Kasus Rawagede, Belanda Kalah di Pengadilan

Proses gugatan hukum kasus Rawagede di pengadilan Den Haag, Belanda
Sumber :
  • Radio Nederland Wereldomroep

Viral Kisah Pengantin Perempuan di Purwakarta Diberi Mahar Emas Palsu oleh Oknum Polisi

VIVAnews - Hakim pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, pada sidang Rabu sore 14 September 2011 waktu setempat akhirnya mengabulkan gugatan atas pembantaian di Rawagede. Menariknya, pihak tergugat adalah Pemerintah Kerajaan Belanda, yang dituntut di meja hijau oleh warga di wilayah bekas jajahannya, Indonesia.

Setelah butuh lebih dari dua bulan mempelajari pledoi dari pihak penggugat dan tergugat, majelis hakim menyatakan Pemerintah Kerajaan Belanda harus memberi ganti rugi terhadap tujuh janda korban pembantaian massal pasukan Belanda di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat pada 1947 atau semasa berkecamuknya perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Rupiah Terperosok ke Rp 16.270 per Dolar AS

"Pengadilan memutuskan bahwa negara (Belanda) telah berbuat salah dengan adanya eksekusi itu dan negara wajib membayar ganti rugi sesuai ketentuan hukum," kata hakim Daphne Schreuder, seperti dikutip stasiun berita BBC.

Menurut keputusan hakim, seperti yang juga dipantau kantor berita Associated Press, Pemerintah Belanda "tak beralasan" berargumen bahwa para janda korban Pembantaian Rawagede tidak berhak menerima ganti rugi karena kasus ini sudah kadaluarsa. Hakim menyatakan hak ganti rugi ini hanya berlaku bagi keluarga langsung korban pembantaian.

Lebih dari 92 Ribu NIK Warga DKI Bakal Dinonaktifkan Pekan Ini

Putusan hakim ini memberi jalan bagi tuntutan agar Belanda memberi ganti rugi, yang nilainya belum ditentukan, untuk para keluarga korban Pembantaian Rawagede. Namun, menurut Radio Netherlands Worldwide, majelis hakim menolak gugatan lain yang diajukan pihak penggugat, yaitu agar Pemerintah Kerajaan Belanda dikenakan dakwaan kriminal atas kekejaman itu.

Belum ada penjelasan langkah selanjutnya dari Pemerintah Belanda sebagai pihak tergugat. Bila pemerintah mengajukan banding, kasus ini belum selesai dan butuh waktu lagi.

Menurut Radio Netherlands Siaran Indonesia (Ranesi), kasus ini diajukan oleh keturunan korban pembunuhan massal di desa Rawagede - yang sekarang bernama Balongsari. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Distrik di Den Haag pada 9 Desember 2009, tepat 62 tahun peringatan pembantaian Rawagede, yang kini bernama Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang.

Desa itu terletak di antara Karawang dan Bekasi. Pembantaian Rawagede diyakini sebagai aksi kriminal paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.

Paling brutal

Tragedi berdarah ini terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede, lalu mengeksekusi warga lelaki di desa itu karena menolak memberi informasi keberadaan Kapten Kustario.

Saksi mata menuturkan, para lelaki itu dijejerkan dan ditembak mati. Indonesia menyatakan, 431 laki-laki dibunuh, Sedangkan pemerintah Belanda pada 1969 bersikeras jumlahnya “hanya” 150.

Pada 1947 Belanda memutuskan untuk tidak menyeret para serdadunya yang melakukan eksekusi massa itu ke pengadilan.

Pada 2009 keluarga korban di Rawagede menggugat negara Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. "Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini," demikian menurut laporan Ranesi.

Saih bin Sakam meninggal pada usia 88 tahun. Ia mencoba menemui Ratu Beatrix selama kunjungannya di Belanda, yang sayangnya tidak berhasil. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup.

Menurut pengacara Kerajaan Belanda, GJH Houtzagers, klaim Rawagede ini sudah terlambat dan kadaluarsa. Masalah ini, menurut dia, harusnya sudah selesai pada 1966 dengan persetujuan finansial antara Belanda dan Indonesia. Kedua pihak juga bersepakat tak akan mengungkit-ungkit lagi semua pelanggaran pada masa konflik bersenjata.

Mewakili pihak penggugat, Liesbeth Zegveld, menolak klaim tergugat. Dia mengingatkan dalam berbagai kasus serupa yang dilakukan oleh Jerman pada masa Perang Dunia II, Belanda tidak pernah mengemukakan alasan kadaluarsa.

Zegveld menilai para janda yang suaminya dibunuh militer Belanda di Rawagede, diperlakukan tak adil. Ini jika dibandingkan korban kejahatan perang dunia kedua terhadap Yahudi. Hak mereka sebagai korban perang dunia kedua diakui, dan menerima ganti rugi. “Ada kebiasaan Belanda tak menolak tuntutan korban perang dunia kedua hanya karena kadaluwarsa. Kebijakan ini juga harus berlaku bagi janda dari Rawagede,” ujar Zegveld, seperti dikutip Radio Netherlands beberapa waktu lalu.

Westerling

Menurut Zegveld, jika kasus Rawagede menang di pengadilan maka bisa berdampak positif bagi korban aksi militer Belanda lainnya di Indonesia. Mereka bisa menuntut ganti rugi juga.

Jeffry Pondaag dari Komite Utang Kehormatan Belanda mengatakan perkara ini bukan hanya di Rawagede saja. "Di Sulawesi Selatan ada pembantaian Raymond Westerling, ada juga kasus Kaliprogo di Jawa Tengah, Gerbong Maut di Bondowoso, dan sebagainya,” kata Pondaag beberapa waktu lalu.

Guru Besar Ilmu Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menanggapi positif dikabulkannya tuntutan para keluarga korban tragedi Rawagede kepada pemerintah Belanda.

Menurut dia, terdapat dua hal yang menjadi catatan positif jika berkaca dari kejadian ini. Pertama, gugatan ganti rugi yang notabene-nya ialah sisi perdata dapat dimenangkan tanpa melalui gugatan pidana terlebih dahulu.

Kedua, keputusan pengadilan yang tidak menerima argumen pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa kasus ini telah kadaluwarsa merupakan suatu terobosan. Dengan adanya keputusan pengadilan ini membuka harapan bagi kasus-kasus lain untuk diungkap.

"Seperti korban kasus Westerling di Sulawesi Selatan dapat melakukan gugatan juga. Sebab, banyak kasus-kasus yang dilakukan Belanda saat berusaha merebut kekuasaan setelah Indonesia merdeka," tuturnya.

Preseden dari kejadian ini, lanjut Hikmahanto, adalah dapat menjadi contoh bila ada keluarga-keluarga korban Belanda lainnya. "Mereka bisa mengajukan tuntutan ke pemerintah Belanda," kata dia.(np)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya