Deputi Gubernur BI Hartadi A Sarwono

"Krisis Global, Mari Fokus ke Domestik"

Deputi Gubernur BI Hartadi Sarwono
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews- Meski 2012 adalah tahun penentuan bagi penyelesaian krisis Eropa, namun ekonomi Indonesia diperkirakan akan tetap tumbuh di atas negara-negara lain. Indonesia punya keunggulan domestik yang dapat menahan goncangan dari luar.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A Sarwono menjelaskan apa saja alasan Indonesia akan tetap tumbuh di atas 6 persen, sementara pertumbuhan ekonomi dunia merangkak di bawah 4 persen. Alumni Teknik Industri ITB ini mengatakan krisis Eropa sangat krusial untuk diselamatkan karena mempengaruhi ekonomi dunia.

Ogah Pakai Pelampung, Bocah 6 Tahun di Cikarang Tewas Tenggelam di Kolam Renang

Bagaimana strategi Indonesia menghadapi krisis Eropa? VIVAnews melakukan wawancara khusus dengan Hartadi di Gedung Bank Indonesia pekan lalu. Berikut petikannya.

Ada faktor menentukan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2012?


Pertumbuhan Indonesia itu sangat tergantung dari asumsi di luar (global) mengenai pertumbuhan ekonomi dunia. Asumsi kita untuk pertumbuhan ekonomi global ini sama yang dikeluarkan International Monetary Fund (IMF) pada World Economic Forum, yaitu pertumbuhan ekonomi global itu 4 persen. Angka itu menghasilkan angka pertumbuhan Indonesia kira-kira 6,5-6,7 persen, seperti yang kita sampaikan pada APBN, sehingga digunakan pemerintah juga 6,7 persen. Meski ekonomi dunia tumbuh 4 persen, kita masih bisa di bawah 6,7 persen. Tapi kalau memang pemerintah berupaya maksimal dalam kegiatan ekonomi, saya kira bisa tumbuh 6,7 persen.

Nah begitu asumsinya berubah misalnya IMF menurunkan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,7 persen karena ketidakpastian ekonomi di Eropa, itu hasilnya bukan 6,7 persen pertumbuhan Indonesia, namun 6,2 persen. Secara aturan jika pertumbuhan global dari 4 persen turun ke 3 persen maka kita akan berkurang ke 0,2 persen dari 6,7 persen menjadi 6,5 persen. Nah kalau terjadi lebih buruk lagi prediksi IMF sebesar 3,7 persen itu bisa lebih buruk.

Di Eropa, belum adanya komitmen ekonomi dan politik yang menyatu meski sudah dibicarakan dalam KTT Uni Eropa oleh pimpinan negara mereka. Komitmen yang bisa membawa perekonomian Eropa membaik sehingga muncul kesepakatan yang baru. Pasar sempat positif sesudah disetujui di Uni Eropa, namun kembali lagi nanti ada kekhawatiran di tiap negara akan berhadapan dengan perlemennya. Belum tentu parlemen secara politik menyetujui. Seperti cerita Yunani yang pemimpinnya sudah sepakat di KTT, namun begitu kembali ke negaranya, diminta untuk referendum. Kredibilitas presidennya hancur sehingga pasar bergejolak lagi.

Dan sekarang pasar itu masih membaca pelan-pelan, masih wait and see.
Tentu ada worst case scenario, bahkan PBB memiliki skenario terburuk dunia hanya akan tumbuh 2 persen, sehingga hasil pertumbuhan ekonomi akan berubah lagi. Namun ada optimisme kita di Indonesia kalau kita lihat dampaknya mungkin tak akan seburuk di negara lain. Ini agak beda. Khususnya yang kita lihat di kuartal II kemarin. Meski ada gonjang-ganjing di Eropa dan Amerika, pertumbuhan ekonomi kita masih tinggi. Ekspor yang prediksinya akan turun itu masih tetap naik. Bila kita analisa lebih lanjut, kenaikan terjadi karena perubahan tujuan negara ekspor khususnya China yang pertumbuhan ekonominya masih tinggi. Dan India, meski mereka memiliki problem dengan inflasi, tapi domestik demand-nya masih besar.

Namun saya juga perlu mengingatkan kita juga harus tetap waspada karena siapa tahu perekonomian terus memburuk. Itu juga bisa berdampak pada China dan India. Kalau mereka kena maka kita akan juga kena. Negara lain kalau kita bisa lihat itu di bawah itu semua. Nah itu semua karena sektor riil tahan pemburukan di Eropa. Namun yang kita terus monitor adalah finansial market, yang dampaknya cukup besar.

RS Polri: Seluruh Jasad Korban Kebakaran Toko Frame Mampang Sudah Teridentifikasi

Bisa dijelaskan apa dampak di pasar keuangan?

Hal itu bisa dilihat di pasar obligasi (bond), dan saham di pasar modal, lalu dampaknya ke nilai tukar. Tiga hal itu. Asing biasanya pegang obligasi dan saham. Dulu juga masuk di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan kebijakan kita dari BI mencoba mengalihkan itu ke instrumen lain. Karena meski kita welcome ke capital inflow, karena dananya bisa membiayai ekonomi kita, khususnya jangka menengah panjang. Tapi kita tidak suka jika dia masuk ke SBI. Sehingga kita ganjal dengan lelangnya kita perpanjang. Kita lelang hanya tenor jangka panjang dan itu secara bertahap. Sehingga sisanya tinggal 9 bulan. Yang tenor jangka pendek kita tutup dulu. Ada six month holding period. Itu semua maksudnya supaya investor di SBI beralih ke yang lain. Akhirnya masuk ke bonds market dan saham.

Bonds market memang bisa digunakan pemerintah membiayai perekonomian. Jadi bakal bermanfaat, dan pemerintah sudah mendapat manfaatnya dengan cost borrowing-nya rendah. Yang namanya suku bunganya bonds itu turun, harga turun, sehingga kalau dia mengeluarkan surat berharga negara (SBN) itu biayanya rendah. Itu jadi ada manfaatnya dan negatifnya. Sebagian dari investor itu memang ada yang hanya main-main dalam situasi ini, yang hanya mengambil keuntungan, dan memang yang spekulatif, dan mereka cepat menukar SBN-nya dan menukar rupiahnya dengan dolar. Dia tempatkan ke tempat lebih aman, dan itu akan memberikan tekanan kepada nilai tukar. Sehingga kita mengambil strategi, kita menyebutkan dual strategy, yang perlu dilakukan bersamaan. Kita akan intervensi di valas jika ada yang mau beli valas ya kita jual, dan kita serap rupiahnya. Dan secara bersamaan rupiah yang peroleh tadi kita buat beli SBN. Sehingga di waktu yang sama kita bisa stabilkan nilai tukar dan bonds market.

Apa bedanya dibanding strategi BI pada tahun 2008?

Kalau 2008 tak memungkinkan kita menggunakan SBN kita jualbelikan waktu itu. Mungkin belum terlalu banyak. Perhitungan cost-nya juga tidak memungkinkan kita jual. Jadi itu bedanya. Kalau dulu kita masuk ke valas itu juga mengetatkan rupiah sehingga terjadi kekeringan rupiah. Dan kondisi pasar uang antar bank (PUAB) kondisinya berbeda. Sekarang kita lihat di pasar likuiditas cukup baik rupiah dan valas, dan saya juga lihat terjadi kestabilan di harga bonds, dan sekarang juga sudah balik lagi. Ini meningkatkan kepercayaan investor kalau terjadi sesuatu BI akan menjaga, jadi mereka percaya untuk kembali. Yang tadinya keluar sekarang sudah balik lagi. Itupun baliknya pelan-pelan, karena terlanjur barangnya tak ada karena SBN itu di pegang orang lain, termasuk BI tak ada yang jual, dan ini bagus. Mereka kesulitan masuk ke sini, dan yang masuk tidak sama seperti yang keluar.

Dulu sudah kita ingatkan para investor sebetulnya, kalau mau keluar ya silahkan saja. Mau masuk kemana sih? Di dunia ini, Indonesia bagus dan tahan. Jangan anda mau balik lagi, nanti tidak ada SBN-nya lho. Dan ternyata benar. Sekarang kita sudah mengeluarkan cadangan devisa Rp65 triliun. Dari Agustus-September sendiri Rp30 triliun untuk membeli SBN. Jadi ada tambahan sekitar Rp35 triliun kita beli itu di pasar, dan mereka jadi kehilangan barang kan.

Rp65 triliun selain bisa menstabilkan bonds market, dia juga bisa digunakan untuk tambahan instrumen dalam operasi menstabilkan likuditas di pasar selain menggunakan SBI dan term deposit, kita pakai reverse repo namanya. Jadi bank yang kelebihan likuiditas bisa pakai reverse repo kita, nanti kapan waktunya bisa dikembalikan ke BI.

Kenapa BI tidak mengintervensi credit default swap (CDS)?

Memang sempat kita lakukan itu, karena pada waktu itu CDS  selalu bergerak duluan, Singapura juga buka dulu dibanding Indonesia. Metode itu mereka analisis, dan itu kan hanya off shore dari berbagai analis perbankan dan dia melihat situasi kemungkinan rupiah akan lemah karena ini, dan ini. Dia quote saja seenaknya misalnya bank A dia quote Rp9.500 per dolar dan mereka punya rata-rata, sehingga mereka buka duluan dan Indonesia ikut-ikutan.

Kita coba apakah ada untungnya kita melakukan intervensi di CDS ternyata itu tidak terlalu signifikan dan tanpa alasan yang kuat. Dan alasan itu hanya sentimen negatif. Kalau terjadi sesuatu di Italia dan dia pasang quote seenaknya saja. Sehingga waktu kita main di DS kita tidak tahu musuhnya siapa. Yang penting itu di dalam negeri supaya tenang dan mereka tidak ikut-ikutan CDS.

Cadangan devisa terakhir sudah turun berapa?


Ya memang benar sudah turun cukup banyak. Terakhir US$ 124 miliar sekarang US$111 miliar ya seperti itu. Namun bukan karena intervensi bonds market, karena betul-betul demand. Saya sering bilang kepada media, misalnya krisis itu memang selalu terjadi di kuartal apabila ada sentimen negatif di kuartal empat, itu demand valas akan bertambah, dan banyak perusahaan asing itu tutup buku. Pembayaran bonus, utang itu terjadi di kuartal empat. Begitu juga pada krisis 2008 ada tambahan. Saya punya keyakinan bahwa kekuatan kita di cadangan devisa. Cadangan devisa masih kuat meskipun sudah melorot gitu.

Tapi dari fundamental kita kuat dari balance of payment itu surplusnya tahun ini kira-kira US$11,7 miliar pada 2012, dan kita sudah prediksi meskipun ada defisit di current account di transaksi berjalan namun di capital account kita akan kembali surplus. Bahkan surplusnya akan ditambah oleh FDI besar karena banyak minat oleh investor sudah akan masuk apalagi kalau kita berhitung  ada investment grade sudah pasti akan menambah kepercayaan. Dengan begini nilai tukar rupiah kita juga akan cenderung kuat.

Terkait kondisi Eropa?

Saya juga masih akan terus memonitor dan di Eropa, kita tahu permasalahan di Eropa itu fiskal defisit karena pinjaman oleh bonds dan itu di-downgrade ratingnya, di default juga dan itu akan menambah kacau bonds market. Dan celakanya bonds market mereka dipegang oleh bank mereka, jadi bank-nya kena juga. Bank itu memberikan landing untuk Eropa, kecil karena dia harus menyediakan cadangan. Pertumbuhan Eropa akan terganggu apabila tidak ada financing dari perbankan mereka. Ada yang mengatakan Eropa memang too big to fail, jadi pasti akan segera dibantu oleh semua pihak selain Eropa.  Kalau Eropa jatuh dunia juga akan jatuh.

China juga tidak mau jadi penolong mereka?

Saya rasa ini sangat sulit. Bagaimana kita mau menolong tapi kita akan rugi duit, kita dimarahi sama pembayar pajak kita. Jadi komitmen China oke saya bantu, tapi sepanjang melalui IMF dia bisa menambah uangnya di IMF. IMF sebagai agen internasional dia punya superiority dalam pengembalian utang. Jadi kalau terjadi default misalnya, dilelang ya bayar duluan.

Apa strategi BI menghadapi ini?

Yang paling penting saya kira pemerintah dan BI harus siap bekerja sama agar lebih fokus pada kegiatan ekonomi. Kalau kita konsentrasi di situ akan mengurangi ketergantungan pada pihak eksternal khususnya ekspor. Nah fokus pada domestik. Kita masih punya ruang untuk mengontrol kebijakan, seperti memberikan stimulus fiskal. Nah kita bisa lakukan di fiskal dan di moneter. Ruang itu ada. Kalau pemerintah bisa memberikan stimulus, artinya penyerapan lebih optimal.

PSSI Buka Suara soal Dugaan Pengaturan Skor Bhayangkara FC Vs Persik

Kedua, meningkatkan defisit sendiri yang lebih besar khususnya infrastruktur. Harus bisa dilihat oleh pemerintah, karena kalau pemerintah tidak menginvestasikan ke infrastruktur jalan dan sebagainya, ya swasta tidak bisa ekspansi kalau jalan macet terus. Ini harus menjadi program utama pemerintah. Kalaupun dia mencari biaya untuk defisit sekarang juga kita kondiskan cost of financingnya murah. Itu terjadi pun kita masih tumbuh bagus dan kemudian dibantu inflasi rendah. Itu ruang untuk melakukan kebijakan moneter, saya prediksi inflasi bisa di 4 persen.

Latar belakang Anda menarik, lulusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, dan bukan orang ekonomi. Bisa cerita soal ini?

Masuk Teknik Industri itu bukan by desain dan by planning. Saya begitu lulus SMA ya pikirannya betul-betul mau jadi insinyur. Saya beruntung masuk ITB tahun 1973, itu pertama kali diterapkan tingkat pertama bersama. Jadi mahasiswa baru itu masuk tanpa ada tingkat jurusan, itu satu tahun. Itu pertama kali disana saya angkatan 1973 itu. Saya kira itu program paling baik untuk betul-betul menyesuaikan keinginan mahasiswa nanti dia ke depan seperti apa. Jujur waktu masuk saya mengalami pergolakan batin, saya pindah-pindah. Waktu itu saya ingin masuk ke Teknik Kimia. Tapi saya pikir apakah saya ingin bekerja di pabrik terus. Kebetulan saya suka kimia. Jadi perdebatan ada di dalam diri saya sendiri. Akhirnya saya masuk ke Teknik Industri.

Mengapa memilih Teknik Industri?

Memang dia sangat luas kesempatan kerjanya. Waktu itu Pak Matthias Aroef pendiri Teknik Industri ITB itu sangat pandai membuat ilmu TI kepada mahasiswa baru. Ditengah umpatan jurusan lain terutama Jurusan Mesin. Jurusan mesin sama TI itu dekat sekali, cuma TI ditambah manajemen, tak hanya mesin tapi faktor produksi secara keseluruhan. Ya bisa di pabrik mengenai mesinnya, bisa di bank karena sistemnya. Jadi ilmu itu sangat luas, bagaimana mengolah faktor itu sehingga dikasih berbagai ilmu yang mendekati-mendekati dari mesin dan ekonomi, elektronik. Jadi saya disuruh melihat faktor produksi bagaimana. Dan waktu saya masuk ke TI belum ada komputer. Puskom ITB satu-satunya yang punya pusat komputer.

Saya baru mengenal komputer di tingkat akhir, dan saya juga orang pertama yang mengerjakan skripsi menggunakan komputer. Belum ada mahasiswa TI yang skripsinya itu dikerjakan dengan komputer.

Dari situ simulasi tesis saya itu membuat simulasi komputer untuk antrian pesawat. Waktu itu bandara di Kemayoran, belum ada Cengkareng untuk membuat operasi apakah bandara kapasitasnya masih cukup apa tidak. Jika ditambah runway baru, atau harus pindah gitu. Simulasinya itu pakai komputer. Bandara kita modelkan di komputer dan itu saya modelkan di tesis saya. Nah sekarang aplikasi itu yang menjadi backbone dari econometrics sekarang. Jadi ketika ditanya proyeksi pertumbuhan ekonomi 2012 saya bisa jawab. Misalnya jika kondisi dunia tengah bergejolak kita bisa masukkan sebagai indikator. Sekarang di Direktorat Riset dikembangkan itu.

Kemudian saya ambil kesempatan sekolah. Saya ambil ekonomi, saya perkuat makro ekonomi karena kebetulan saya kuat di matematika. Saya teruskan Phd, dan waktu itu saya langsung duduk di Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (DKM).

Berapa tingkat keakurasian ekonometrik dengan hasil realita?

Kalau yang zaman sekarang akurasi menjadi penting dan terus dievaluasi oleh teman-teman di DKM. Sehingga modelnya berkembang dari yang saya kembangkan pertama kali itu pun sudah semakin advance bahwa teori yang mendasarinya juga berbeda. Akurasi kalau model harus terus di-input jadi apa yang kita masukan itu kan keluar output dengan akurasi sangat baik. Ini sangat bergantung pada asumsi pertama.

Ada usul bagi alumni?


Ya saya kira Teknik Industri berkembang dengan baik, dan banyak peminatnya di berbagai perusahaan. Mereka yang belajar teknik industri itu kalau tetap open-minded itu baik, jadi dia tidak terkungkung, dan masih memiliki kesempatan luas.

*Wawancara ini merupakan kerjasama dengan Ikatan Alumni Teknik Industri ITB

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya