkaran politik keluarga sudah menyebar ke sekujur negeri ini. Ada yang mengantikan sang suami, ada pula yang mengantikan jabatan yang ditinggalkan sang ayah. Lihatlah yang terjadi di Cilegon, Banten. Tanggal 20 Juli 2010 lalu, Tubagus Iman Ariyadi dilantikan mengantikan sang ayah, Tb Aat Syafa'at sebagai Walikota Cilegon.

Sebelumnya, 30 Juni, Rita Widyasari dilantik pula menjadi Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Rita merupakan anak dari Syaukani Hassan Rais, Bupati Kutai Kartanegara yang nonaktif dan digantikan pejabat sementara karena kasus korupsi.

Mengapa para sanak keluarga itu begitu menguat dalam politik daerah. Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, menegaskan bahwa kemenangan para keluarga incumbent ini sangat masuk akal. Mereka, kata Burhan, unggul karena beberapa alasan. Pertama, memiliki keluasan jangkauan popularitas yang lebih baik daripada calon lain.

"Mereka selaku istri atau anak dari incumbent, tentu ikut dalam acara-acara pemerintahan sehingga popularitasnya terdongkrak," kata Burhan.

Faktor kedua, keluarga ini juga diuntungkan dengan keberadaan dana hibah di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). "Pengeluaran dana semacam ini tak perlu tender," kata Burhan. "Sehingga incumbent bisa saja mengeluarkan Rp10 juta atau Rp15 juta untuk Karang Taruna atau masjid yang diambil dari APBD," katanya.

Ada yang Kalah

Namun, dua keunggulan ini tak selalu menjamin kemenangan. Di beberapa daerah, para keluarga ini justru kalah. Di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Titik Suprapti, gagal menggantikan suaminya, Bambang Riyanto, sebagai bupati. Di Labuhan Batu, Sumatera Utara, Adlina T Milwan, juga gagal menggantikan suaminya menjadi Bupati. Di Sidoarjo, Jawa Timur, Emy Susanti juga harus kecewa gagal menggantikan suaminya, Wim Hendarso, sebagai Bupati.

Dalam pemilihan Gubernur Kepulauan Riau, istri Gubernur Ismeth Abdullah, Aida Zulaikha Ismeth, juga harus kecewa. Aida maju dalam pencalonan setelah Aida yang berpasangan dengan Eddy Wijaya dikalahkan oleh pasangan HM Sani dan HM Soeryo Respationo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kepulauan Riau 2010-2015.

Menurut Burhan, kekalahan-kekalahan ini umumnya terjadi ketika sang istri atau anak harus bersaing melawan wakil kepala daerah incumbent. "Lihat saja pada pilkada Kepulauan Riau, pemenangnya adalah Wakil Gubernur HM Sani," kata Burhan. Di Sidoarjo dan Sukoharjo juga begitu, katanya.

Salah siapa

Burhan sendiri menilai, fenomena ini tidak bisa ditimpakan kesalahannya pada rakyat yang memilih. Problemnya justru berada pada partai politik yang gagal melakukan kaderisasi atau rekrutmen calon-calon pemimpin yang memiliki kemampuan.

"Akhirnya, partai cenderung mengambil jalan pintas, mendukung calon yang populer padahal belum tentu memiliki kompetensi," kata Burhan. Dan popularitas, sekali lagi, dimiliki incumbent dan keluarganya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya