Subsidi Rumah Mungil, Siapa Untung?

Contoh rumah murah
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews - PBB mencatat sekitar 873 juta jiwa penduduk di dunia tinggal di lingkungan kumuh pada tahun 2000, dan angka itu akan melonjak dua kali lipat, atau sekitar 1,5 miliar jiwa pada 2020. 

Data PBB itu, seperti dikutip dari Kajian Hasil FGD Menanggulangi Kemiskinan Melalui Pembangunan Perumahan dan Pemukiman, Bappenas, mengungkapkan negara di dunia harus mampu mengurangi 100 juta jiwa per tahun agar bisa mengerem laju pertambahan penduduk pemukiman kumuh. 

Penduduk Indonesia sedikit beruntung. Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) kemungkinan tak harus tinggal di pemukiman kumuh.

Peringati Hari Kartini, Peran Perempuan dalam Industri 4.0 Jadi Sorotan di Hannover Messe 2024

Hal itu tak terlepas dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ketentuan batas minimal ukuran rumah seperti diatur Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Dalam pasal itu disebutkan, luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 meter persegi. Dengan ketentuan ini, pemerintah mensyaratkan perumahan yang berhak menerima subsidi pembiayaan dalam bentuk fasilitas likuditas pembiayaan perumahan (FLPP) minimal berukuran sama.

Ketua MK, Mahfud MD dalam amar putusannya menyatakan Pasal 22 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, bertentangan dengan UUD 1945.

Keputusan pengadilan konstitusi di tanah air itu sontak memaksa pemerintah harus merevisi ketentuan pembatasan penyaluran FLPP. "Revisi yang dibuat nantinya mengenai batasan diberlakukan pada Permenpera tersebut," kata Deputi Pembiayaan Kemenpera, Sri Hartoyo kepada VIVAnews, Senin, 8 Oktober 2012.

Pemerintah menyadari konsekuensi dari pembatalan aturan pembatasan itu akan membuat tipe rumah yang disubsidi bertambah banyak. Namun, Sri mengungkapkan, anggaran subsidi yang dikeluarkan institusinya tidak mengalami kenaikan.

Potensi Besar

Putusan dari MK Itu secara tak langsung membuka peluang masyarakat berpenghasilan rendah mewujudkan mimpinya memiliki sebuah rumah, meskipun rumah mungil. Besarnya kebutuhan masyarakat terhadap tempat tinggal di Indonesia selama ini memang tak pernah surut. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012 menunjukkan, kekurangan pasokan perumahan atau backlog telah mencapai 13,6 juta atau 22 persen dari total penduduk di tanah air. Angka ini akan bertambah 800 ribu per tahun jika tidak ada upaya optimal pemerintah. 

Merujuk data Sensus Perumahan Indonesia hasil Sensus Penduduk tahun 2010 diketahui, jumlah masyarakat Indonesia yang memiliki rumah sendiri mencapai 77,7 persen. Sementara sisanya sebesar 22,3 persen menempati rumah bukan milik sendiri.

Rumah tangga yang menempati rumah bukan milik sendiri terdiri dari 6,06 persen menempati rumah sewa, kontrak (5,79 persen), dan lainnya (10,45 persen).

Pemerintah sebetulnya tak berdiam diri dengan kondisi itu. Kemenpera telah menargetkan pembangunan total pembangunan rumah menengah bawah sampai 2014 sebanyak 1,6 juta unit. Jumlah itu terdiri atas 650 ribu unit rumah murah seharga Rp20 juta-25 juta per unit dengan pola kepemilikan melalui FLPP.

Selain itu, sebanyak 350.000 unit rumah melalui mekanisme pembangunan swadaya masyarakat dan 600.000 unit rumah tapak seharga maksimum Rp 80 juta per unit melalui skim FLPP.

Amnesty International Sebut Pelanggaran HAM di RI Semakin Buruk, Aparat Paling Banyak Terlibat

Hingga akhir Maret 2012, Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan (BLU PPP) memperlihatkan, penyaluran FLPP mencapai 4.235 unit rumah tapak dan satu unit rumah susun. Nilai penyaluran sesuai ketentuan Permenpera Nomor 13 dan 14 Tahun 2011 ini mencapai Rp150,51 miliar. 

Adapun penyaluran FLPP sesuai Permenpera Nomor 04 dan 05 Tahun 2012 sebanyak 660 unit rumah tapak senilai Rp 18,37 miliar. Dengan demikian, total kredit tersalurkan sebanyak 4.896 unit rumah senilai Rp 168,89 miliar.

Sri membantah jika penyerapan FLPP selama ini masih rendah. "“Saat ini sudah terbangun 28 ribu rumah sampai dengan periode akhir September,” ujarnya.

Angka ini memang jauh dari target kemenpera yang membangun minimal 133 ribu rumah FLPP. Sri pun menyatakan masih optimis target tersebut dapat dicapai walau tahun 2012 hampir berakhir.  “Kami berharap begitu karena kebijakannya semakin baik,” kata Sri yang mengungkapkan data terbaru penyerapan FLPP telah mencapai Rp950 miliar.

Siapa Untung

Menanggapi pembatalan ketentuan pembatasan rumah penerima subsidi pemerintah lewat FLPP, pengamat properti Muhammad Nawir menilai, keputusan tersebut tak hanya menguntungkan masyarakat miskin tapi juga para pengembang.

"Nantinya pengembang bisa membangun kembali proyek rumah berukuran 21 meter persegi (M2). MBR juga bisa kembali mendapatkan rumah," kata Nawir kepada VIVAnews.

Nawir menjelaskan, potensi pasar rumah di Indonesia saat ini masih sangat besar. Melihat perbandingan harga rumah ukuran 36 m2 seharga Rp80 juta dan rumah kecil senilai Rp60 juta, atau berbeda Rp25 juta, masyarakat bawah kini bisa kembali memiliki rumah.  "Jika dulu harus membayar cicilan Rp800 ribu-850 ribu per bulan, kini cukup Rp500 ribu per bulan," ujarnya. 

Dengan keluarnya keputusan MK ini, Nawir justru menyoroti masalah persyaratan pengajuan FLPP yang dianggap masih cukup rumit. Ketentuan menyerahkan kartu nomor pokok wajib pajak atau NPWP dianggap akan menyulitkan masyarakat yang umumnya berpenghasilan rendah.

"Jadi dengan pembatalan ketentuan ini, sebetulnya masyarakat dan sama-sama diuntungkan," kata Nawir.(np)

Waketum Partai Perindo, Angela Tanoesoedibjo

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, Perindo Sampaikan 4 Sikap

Wakil Ketum Partai Perindo Angela Tanoesoedibjo menyampaikan sikap partai mewakili Ketua Umum Hary Tanoesoedibjo, pasca keputusan MK dan penetapan Prabowo-Gibran pemenang

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024