Ramai-ramai Menolak Revisi UU KPK

Gedung KPK.
Sumber :
  • ANTARA/Fanny Octavianus

VIVAnews - Rencana Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tampaknya mengalami kendala.

Pasalnya, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin merasa revisi UU KPK tidak diperlukan. Padahal revisi UU tidak dapat berjalan hanya dengan keinginan DPR. Diperlukan pembahasan bersama pemerintah, dalam hal ini Menkumham, untuk merealisasikan usulan tersebut.

Amir menilai belum ada urgensi dalam revisi UU KPK. "Kalau revisi untuk menyempurnakan dan memperkuat posisi KPK, saya setuju sekali. Tapi jika revisi untuk melemahkan, saya tak setuju," kata Amir di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 26 September 2012.

Revisi UU KPK yang bertujuan untuk memperkuat KPK, menurut Amir, artinya harus mempertahankan bahkan menambah berbagai kewenangan luar biasa (extra ordinary) yang dimiliki KPK. "Apalah artinya KPK kalau hanya punya kewenangan ordinary (biasa)," ujar Amir.

Dalam draf revisi usulan DPR, ada dua poin penting yang menjadi perdebatan hangat berbagai kalangan, yakni penyadapan dan penuntutan. Dalam draf itu, KPK harus meminta izin pengadilan negeri jika ingin menyadap. Sementara itu, DPR pun menghilangkan kewenangan penuntutan pada KPK dan mengembalikan ke kejaksaan. DPR juga mengusulkan dibentuknya Dewan Pengawas bagi KPK.

Terkait upaya memperkuat KPK itu pula, Amir tak setuju apabila kewenangan KPK untuk menyadap justru dikurangi dengan harus minta izin lebih dulu ke Pengadilan Negeri. Amir juga berpendapat kewenangan penuntutan pada KPK tetap diperlukan dan tak perlu dioper ke Kejaksaan.

"Intinya, KPK harus berbeda. Kalau kewenangan luar biasa yang menjadi ciri KPK justru tidak dimiliki KPK, saya kira tidak perlu ada KPK lagi. Andalkan saja penegak hukum yang sudah ada. Tapi harus diingat, KPK lahir karena masyarakat butuh keadilan," kata Menteri Amir.

Mengenai usulan pembentukan Dewan Pengawas KPK, Amir menilai hal tersebut sama sekali tidak diperlukan. "Kalau soal pengawasan, justru lewat Komisi III akan lebih efektif. Komisi III sangat berwenang dan memiliki kemampuan untuk mengawasi KPK," jelasnya.

Menurutnya, pembentukan Dewan Pengawas KPK untuk saat ini tidak tepat. "Barangkali ada saatnya nanti, tapi tidak sekarang. Waktunya kurang tepat. Sebaiknya tidak terjadi hal seperti itu," ujar Amir.

Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Djamil mengatakan, usul pembentukan Dewan Pengawas KPK mengemuka untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang yang mungkin dilakukan KPK sebagai lembaga extra ordinary.

Dewan Pengawas KPK juga dianggap lebih leluasa mengawasi KPK ketimbang DPR. "Misalnya kalau DPR mempertanyakan suatu kasus kepada KPK, ini bisa dianggap bentuk intervensi. Maka perlu adanya Dewan Pengawas," kata politisi PKS itu.

Ia menjelaskan, Dewan Pengawas KPK nantinya bisa mempertanyakan penanganan kasus di KPK sebagai bagian dari fungsi pengawasan mereka. Dengan demikian, Dewan Pengawas KPK bisa memastikan penanganan kasus di KPK berjalan sesuai koridor hukum.

Anggota Dewan Pengawas KPK direncanakan berjumlah lima orang yang terdiri dari wakil kepolisian, kejaksaan, LSM antikorupsi, dan media massa. Namun yang dianggap ganjalan oleh berbagai pihak adalah proses seleksi Dewan Pengawas KPK yang lagi-lagi harus melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Dewan ini juga nantinya bertanggung jawab kepada DPR

Selain ditentang oleh Menteri Hukum dan HAM, KPK pun menolak dengan tegas kewenangannya satu persatu dipreteli. Bahkan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, menilai, revisi Undang-Undang KPK tidak seluruhnya keinginan legislator di Senayan.

Chandrika Chika Ditangkap karena Kasus Narkoba, Netizen: Udah Benar Joget Papi Chulo Aja

Menurutnya, usulan merevisi kewenangan superbody KPK hanya ulah segelintir oknum di DPR. "Itu sebenarnya kemauan beberapa oknum di DPR saja. Bisa dilihat beberapa orang yang gemar dan getol," kata Bambang.

Bambang menyatakan, keinginan merevisi UU KPK yang salah satu materinya menghentikan beberapa kewenangan KPK soal penuntutan dan penyadapan masih bisa diperdebatkan.

Jika merujuk pada UU Terorisme yang memperbolehkan penyadapan maka KPK satu-satunya lembaga hukum yang memenuhi standar internasional yang kehadirannya perlu dioptimalkan kewenangannya.

"Yang saya khawatir lagi, yang mengajukan revisi ini tidak punya pemahaman soal ide reformasi. Orde reformasi ini salah satu pilarnya ini pemberantasan korupsi harus tuntas. TAP MPR No 11 tahun 1999 disebutkan perlu dilakukan pembentukan lembaga-lembaga seperti KPK. Perlu dibentuk artinya kalau melawan berarti melawan konvensi internasional," jelasnya.

Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK itu juga membenarkan jika badai yang menerpa pihaknya seperti pelemahan lewat revisi UU KPK maupun penarikan sejumlah penyidik oleh Mabes Polri merupakan upaya masif, sistemik, dan terstruktur.

Kendati begitu, Bambang menegaskan KPK masih berjuang menyelesaikan semua permasalahan internalnya. "Konsolidasi kekuatan dimiliki KPK di internal. Membangun modul untuk tingkatkan kapasitas pegawai memiliki kemampuan dasar sebagai penyelidik. Sehingga kalau butuh, mereka siap semua. Tentu saja KPK ini bukan milik orang-orang KPK sendiri tapi milik orang-orang yang kena dampak korupsi dan ingin membangun Indonesia bersih," ujarnya.

Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, pun membeberkan sejumlah fakta agar para legislator dapat menarik kembali keinginan untuk merevisi UU KPK, yang saat ini sudah masuk prolegnas dan segera disahkan.

"Pertama, korupsi semakin sistemik, memperparah kemiskinan rakyat dan permanen gejalanya. Sementara DPR menyatakan KPK itu ad hoc. Pernyataan ini ngawur karena di dalam risalah UU KPK tidak ada kata KPK ad hoc," kata Busyro.

Kedua, bentuk korupsi yang mengalami penguatan adalah korupsi politik, ditandai sejumlah anggota DPR dan DPRD dalam kasus Banggar dan revisi APBD.

Ketiga, potensi APBN, APBD dan kekayaan sumber daya alam semakin terancam untuk dijadikan tambang finansial terkait pemilu 2014.

Keempat, KPK sebagai user UU 30 tahun 2002 tidak merasa perlu sedikitpun untuk merevisinya. 240 Terdakwa yang dikirim KPK ke meja hijau berhasil 100 persen. Pencegahan juga semakin menghasilkan target, sehingga potensi korupsi bisa dicegah.

"Maka, jika ada beberapa anggota DPR dan DPRD diproses KPK itu adalah oknumnya, walaupun agak banyak. Semoga jangan membalasnya melalui kekuasaan Dewan untuk melumpuhkan KPK sebagai aset negara dan rakyat. Jika pembalasan tetap digencarkan melalui dan atas nama DPR, itu terjadi contempt of parliament oleh oknum-oknum DPR itu, mereka juga mengkhianati amanat rakyat," ujar Busyro.

Kendati begitu, Busyro mengatakan KPK akan maksimal mengimbangi upaya pelemahan itu dengan membangun dialog dan diskusi bersama elemen kampus, ormas agama, LSM, pusat-pusat studi sebagai tulang punggung masyarakat sipil.

"Saya yakin Allah SWT pasti berpihak kepada siapapun yang benar dan jujur dalam berpihak pada perlawanan korupsi sebagai wujud kemaksiatan politik Parlemen," ujarnya.


Digodok di Australia dan Perancis

Penggodokan revisi UU KPK ini sudah sejak lama dilakukan Komisi Hukum DPR. Bahkan untuk merevisi Undang-Undang KPK ini, sejumlah anggota Komisi Hukum harus melancong ke luar negeri seperti Australia dan Perancis.

Rombongan ke Perancis dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsuddin dari Fraksi Golkar, sedangkan rombongan ke Australia dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III Tjatur Sapto Edy dari Fraksi PAN.

Ketua Komisi Hukum DPR saat itu, Benny Kabur Harman, menjelaskan dua negara itu dipilih karena dinilai sukses dalam pemberantasan korupsi. "Tujuannya untuk mengetahui lebih dalam mengenai peran komisi independen dalam upaya pemberantasan korupsi," kata Benny.

Melalui kunjungan kerja ke Prancis dan Australia ini, Komisi III berharap bisa menambah pengetahuan mengenai pelaksanaan tugas pemberantasan, pencegahan, dan penanganan kasus korupsi. "Termasuk bagaimana mengenai perlindungan terhadap hak-hak keluarga tersangka," kata Benny.

Hasil studi dari kedua negara itu, menurut Benny, akan digunakan untuk memperdalam pembahasan revisi UU KPK yang saat ini sedang digodok Komisi III DPR.

Dari studi banding di dua negara tersebut, Komisi Hukum DPR kemudian merumuskan draf revisi yang saat ini sudah berada di tangan Badan Legislatif DPR.


Korupsi Rp5 Miliar

Dari draf revisi UU KPK yang diperoleh VIVAnews.com, salah satu perubahan yang menyolok adalah mengenai kewenangan penyidikan yang boleh dilakukan KPK.

Dalam Pasal 11, disebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

KPK juga berwenang melakukan pengusutan korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp5 miliar.

Padahal dalam UU KPK saat ini, komisi antikorupsi berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dengan kerugian negara minimal Rp1 miliar.

Dalam penjelasannya, DPR menyatakan bahwa peningkatan jumlah nominal kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK dikarenakan kecenderungan nilai korupsi semakin meningkat. "Dan agar KPK fokus pada penanganan korupsi yang nilainya besar."


Kewenangan Penyadapan

DPR juga memperbaharui kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Dalam draf revisi UU KPK, kewenangan penyadapan KPK ini diatur dalam Pasal 12 huruf a.

Namun, dalam 11 ayat di Pasal 12A, penyadapan itu diatur bahwa hanya bisa dilakukan jika setelah adanya bukti permulaan yang cukup; dilaksanakan oleh penyidik KPK, dan mendapat persetujuan pimpinan KPK.

Untuk dapat menyadap, pimpinan KPK harus meminta izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri. Dalam keadaan mendesak, penyadapan dapat dilakukan sebelum mendapat izin tertulis dari ketua pengadilan negeri. Izin tertulis ini harus diminta dalam waktu paling lama 1 x 24 jam setelah dimulainya penyadapan.

"Yang dimaksud dengan "keadaan yang mendesak" adalah bilamana orang yang akan disadap dikhawatirkan segera melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengetahui bahwa dirinya akan disadap sedangkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat."

Penyadapan yang sedang berlangsung harus dilaporkan kepada pimpinan KPK setiap bulannya. Penyadapan dilakukan paling lama 3 bulan terhitung sejak dikeluarkannya izin tertulis dari ketua pengadilan negeri. Penyadapan juga dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama.

Jika telah selesai menyadap, maka hasilnya harus dipertanggungjawabkan kepada pimpinan KPK paling lambat 14 hari kerja. Hasil penyadapan ini bersifat rahasia. Dan kerahasiaan hasil penyadapan dikecualikan untuk kepentingan peradilan.

Dalam UU KPK yang saat ini berlaku, tidak ada aturan tambahan seperti diatur dalam Pasal 12A ini.


Penuntutan Dihapus

Dalam draf revisi UU KPK, DPR dengan jelas menghapus ketentuan Pasal 51 dan Pasal 52 UU KPK. Dalam Pasal 51 UU KPK, sebelumnya diatur bahwa penuntut umum adalah penuntut umum pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.

DPR kemudian menyisipkan 1 pasal yakni Pasal 52A. Dalam pasal itu diatur bahwa jika penyidik KPK selesai melakukan penyidikan maka penyidik wajib menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum paling lambat 7 hari kerja.

"Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk mengenai hal-hal yang perlu dilengkapi. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik."


Dewan Pengawas KPK


Pembentukan Dewan Pengawas ini diatur dalam enam pasal di Bab V A UU KPK. Dalam Pasal 37A, disebut bahwa dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK dibentuk Dewan Pengawas. Dewan Pengawas merupakan suatu lembaga yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. Anggota Dewan Pengawas berjumlah 5 orang dan 1 di antaranya ditetapkan menjadi ketua Dewan Pengawas berdasarkan keputusan hasil rapat anggota Dewan Pengawas.

Kemudian dalam Pasal 37B, disebut bahwa Dewan Pengawas ini nantinya akan bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK, melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala 1 kali dalam 1 tahun.

Kemudian, Dewan Pengawas juga bertugas menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan  pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK atau pelanggaran ketentuan dalam UU KPK ini. Dan, membuat laporan pelaksanaan tugas dan menyampaikannya secara berkala kepada Presiden dan DPR. Laporan ini juga dilakukan dalam kurun 1 kali dalam 1 tahun.

Dalam Pasal 37C, diatur mengenai mekanisme pengangkatan Dewan Pengawas. Dan pada Pasal 37D, diatur anggota Dewan Pengawas dipilih oleh DPR berdasar calon anggota yang diusulkan Presiden. Untuk memilih anggota Dewan Pengawas, maka dapat dibentuk tim seleksi. (eh)

Ilustrasi mengemudi di malam hari

Geger Seorang Wanita Dilarang Naik Kendaraan Online Gegara Bernama Ini

Seorang wanita mengalami larangan menggunakan layanan Uber hanya karena memiliki nama Swastika Chandra. Ini membuatnya terkejut. Hal ini karena sentimen terhadap NAZI.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024