Yusril Ihza Mahendra:

"Denny Indrayana Terlalu Kecil Buat Saya"

Yusril Ihza Mahendra Datangi Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVAnews - "Kicauan" Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana di Twitter bahwa advokat yang membela koruptor adalah koruptor, memantik kontroversi panas. Protes dan tanggapan muncul di sana-sini. Bahkan, ada advokat yang melaporkan Denny ke polisi karena dianggap menghina provesi advokat.

Pemain Indonesia U-23 Sedang Down, STY Berharap Suporter Bantu

Salah satu yang keras mengecam pernyataan Denny itu adalah Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara yang kini berprofesi sebagai advokat.

Pendapat Yusril dalam polemik ini jadi menarik, bukan hanya karena latar belakangnya itu tapi juga karena sebelumnya dia menggugat kebijakan Menteri Hukum dan HAM  yang membatasi pemberian remisi terhadap para terpidana kasus korupsi. Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, guru besar hukum tata negara ini dimenangkan.

Diejek Tukang Semir Sepatu oleh Nikita Mirzani, Ini Tanggapan Vadel Badjideh

Untuk mendalami pendapat pria kelahiran Belitung Timur, 5 Februari 1956 itu, VIVAnews mewawancarainya secara khusus. Berikut petikannya:

Bagaimana persisnya pandanganya Anda tentang pernyataan Denny Indrayana bahwa advokat yang membela koruptor adalah koruptor juga?

Saya tak mau lagi menanggapi pernyataan Denny Indrayana. Denny Indrayana terlalu kecil buat saya. Saya tidak mau bicara soal itu.

Denny belakangan mengatakan yang dia maksud bukan semua pengacara, tapi yang membela koruptor secara membabi-buta.  

Sama dengan jaksa. Jangan juga membabi-buta menghukum seseorang. Dalam sistem hukum kita, kedudukan polisi, jaksa, hakim, advokat, dan petugas lembaga pemasyarakatan adalah aparatur hukum. Advokat itu penegak hukum, sama seperti polisi, jaksa, dan petugas lembaga pemasyarakatan. Semua unsur itu membentuk sistem peradilan pidana.

Geger Seorang Pegawai Museum Pajang Karya Seninya Dekat Lukisan Legendaris

(Sebelumnya, kepada VIVAnews, Yusril menanggapi pernyataan Denny tersebut. Selengkapnya, baca ) 

Menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan seorang pengacara jika dia benar-benar yakin kliennya terlibat korupsi? Setuju dengan pernyataan Denny: advokat minta sang klien mengaku terus terang, terima hukuman, dan mengembalikan uang hasil korupsi?  

Bagaimana caranya kami tahu pasti klien terlibat korupsi? Tersangka korupsi belum tentu koruptor. Satu-satunya cara ya harus dibuktikan lebih dulu di pengadilan. Kalau terbukti, maka koruptor lah dia. Kalau tidak terbukti, berarti bukan koruptor. Jadi jangan ada kesan seolah-olah orang yang disangka korupsi itu pasti koruptor. Itu merusak cara berpikir.

Saat ini pengadilan yang membebaskan terdakwa kasus korupsi kerap diberitakan negatif. Ini juga logika sesat, sebab akan menyebabkan hakim tidak independen, jaksa bisa bertindak sewenang-wenang, dan advokat dilecehkan. Yang penting di pengadilan adalah alat bukti.

Jadi, untuk menyebut seseorang koruptor, harus dibuktikan. Harus dihormati asas praduga tak bersalah sampai pengadilan membuktikan dia bersalah. Bukannya menganut asumsi dia sudah bersalah sejak awal. Kalau seperti itu, semua orang bisa difitnah.

Soal mau atau tidak membela klien, KUHAP mengatur apabila seseorang dituntut pidana di atas lima tahun, maka dia wajib didampingi penasihat hukum. Kalau orang itu tidak mampu, maka negara yang wajib menyediakan penasihat hukum untuknya. Jadi kalau pengacara tidak mau membela orang, ubah dulu KUHAP-nya. Ubah saja dulu semau-maunya. Mumpung berkuasa.

Menurut UU, bagaimana persisnya kedudukan advokat dan kliennya?

Pengacara diperlukan supaya keadilan tegak dan ditegakkan. Tugas polisi adalah menyidik, jaksa menuntut, hakim mengadili, dan advokat mendampingi orang yang didakwa. Semua unsur ini mutlak diperlukan supaya ada keseimbangan dalam sistem hukum.

Tanpa advokat, maka proses peradilan akan timpang karena tersangka dan orang yang lemah akan bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat negara. Ketika negara menuduh rakyatnya melakukan tindak pidana, maka posisi rakyat yang bersangkutan amat lemah sehingga ia perlu didampingi advokat supaya peradilan berjalan berimbang. Dengan keseimbangan itu, hakim yang berada di tengah-tengah bertugas memutuskan.

Jadi tugas pengacara bukan membebaskan klien, tapi menegakkan keadilan. Tugas jaksa juga bukan menghukum orang, tapi menegakkan keadilan. Kalau orang itu terbukti bersalah, maka hukumlah. Tapi kalau tidak terbukti bersalah, bebaskan. Semua tergantung alat bukti.

Undang-undang sendiri menyebutkan advokat dan kliennya tidak identik. Saya pernah membela politisi PKS, Demokrat, Golkar, dan PDIP di pengadilan. Tapi saya bukan orang PKS, Demokrat, Golkar, atau PDIP. Saya orang Partai Bulan Bintang (PBB) dan malah belum pernah membela orang PBB di pengadilan,

Kalau dikatakan Denny ada advokat yang membabi-buta membela kliennya, ada juga jaksa yang membabi-buta menghukum rakyat. Padahal jaksa bekerja dibayar rakyat, tapi rakyatnya malah dihukum dengan segala cara.

Ini cara berpikir yang mesti diperbaiki. Segala sesuatu harus dilihat secara proporsional. Rakyat harus diberi pemahaman yang betul. Jangan disesatkan. Saya dua kali jadi menteri kehakiman, tapi tiba-tiba sekarang pemahaman hukum disesatkan.

Aparat juga manusia. Tidak bisa dipungkiri kemungkinan adanya kepentingan lain di balik aparat. Misalnya, seorang bupati dituding korupsi. Ternyata, kasus itu muncul karena si wakil bupati ingin menjadi bupati, lantas dia membayar jaksa untuk menuntut bupati dengan tuduhan korupsi. Nah, kalau yang seperti ini tidak dibela, bagaimana?

Jadi, jangan anggap semua aparat seperti malaikat. Maka itu pengacara diperlukan supaya ada keseimbangan. Terdakwa belum tentu bersalah, karena bisa jadi ada motif politik di dalam dakwaan. Di Kalimantan, misalnya, kerap terjadi sengketa dan rampok-rampokan lahan, lalu pihak tertentu dilaporkan. Padahal, belum tentu ia salah. Kalau seperti ini kan negara jadi sewenang-wenang.

Menurut Anda, apa kesulitan terbesar memberantas korupsi di negeri ini?

Penegak hukumnya sendiri korup. Ini jadi tugas pokok KPK.  

Semasa menjadi menteri kehakiman, bagaimana kebijakan Anda soal remisi koruptor?

Satu hal, UU KPK itu saya yang buat. Kerangka institusi KPK itu saya yang buat sampai jadi. Harus ada langkah tegas untuk memberantas korupsi, dan lalu dibentuklah KPK sebagai shock therapy. Maksud kami waktu itu, KPK dibentuk tidak untuk jangka waktu lama tapi diberi kewenangan luar biasa. Nanti jika situasi sudah normal, kembalikan kewenangan itu kepada jaksa dan polisi.

KPK saat itu memang dibentuk dalam situasi tidak normal. Begitu banyak korupsi terjadi di mana-mana. Tapi, selain diambil tindakan drastis berupa pembentukan KPK sebagai shock therapy, perlu juga dilakukan penguatan institusi penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan.  

Jadi saat itu saya menyusun langkah sistematik. Sebab, kalau cuma penegakan hukum tapi sistemnya tidak baik, maka persoalan korupsi tidak akan terselesaikan. Saat itu saya berpikir dengan sangat terencana dan sistematik, tapi sekarang dilanjutkan oleh orang-orang yang tidak jelas pikirannya. Dipikir dengan menangkapi orang setiap hari, korupsi akan selesai. Padahal koruptor itu bagian dari pemerintahan mereka sendiri. Jadi, jangan bangga bila terus menangkapi koruptor. Negara saat ini sudah berjalan tanpa arah, tak tahu ke mana.

Ibarat jalan rusak, pemerintah sekarang hanya menyediakan rumah sakit dan ambulans di ujung-ujung jalan, bukannya jalan itu yang diperbaiki. Intinya, seharusnya sistem yang dibangun. Ini malah si A ditangkap, si B ditangkap, ujung-ujungnya nanti SBY yang ditangkap.

Semasa Anda jadi menteri kehakiman, berapa terpidana koruptor yang dapat remisi?

Tidak ingat, karena tidak ada perbedaan bagi narapidana apapun. Semua berdasarkan undang-undang. Semua kejahatan sama. Semua narapidana dibina supaya menjadi orang baik. Kalau sesuai penilaian petugas pemasyarakatan perilakunya menunjukkan perbaikan, maka ia mendapat remisi.

Anda pernah menggugat rencana Kementerian Hukum dan HAM melarang pemberian remisi kepada terpidana koruptor, dan Anda menang di Pengadilan Tata Usaha Negara. Anda juga pernah mengritik grasi--bahkan hendak menggugat grasi Presiden kepada Corby, terpidana narkotika asal Australia. Bukankah Presiden memberikan grasi itu sesuai kewenangannya menurut UU, sama seperti remisi koruptor yang dijamin UU sebagaimana argumen Anda? 

Remisi itu hak narapidana. Harus diingat, narapidana sekarang ditaruh di lembaga pemasyarakatan untuk dibina supaya menjadi orang baik saat keluar nanti. Narapidana bukan dipenjara, karena penjara artinya digebukin supaya jera. Jadi, orang yang dihukum di atas lima tahun, setiap tahun dievaluasi perilakunya oleh petugas lembaga pemasyarakatan, sudah baik atau tidak, tobat atau tidak.

Kalau sudah menunjukkan sikap baik, maka dia berhak mendapat pengurangan hukuman. Jadi remisi adalah hak yang didapat karena seseorang telah berbuat sesuatu, yaitu berhasil menjadi orang yang lebih baik. Ini berbeda dengan grasi.

Sementara remisi diberikan sebagai imbalan atas perbuatan baik yang dilakukan narapidana, grasi diberikan tanpa imbalan. Memang setiap orang yang dihukum berhak mendapat grasi, tapi itu bukan karena perbuatan baik dan upayanya, melainkan karena belas kasih dari seorang presiden. Jadi, grasi adalah kemurahan hati.

Oleh karena itu, bila dikatakan Denny pengacara yang membela terdakwa korupsi adalah koruptor, berarti presiden yang memberi grasi kepada terpidana narkotika adalah juga presiden sindikat narkoba. Kapan grasi diberikan, tidak ada ketentuannya. Suka-suka presiden saja. Meski dihukum 20 tahun, dia langsung bisa diampuni oleh presiden. Kalau remisi ada ketentuannya. Terpidana harus sudah menjalani masa hukumannya selama lima tahun untuk mendapat remisi.

Anda kerap berseberangan dengan Denny Indrayana dalam melihat hukum. Apa sebabnya? Bagaimana Anda menilai Denny? 

Prinsip saya, saya tak akan mengganggu-ganggu orang selama orang itu tidak mengganggu saya. Dia mengatakan advokat Yusril membela koruptor. Tidak benar saya membela koruptor.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya