Rupiah Alami Tekanan Hebat, Sampai Level Berapa?

Mata uang dolar AS dan rupiah.
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAnews - Nilai tukar rupiah mengalami tekanan hebat pada Selasa, 20 Agustus 2013, dan mencapai level terendah sejak empat tahun terakhir.

Terima Kunjungan LBBP Jepang, Menaker Berharap Kerja Sama Ketenagakerjaan Indonesia-Jepang Meningkat

Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, turun di level Rp10.504 per dolar AS, dari perdagangan sebelumnya yang melemah dan menyentuh posisi Rp10.451 per dolar AS. Angka tersebut melewati kurs terendah empat tahun yang lalu, tepatnya di bulan April 2009.

Di pasar non-spot atau di pasar cash-carry, berdasarkan data Bank Central Asia, rupiah diperdagangkan di level Rp11.000 per dolar untuk kurs jual dan Rp10.650 untuk kurs beli. Kurs Bank Negara Indonesia (BNI) menjual rupiah di level Rp11.050 per dolar AS.

Skenario Tante Bunuh Keponakan di Tangerang, Ambil Perhiasan Korban Biar Dikira Kasus Pencurian

Kejatuhan rupiah juga diikuti hal yang sama di pasar saham.  Pada perdagangan hari ini, Selasa 20 Agustus 2013, Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terkoreksi 151,06 poin atau 3,51 persen ke level 4.162,45. Selengkapnya, .

IHSG  tercatat mengalami pelemahan paling tajam dibanding bursa Asia lainnya. Hang Seng Index turun hanya 493,41 poin atau 2,20 persen, Nikkei 225 melemah 361,75 poin atau 2,63 persen, dan Kospi Composite Index terkoreksi 29,79 poin atau 0,55 persen.

"Pelemahan rupiah penyebab utamanya adalah membesarnya defisit transaksi berjalan Indonesia, terbesar sepanjang sejarah. Masalahnya, defisit transaksi ini diiringi degan aliran dana keluar. Yang kedua adalah rencana bank sentral Amerika menghentikan pelonggaran moneter," kata sumber VIVAnews di bank Indonesia.

JK Sebut Golkar Partai Terbuka, Tak Masalah Jika Jokowi-Gibran Gabung

Seperti diketahui Bank Indonesia telah mengumumkan defisit transaksi berjalan Indonesia pada kuartal kedua tercatat mencapai 4,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto, terbesar sepanjang sepanjang sejarah.

Richard Yetsenga, Head of Global Markets Research di Bank ANZ, Australia, seperti dikutip CNBC--dalam artikel berjudul "First India, than Indonesia...who is next"--menyatakan bahwa India dan Indonesia merupakan negara yang mengalami tekanan kurs yang paling besar di antara kawasan emerging market. Seperti diketahui kurs rupee melemah hingga 64.13 per dolar, atau secara kumulatif sudah melemah 4 persen sejak Jumat pekan lalu.

Menurut dia, apa yang dialami India merupakan mikrokosmos yang mencerminkan apa yang terjadi di negara-negara emerging market saat ini. "Dalam dua tahun terakhir defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran India melebar."

"Ada banyak kemiripan dengan krisis sebelumnya, seperti 1997-1998. Kita telah memiliki dua negara yang merosot, India dan Indonesia, dan sekarang Anda harus mulai berpikir tentang negara-negara ketiga dan keempat," kata Pradeep Mohinani, analis kredit Nomura yang berbasis di Hong Kong.

Pengamat pasar  dari PT Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih, memperkirakan saat ini risiko terhadap rupiah meningkat jika dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu. "Sekarang, risiko rupiah semakin meningkat, batas melemahnya tidak lagi bisa ditolelir," ujar Lana.

Meskipun pelemahan mata uang juga terjadi di negara lain, Lana beranggapan, pelemahan rupiah cenderung lebih dalam sehingga menyebabkan kepanikan yang luar biasa di pasar. Akibatnya, investor jadi terdorong untuk lebih memilih dolar.

"Dana mulai keluar dari emerging market, sebab dana asing mulaik masuk ke AS yang dianggap lebih aman dan akibatnya dolar semakin langka," kata Lana.

Meski begitu, Lana melanjutkan, kondisi Indonesia tidak terlalu mengkhawatirkan atau lebih baik dibanding tahun 2008. "Kita tidak sedang menuju kebangkrutan, tapi memang kesannya demikian. Ini tekanan dari spekulan dan memang dari dalam negeri sendiri necara pembayaran kita mengalami defisit, sehingga keadaaan jadi seperti ini," katanya.

Fenomena Global

Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan bahwa terpuruknya pasar saham dan melemahnya mata uang merupakan fenomena global yang terjadi di beberapa negara berkembang. Namun, kondisi di Indonesia ia akui lebih parah ketimbang negara lain.

"Depresiasi dan kejatuhan pasar saham di Indonesia lebih besar daripada di Thailand dan India,” ujar Chatib di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin 19 Agustus 2013.

Terpuruknya kurs rupiah dan pasar saham, kata dia, akibat faktor terkait faktor ekstrenal dan internal. Faktor eksternal, menurut Chatib, adalah belum adanya kejelasan mengenai kebijakan pelonggaran moneter yang akan dilakukan Amerika Serikat. Sementara dari sisi internal, defisit neraca berjalan terus meningkat menjadi 4,4 persen. Hal tersebut membuat perspektif pasar menjadi negatif.

Namun, faktor internal ini tak perlu dirisakukan. "Apakah perlu dikhawatirkan atau tidak defisit transaksi berjalan ini? Menurut saya tidak perlu," kata Chatib.

Karena, dia melanjutkan, defisit transaksi berjalan tersebut akan turun beberapa bulan ke depan menyusul telah dinaikannya harga bahan bakar minyak bersubsidi. Kenaikan harga BBM pada bulan Juni dapat menekan impor minyak Indonesia di masa mendatang. "Sampai Juli, konsumsi BBM di bawah biasanya karena BBM baru dinaikkan. Angka defisit masih cukup tinggi di triwulan kedua karena BBM baru naik 22 Juni," kata Chatib.

Terpuruknya pasar saham dan melemahnya mata uang, kata dia, juga merupakan fenomena global yang terjadi di beberapa negara berkembang.

Namun, Menteri Keuangan mengakui, kondisi di Indonesia lebih parah ketimbang negara lain. "Depresiasi dan kejatuhan pasar saham di Indonesia lebih besar daripada di Thailand dan India,” ujar Chatib.

Padahal, beberapa waktu lalu Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan bahwa . Pada 23 Juli 2013, ketika rupiah pada kisaran Rp10.180-Rp10.220 per dolar Amerika, Gubernur Bank Indonesia menyatakan rupiah mulai konvergen ke level keseimbangan baru yang mencerminkan fundamental perekonomian.

Malaysia Berikutnya?

Richard Yetsenga memperkirakan kejatuhan kurs rupee India berpotensi berulang di negara-negara emerging market. Negara-negara yang mempunyai eksternal leverage (pembiayaan atau utang luar negeri) terbesar akan terkena tekanan terlebih dahulu.

Namun, kata dia, tekanan tersebut akan menyebar pada negara-negara lain yang mempunyai internal leverage (pembiayaan dalam negeri) tinggi. "Biaya modal akan meningkat dan menyebabkan berbagai persoalan di mana-mana. Semua negara-negara Asia akan menghadapi biaya modal dari pasar global yang lebih tinggi."

Negara-negara seperti Malaysia dan Thailand, kata dia, memiliki pertumbuhan kredit yang kuat dalam beberapa tahun terakhir. "Dan  tampaknya akan terlihat baik-baik saja dalam perpektif tekanan eksternal. Tapi negara-negara tersebut memiliki tingkat internal leverage yang sangat tinggi."

Robert Prior-Wandesforde, Direktur Riset ekonomi Asia Credit Suisse, menyatakan hal senada. Menurut dia, ringgit Malaysia dan baht Thailand akan bergejolak. 

"Namun Malaysia akan mengalami tekanan lebih buruk. Karena neraca transaksi berjalan Malaysia memburuk, pada saat yang bersamaan kepemilikan asing atas obligasi dan surat utang juga jauh lebih besar."

Kurs ringgit terhadap dolar AS tercatat telah melemah 8 persen tahun ini, atau titik terendah sejak tiga tahun yang lalu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya