Perseteruan KPK dengan Polri Makin Memanas

KPK Bertemu Kapolri di Mabes Polri
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

VIVAnews - Perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian RI makin memanas. Mereka saling mengklaim paling berhak mengusut kasus korupsi proyek simulator SIM di Korps Lalu-lintas Mabes Polri.

Hari ini, Senin 6 Agustus 2012, Polri sampai mengundang dua pakar yakni pakar tata negara Yusril Ihza Mahendra dan pakar pidana Romli Atmasasmita ke Mabes Polri. Selain itu, Polri juga mengundang tersangka korupsi, Inspektur Jenderal Djoko Susilo, beserta pengacaranya Hotma Sitompoel.

Mereka diminta untuk membedah aturan yang ada dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk MoU tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain mengundang pakar, Kapolri juga menggelar pertemuan dengan mengundang perwira menengah dan tinggi. Dalam pertemuan yang digelar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian itu juga dihadiri purnawirawan Polri.

Selain itu, datang juga Wakil Kapolri, Komisaris Jenderal Nanan Sukarna, Mantan Wakapolri, Komisaris Jenderal (Purn) Adang Djaradjatun, mantan Kapolri Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, dan Mantan Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki, Ketua Badan Narkotika Nasional, Gories Mere, dan mantan Kapolri Jenderal (Purn) Sutanto.

Pecahkan Rekor Tertinggi, Harga Emas Hari Ini Tembus Rp 1.249.000 Per Gram

Konflik Keperntingan?

Mantan penasihat hukum KPK, Taufik Basari, melihat apa yang dilakukan Polri hari ini menunjukkan bahwa pimpinan Polri menggunakan institusi dan kekuasaannya dan bertindak terkesan melindungi orang-orang yang diduga terlibat.

"Harusnya secara institusional Polri tidak menunjukkan melindungi orang-orang yang terlibat. Tapi sekarang justru membuat kita melihat ada konflik kepentingan dalam pengusutan kasus ini," kata Taufik Basari, saat berbincang dengan VIVAnews, Senin 6 Agustus 2012.

Menurut Taufik, di satu sisi polisi menegaskan ingin menangani kasus ini. Namun di sisi lain, mereka menggunakan fasilitas dan kekuasaan institusinya untuk menggelar pertemuan. "Termasuk melibatkan orang yang seharusnya diperiksa (Djoko Susilo)," ujarnya. "Ini semakin meneguhkan bahwa akan adanya konflik kepentingan di sini. Dan polisi harus menyerahkan kasus ini ke KPK."

Namun, Kapolri Jenderal Timur Pradopo berkilah bahwa pertemuan dengan perwira tinggi, purnawirawan, dan sesepuh Polri ini adalah acara biasa untuk membahas segala permasalahan di Polri. "Termasuk penangan korupsi di Korlantas Polri salah satunya itu," kata Timur di PTIK, Jakarta.

Kapolri menegaskan, apa yang dilakukan Polri masih berdasarkan hukum yang berlaku. "Semua tentunya masih berdasarkan hukum, hukum yang mengatur semua, kita patuh pada itu," ujarnya.

Lalu apakah melakukan konsolidasi juga dengan purnawirawan? "Nggak, kami sudah jadwalkan sudah lama memang ada kegiatan rutin termasuk selama bulan Ramadhan," lanjutnya.

Pakar tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai, kisruh yang terjadi antara Polri dan KPK ini dapat dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

"Saya mengemukakan pendapat bahwa itu adalah alternatif terakhir apabila kedua belah pihak tidak dapat berkompromi lagi. Presiden juga tidak berdaya mengatasi masalah antara dua lembaga penegak hukum ini," kata Yusril saat ditemui usai rapat bersama Polri dan pakar di Gedung Divisi Hukum Mabes Polri, Jakarta, Senin 6 Agustus 2012.

Yusril mengakui berbeda pendapat dengan Ketua MK, Mahfud MD. Dia berkeyakinan bahwa MK berwenang untuk memutus sekiranya terjadi sengketa kewenangan antara Polri dengan KPK.

"Polri itu diatur dalam Undang-undang Dasar, pasal 30 UUD 1945. KPK tidak. Kewenangan Polri disebutkan dalam pasal 30, untuk menegakkan hukum. Kewenangan KPK itu didasarkan pada undang-undang bukan UUD," ujarnya.

Yusril mengemukakan kekisruhan itu akan menjadi sesuatu yang menarik jika dibawa ke MK. Dan MK akan memutuskan siapa yang berwenang. "Ketentuan-ketentuan UU KPK itu harus dibaca utuh dengan ketentuan pasal 50 ayat 1, 2, 3, 4. Jadi yang lebih dulu melakukan penyidikan adalah polisi, dan karena itu KPK tidak bisa begitu saja mengambil alih penyidikan yang dilakukan polisi itu," jelasnya.

Pengambilalihan KPK terhadap penyelidikan kasus ini dapat terjadi jika ada sebab-sebab tertentu yang diatur dalam UU. Misalnya, penyidikan berlarut-larut, mengandung korupsi, atau Polri ingin melindungi mereka yang terlibat dalam korupsi.

"Dan selama ini tidak dilakukan oleh Polri, tidak terdapat cukup alasan bagi KPK mengambil alih penyidikan yang lebih dulu dilakukan oleh Polri," jelas Yusril yang kini juga menjadi pengacara Siti Fadilah Supari, tersangka korupsi di Kementerian Kesehatan yang kasusnya kini ditangani Polri.

Ten Hag Bawa 3 Pemain Man Utd U-18 ke Tim Senior

Usulan Yusril ini pun langsung diamini Kapolri Jenderal Timur Pradopo. "Kita lihat saja nanti, kalau nanti ke arah sana kita ikut saja," kata Timur.

Kuasa hukum Inspektur Jenderal Djoko Susilo, Hotma Sitompul, menolak menjawab saat dimintai keterangan soal siapa yang berhak menangani kasus korupsi simulator SIM di Korp Lalu Lintas (Korlantas) Polri itu. Alasannya, hal itu hanya akan menambah panjang perdebatan yang sudah mengemuka. Hotma juga enggan mengatakan apa hasil rapat bersama Polri tersebut.

"Yang terpenting adalah bagaimana penilaian kita semua terhadap tindakan KPK menggeledah kantor polisi. Apakah itu mensupervisi, apakah itu menambah wibawa kepolisian, atau menghancurkan wibawa kepolisian? Biar masyarakat menjawab," ucapnya.

Pada kesempatan tersebut Yusril mempertanyakan kewibawaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Kalau Presiden punya wibawa, tentu dia bisa berbicara kepada dua institusi ini, baik kepada Kapolri maupun KPK. Meski KPK bukan bawahan Presiden melainkan lembaga independen, tapi Presiden paling bertanggung jawab atas apa yang ada di negara ini," kata Yusril.

Terkait dengan pernyataan Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, yang menyebut SBY tidak ingin mencampuri persoalan tersebut karena khawatir disebut melakukan intervensi, Yusril menegaskan dirinya tidak sepakat dengan ucapan Julian itu. Yusril mengatakan, bentuk intervensi tidak seperti itu.

"Juru bicara Presiden selalu bicara begitu kalau ditanya soal kejaksaan, Polri. Selalu bilang itu intervensi hukum. Tapi, kejaksaan, kepolisian, itu memang berada di bawah presiden, dan presiden bisa memberikan pendapat dan saran kepada bawahannya," terang Yusril.

Yang tidak boleh, ujar Yusril, apabila presiden melakukan intervensi terhadap pengadilan.

Kesalahan KPK?

Pakar Hukum Pidana asal Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita, justru mengkritik tindakan KPK yang ikut menandatangani Surat Kesepakatan Bersama dengan Polri dan Kejaksaan Agung.

"Harusnya tidak perlu diteken sama Abraham Samad (Ketua KPK) karena Undang-undang KPK cukup jelas. Tetapi memang ada yang perlu diteken, misalnya teknis," kata Romli usai pertemuan dengan pejabat Polri di Gedung Divisi Hukum Mabes Polri.

Romli mengatakan dalam kisruh penanganan kasus korupsi di Korp Lalu Lintas (Korlantas) Polri, baik Undang-undang KPK maupun MoU ketiga lembaga wajib digunakan. Hal itu dikarenakan, Ketua KPK turut menandatangani. "Kalau yang tanda tangan Polri, kejaksaan, bisa diabaikan," terangnya.

Jika KPK ingin mencabut MoU sebetulnya tidak masalah. Namun, lanjut Romli, kemudian ada persoalan integritas di sana. "Saat tanda tangan baca apa tidak? KPK itu lembaga superbody, pimpinannya harus berintegritas. Kalau MoU tidak berlaku (dianggap), itu masalah serius," ujarnya.

Romli menambahkan, KPK tidak hanya akan terpojok dari sisi integritas, dari sisi hukum pun demikian. Dia mengatakan bahwa MoU bukan persoalan level yang di bawah atau di atas undang-undang.

"Ini pimpinan lembaga KPK sudah menandatangani. Itu kesepakatan bersama, perjanjian. Itu sama mengikatnya dengan Undang-undang. Jika seseorang tidak melaksanakan perjanjian dari pasal itu berarti seseorang melanggar undang-undang," ucapnya.

Lantas bagaimana solusinya? "Solusinya mesti duduk bareng," ucapnya.

MoU yang dipermasalahkan adalah Surat Kesepakatan Bersama tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MoU ini diteken tiga lembaga itu pada 28 Maret 2012.

Pasal 8 MoU itu disebutkan:

1. Dalam hal para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan, maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan para pihak.

2. Penyidikan yang dilakukan pihak kejaksaan dan pihak Polri diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama tiga bulan sekali;

3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampaian bulanan atas kegiatan penyidikan yang dilaksanakan oleh kejaksaan dan pihak Polri;

4. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh para pihak yang pelaksanaannya dituangkan dalam berita acara.

Taufik Basari menilai bahwa apa yang seharusnya dilakukan KPK adalah berdasarkan pada ketentuan dalam Pasat 50 ayat 1,2,3, dan 4 UU KPK. "Jika MoU ini dihadapkan pada UU, maka yang berlaku adalah asas norma hukum yang lebih tinggi yakni undang-undang," ujarnya.

Taufik Basari menjelaskan, dalam Pasal 50 UU KPK disebutkan bahwa jika KPK sudah mulai mengusut tindak pidana korupsi, maka lembaga lain yang juga mengusut kasus yang sama harus menghentikan penyidikannya.

Namun, dalam Pasal 8 MoU, disebutkan bahwa jika ada lembaga yang terlebih dahulu menyelidiki sebuah kasus, maka lembaga itulah yang bertanggung jawab mengusut kasus itu. "Kalau Polri mengklaim terlebih dahulu menyelidiki kasus ini, tentu itu kan dapat dilihat dari surat penyelidikannya. Dan KPK juga mengklaim telah mulai menyelidiki kasus ini sejak Januari 2012," jelasnya. "Namun, aturan dalam MoU ini menjadi tidak penting jika melihat pada aturan dalam UU KPK."

Mengenai pernyataan Romli yang menilai penandatanganan MoU itu adalah kesalahan KPK, Taufik Basari menyatakan, "Jika ada tanggapan seperti itu berarti MoU ini kan belum sempurna. Sebaiknya harus diperbaiki lagi MoU-nya dan harus sejalan dengan UU KPK," ujarnya.

Pimpinan KPK kini menyatakan puasa bicara terkait kasus tersebut. Mereka sudah tidak mau lagi berkomentar mengenai siapa yang paling berwenang menangani korupsi proyek senilai Rp190 miliar ini.

"Pimpinan KPK sudah sepakat, untuk sementara kami tidak komentar dulu soal kewenangan itu," kata Busyro Muqoddas, saat ditemui VIVAnews di Yogyakarta, Minggu 5 Agustus 2012.

Busyro berharap, dibalik kisruh kewenangan tersebut semua penegak hukum tetap mengutamakan keberpihakan dalam pemberantasan korupsi. "Yang penting semua pihak itu berpihak pada pemberantasan korupsi dan tanpa pandang bulu," imbuhnya.

Dalam kasus ini, KPK dan Polri sudah memiliki tersangka masing-masing. Namun, tiga tersangka yang telah ditetapkan dua lembaga itu adalah orang yang sama. Tiga tersangka itu adalah Brigjen DP, serta dua swasta BS dan SB.

Polri telah menetapkan 5 tersangka. Mereka adalah Wakorlantas Brigjen DP, AKBP TF, bendahara Kompol L, dan dua dari pihak pemenang tender simulator SIM. Tiga tersangka kini sudah resmi ditahan di Rutam Mako Brimob. Tersangka lainnya BS ditahan di Rutan Bareskrim dan SB masih ditahan di LP Kebon Waru, Bandung.

KPK baru menetapkan 4 tersangka. Mereka adalah mantan Kepala Korlantas Mabes Polri Irjen Djoko Susilo Wakorlantas Brigjen DP, serta dua rekanan yakni BS dari PT CMMA dan SB dari PT ITI.

Sopir Taksi Online yang Todong Penumpang Wanita dan Minta Rp100 Juta Jadi Tersangka
Ilustrasi: Polisi di lokasi kecelakaan.

Sopir Sedan di Tangsel Jadi Tersangka Usai Tabrak Pemotor dan PKL

Dalam peristiwa kecelakaan pengemudi mobil sedan yang menabrak pemotor dan PKL terdapat satu orang meninggal dunia.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024