10 Tahun Bom Bali, Teroris Terbukti Gagal

Peringatan 10 Tahun Tragedi Bom Bali
Sumber :
  • ANTARA/Pool/Nyoman Budhiana

VIVAnews  – Jumat 12 Oktober 2012, atmosfer haru menyesakkan dada menaungi Taman Garuda Wisnu Kencana, Bali. Orang-orang berlinang air mata  saling berbagi pelukan. Di tepian kolam itu, tempat karangan bunga Kamboja diletakkan, seorang ibu berpakaian hitam dan berjilbab bersimpuh. Dua tangannya menengadah, memanjatkan doa dari jiwanya yang masih terluka.

7 Rahasia Google

Masih di lokasi yang sama, seorang bocah bernama Made Bagus Arya Dana maju dan berdiri di panggung. Ia mengenakan baju putih dan topi khas untuk kaum pria di Bali. Usianya belum lagi genap 12 tahun.

Dengan suara bergetar, Arya Dana membacakan secarik surat, untuk sosok pria yang paling berarti dalam hidupnya, paling dikagumi, yang wajahnya hanya bisa ia tatap melalui foto:  “Surat untuk Ayah”.

Soal Koalisi Besar, AHY Sebut Prabowo Punya Pertimbangan Matang

"1,5 tahun usiaku saat itu. Aku tidak pernah mengerti apa arti sebuah tragedi. Ku tak bisa memahami apa arti air mata ibu. Aku hanya punya satu harapan. Bahwa ayah akan pulang membawa mainan bagus buatku

Ku pandangi ibuku. Ibuku cerita. Ayah pergi bekerja dan pulang membawa mainan untukku. Ayah sangat menyayangiku. Betapa aku rindu denganmu. Hari berganti hari. Bulan berganti tahun. Penantianku tak kunjung berakhir.

Ayah Chandrika Chika Bantah Anaknya Pakai Narkoba Setahun: Ambil Berita Langsung dari Sumbernya

12 tahun sudah usiaku kini. Aku mulai mengerti apa yang terjadi. Aku mulai bisa merasakan perihnya hati ibu. Ayah tak akan pulang lagi.

Di tanggal dan bulan yang sama ketika ayah pergi dan tak kembali. Aku baca surat ini untukmu, Ayah. Aku berjanji akan aku akhiri penantian ini. Akan aku raih masa depan yang gemilang. Akan aku jaga ibu untukmu. Semoga Tuhan selalu melindungimu."

Surat itu dibacakan dengan Bahasa Indonesia, lalu diterjemahkan dalam Bahasa Inggris. Air mata pun kembali mengalir di mata mereka yang disatukan oleh duka yang sama. Meski 10 tahun telah berlalu, sejak tiga bom meledak hampir bersamaan di Kuta, 12 Oktober 2002.

Kesedihan juga dirasakan pria asal Australia, Chris Dough.  “Saya kehilangan sahabat, adik, dan kakak saya dalam tragedi itu,” kata dia.

Masih lekat dalam ingatan, ia menjadi pendamping sahabatnya itu saat mengikat janji sehidup semati dengan pujaan hatinya. Kala tragedi itu terjadi teman akrabnya sedang berbulan madu di Bali. “Bom telah mengambil nyawanya. Teroris telah merenggut orang-orang di sekitarku yang begitu aku sayangi."

Dough tak pernah melupakan, juga tak memaafkan aksi keji para teroris. “Saya tidak memaafkan teroris meski peristiwa itu sudah 10 tahun berlalu.”

Sementara, butuh keberanian bagi Paul Lawrenson untuk kembali menginjakkan kaki di Bali. Ia datang jauh-jauh dari  rumahnya di Chippenham, Wiltshire, Inggris  demi menghadiri peringatan itu.

Penggemar olahraga selam itu berada di Sari Club ketika ledakan terjadi, akibatnya ia kehilangan sebagian lengan kanannya. Butuh waktu enam bulan untuk kembali ke kehidupan rutin dan pekerjaannya di  bidang pembuatan piranti lunak komputer.

Paul mengaku, masih menyimpan amarah. “Masih merasa marah tetapi ini bukan hari untuk meluapkan kemarahan tetapi mengenang para korban, dan saya merasa mereka masih di sana,” kata dia, seperti dimuat BBC.

Teroris telah gagal

Ini mungkin peringatan Bom Bali yang kali terakhir diadakan. Perdana Menteri Julia Gilard menyempatkan diri datang jauh-jauh ke Bali, meski ancaman keamanan berpeluang terjadi. Dari pihak Indonesia diwakili Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa. Sementara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan tak datang, bukannya khawatir dengan isu teror, tapi Pak Presiden dan ibu negara sedang check up kesehatan.

Dalam pidatonya, Julia Gilard menyebut, Bom Bali I sebagai serangan teroris terburuk, bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga bagi negaranya. “Sebanyak 88 warga Australia meninggal di sini. Dan mereka tidak tewas sendirian, juga  38 warga Indonesia. Total, 202 orang meninggal dan lebih dari 200 terluka," kata dia, Jumat 12 Oktober 2012.

Kondisi mengenaskan jasad korban yang tewas, serta mereka yang selamat dengan luka mengerikan, biasanya hanya ditemukan di tengah medan perang. “Tapi mereka bukan tentara, hanya orang-orang yang mencari suasana riang di tengah kehidupan yang begitu sibuk,” kata Gillard.

Orang nomor satu di Australia itu menegaskan, apa yang menjadi tujuan para teroris tidak akan tercapai. Ini buktinya: pahlawan-pahlawan kemanusiaan, dari semua golongan, muncul di tengah suasana ngeri dan mencekam. Sebanyak  900.000 warga Australia sampai saat ini masih mengunjungi Bali tiap tahunnya, merasa Pulau Dewata sebagai rumah kedua. Persahabatan antar dua negara, Australia-Indonesia pun makin erat. “Mereka, para teroris itu, telah gagal mencapai apa yang mereka inginkan,” tegas Gillard.

Secara personal, peristiwa Bom Bali sangat membekas dalam jiwa Gillard. Sehari sebelum bom meledak dahsyat, ia dan kerabatnya baru saja menginjakkan kaki di Australia, selepas berlibur di Bali.

“Sebetulnya kami ada di sini sehari sebelum kejadian. Kami kembali ke Australia pada Jumat dan akhir pekan terjadi peristiwa itu,” kata Gillard. Sepuluh tahun lalu ia masih menjabat sebagai anggota parlemen dari Partai Buruh. (eh)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya