Dolar Tembus Rp10.000, Fundamental Ekonomi Masih Aman?

Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVAnews - Ketangguhan sektor keuangan Indonesia benar-benar sedang diuji. Nilai tukar rupiah terus tertekan. Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Bank Indonesia menyebutkan bahwa rupiah terus melemah sejak awal Juli 2013.

5 Dampak Negatif Gegara Kecanduan Game Online, Bisa Ganggu Fisik dan Mental

Pada 1 Juli 2013, rupiah masih bertahan di level Rp9.934 per dolar. Namun, pada awal pekan ini, 15 Juli 2013, rupiah sudah menembus Rp10.024 per dolar AS. Dan tekanan terhadap rupiah makin kuat pada Selasa 16 Juli 2013. Dia mundur ke posisi Rp10.036 per dolar.

Seberapa buruk daya pukul pelemahan rupiah itu terhadap ekonomi nasional, memang belum ada angka pastinya.  Sejumlah pakar menilai bahwa meski melemah, penurunan rupiah itu masih dipandang wajar dibandingkan mata uang regional lainnya. Pelemahan nilai tukar bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi hampir di semua negara.

Bank Indonesia Naikkan BI Rate Jadi 6,25 Persen Demi Stabilkan Rupiah

Analis Divisi Pengembangan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia, Ibrahim mengatakan, pelemahan rupiah tidak perlu dikhawatirkan. Kecemasan menjadi beralasan bila hanya nilai tukar rupiah yang jatuh.
"Kalau rupiah sendiri yang anjlok, kita perlu khawatir terhadap faktor domestik. Tapi, ini isunya bukan hanya di Indonesia," ujar Ibrahim dalam analisisnya yang diterima VIVAnews.

Dia menjelaskan, upaya The Federal Reserve yang akan mengurangi pelonggaran kuantitatif, berdampak terhadap penguatan dolar AS. Penguatan nilai tukar ini yang kemudian membuat pelaku pasar menahan dolar AS, sehingga memicu sejumlah mata uang dunia termasuk rupiah terdepresiasi.

Ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono, Selasa 16 Juli 2013, juga berpendapat senada. Pelemahan rupiah adalah dampak sensitif dari ekonomi global. Termasuk indikasi membaiknya perekonomian Amerika Serikat, sehingga menimbulkan tekanan pada nilai tukar negara kawasan.

"Ada dua kemungkinan analisis secara objektif-fundamental. Rupiah memang sedang mengikuti tren global, di mana semua mata uang di seluruh dunia melemah terhadap dolar AS, karena ada tanda-tanda kuat perekonomian AS membaik," kata Tony kepada VIVAnews di Jakarta.

Selain itu, Tony menjelaskan, China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, kini sedang mengalami permasalahan dengan kinerja ekonominya. Perekonomian negeri Tirai Bambu itu hanya tumbuh 7,4 persen pada kuartal II-2013 atau lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya 7,7 persen.

Bahkan, dia melanjutkan, hingga akhir tahun, ekonomi China diprediksi tumbuh 7,5 persen. Kondisi tersebut tentu saja dikhawatirkan dapat mengurangi daya serap produk-produk Indonesia.

"Daya serap terhadap produk-produk Indonesia anjlok, sehingga defisit perdagangan membesar. Tahun lalu, defisit kita US$1,6 miliar. Tahun ini bisa membengkak menjadi US$4 miliar. Ini cukup menguras cadangan devisa," jelasnya.

Untuk menghindari pelemahan yang semakin dalam, Tony menyarankan agar BI mulai berhati-hati menggunakan cadangan devisa, dan membiarkan rupiah bergerak sesuai dengan fundamental ekonomi.

Dia menjelaskan, pemerintah dan otoritas moneter sebaiknya juga mulai menyadari bahwa rupiah memerlukan ekuilibrium baru di atas Rp10.000 per dolar AS. "Ini sebenarnya tidak masalah, karena di saat krisis subprime mortgage 2008-2009, kurs rupiah Rp12.000 per dolar AS," ungkapnya.

Ini Kata Para Menteri SBY

Prabowo: Saya Akan Bekerja untuk Seluruh Rakyat Indonesia, Termasuk yang Tidak Pilih Saya

Pemerintah pun melihat, pelemahan nilai tukar rupiah yang menembus level Rp10.000 terhadap dolar AS ditengarai merupakan dampak dari situasi perekonomian global. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, menilai bahwa kebijakan pemulihan ekonomi AS menjadi pemicu utama pelemahan mata uang negara-negara kawasan Asia.

Namun, menurut Hatta, kondisi ini hanya berlangsung sementara, dan dalam waktu dekat rupiah akan kembali menguat. "Jadi, ini bukan karena fundamental kita tidak baik. Tapi, lebih karena penguatan dolar dan situasi makro ekonomi dunia," ujar Hatta di kantornya, Jakarta.

Hatta berharap masyarakat tidak terlalu cemas dengan posisi rupiah saat ini. Karena, upaya intervensi di pasar uang demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ini terus dilakukan. "Jangan anggap Rp10.000 per dolar AS itu angka psikologis. Tidak ada itu angka psikologis," kata Hatta.

Menteri Keuangan, Chatib Basri, juga mengatakan, pelemahan rupiah yang melampaui asumsi dalam APBN-P 2013 sebesar Rp9.600 per dolar AS, tidak perlu dikhawatirkan.

Meskipun neraca perdagangan membaik, karena impor migas menurun, menurut dia, situasi ekonomi global akibat kebijakan AS mempengaruhi nilai tukar beberapa negara.

Pemerintah, dia menjelaskan, melihat pelemahan rupiah masih dalam batas wajar. Karena, diikuti dengan pelemahan mata uang negara-negara lain di kawasan. "Selama rupiah itu melemah sejalan dengan mata uang lain, tidak perlu khawatir," tambahnya.

Jurus Bank Indonesia

Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut, sebenarnya sudah diantisipasi Bank Indonesia. Dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 11 Juli 2013, bersamaan dengan keputusan untuk menaikkan BI Rate sebesar 50 basis poin menjadi 6,5 persen, dan suku bunga Deposit Facility naik 50 basis poin menjadi 4,75 persen, BI juga memperkuat bauran kebijakan.

Di antaranya, melanjutkan stabilisasi nilai tukar rupiah yang sesuai kondisi fundamentalnya dan menjaga kecukupan likuiditas di pasar valas. Bank Indonesia meyakini bauran kebijakan tersebut cukup memadai untuk mengendalikan tekanan inflasi, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan stabilitas sistem keuangan.

"Ini agar momentum pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga dan bergerak kepada arah yang lebih sehat," kata Direktur Departemen Komunikasi BI, Difi A Johansyah, dalam keterangan tertulisnya.

BI menilai, perekonomian global masih cenderung melambat dan diliputi ketidakpastian yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan tidak sekuat perkiraan semula, meskipun kegiatan produksi dan konsumsi menunjukkan perbaikan.

Permasalahan ekonomi Eropa juga masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi China dan India tercatat lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi awal, meskipun masih cukup tinggi.

Sementara itu, spekulasi terkait kebijakan pengurangan stimulus moneter oleh The Fed juga mempengaruhi kondisi keuangan global dan mengakibatkan terjadi pembalikan modal (capital reversal) di negara dengan pasar yang sedang berkembang.

Di Indonesia, selama Juni terjadi pelepasan penempatan pada Surat Berharga Negara (SBN) dan saham oleh investor asing sebesar US$4,1 miliar atau sekitar Rp40 triliun (kurs Rp9.900).

Selain itu, kinerja ekspor masih tertekan karena lemahnya permintaan dan penurunan harga komoditas dunia, dengan impor termasuk migas masih meningkat. Cadangan devisa pun tergerus dan pada akhir Juni 2013 mencapai US$98,1 miliar atau setara dengan 5,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

BI menjelaskan, nilai tukar rupiah pada triwulan II-2013 mengalami depresiasi sesuai dengan nilai fundamentalnya. Secara point to point, nilai tukar rupiah melemah sebesar 2,09 persen (qtq) menjadi Rp9.925 per dolar AS, atau secara rata-rata melemah 1,03 persen (qtq) ke posisi Rp9.781 per dolar AS.

Seperti halnya pelemahan mata uang negara-negara di kawasan Asia, depresiasi nilai tukar rupiah terutama dipengaruhi penyesuaian kepemilikan non-residen pada aset keuangan domestik. Kondisi itu dipicu sentimen terkait pengurangan stimulus moneter oleh The Fed.

Perkembangan ini, menurut BI, mengakibatkan pelemahan rupiah sejalan dengan tren pergerakan mata uang negara-negara di kawasan Asia. "Bank Indonesia memandang bahwa perkembangan nilai tukar pada saat ini menggambarkan kondisi fundamental perekonomian Indonesia," ujar Difi.

Impor Tertekan

Meski BI menilai perkembangan nilai tukar mencerminkan fundamental ekonomi, situasi itu disikapi berbeda kalangan usaha. Rupiah di level Rp10.000 per dolar AS dapat mengancam industri berbasis impor di Indonesia.

Untuk itu, pemerintah diharapkan cepat dalam mengambil tindakan mengendalikan rupiah.

Direktur Eksekutif Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rahardjo Jamtomo, menjelaskan, pelemahan rupiah layaknya dua sisi mata pisau. Di satu sisi membuat barang impor menjadi mahal, namun di lain pihak membuat produk Indonesia yang diekspor menjadi murah.

"Tetapi mudah-mudahan pemerintah cukup waspada dan gesit guna menghadapi keadaan ini," kata Rahardjo saat ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta.

Ia berharap, pelemahan rupiah ini hanya sementara. Kalangan pengusaha lebih menyukai jika nilai tukar rupiah stabil di level Rp9.500 per dolar AS. Sebab, melemahnya rupiah akan mempengaruhi daya saing industri dalam negeri.

Rahardjo menilai, ekspor yang tinggi menggambarkan kekuatan ekonomi di suatu negara. Namun, impor yang tinggi menggambarkan ketergantungan Indonesia terhadap negara lain.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya