Setelah "Shutdown," Ancaman "Default" Amerika Mulai Resahkan Dunia

Ilustrasi dolar
Sumber :
  • Reuters Photo

VIVAnews - Hari-hari yang berat belakangan ini dialami Amerika Serikat setelah pemerintah mengurangi layanan mereka akibat krisis anggaran, yang dikenal dengan istilah shutdown.

2 Motor Adu Banteng di Kembangan Jakbar, 1 Orang Tewas

Masih ada lagi masalah lain yang lebih besar, yaitu bila pemerintah AS berstatus gagal bayar utang (default) saat tenggat waktu pembayaran utang mulai dekat, 17 Oktober 2013, dan Kongres masih saja belum menyetujui anggaran baru pemerintah, terutama menaikkan plafon utang baru, yang disebut sebagai debt ceiling.

Saat memimpin delegasi Amerika Serikat pada KTT APEC di Bali awal pekan ini, menggantikan Presiden Barack Obama yang batal hadir, Menteri Luar Negeri John Kerry, berkali-kali di depan para jurnalis, pemuka bisnis, dan pemimpin mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi di negaranya saat ini lebih bermuatan politis, akibat gesekan Partai Demokrat dan Republik di Kongres mengenai cara meraup pemasukan negara.

"Saya percaya ini hanyalah bersifat sementara. Masalah itu akibat kepentingan politik dari sekelompok pihak di lembaga negara," kata Kerry, mantan senator dari Partai Demokrat. Dia juga tampak menenangkan perhatian publik atas kondisi keuangan negaranya dengan mengatakan bahwa Washington tidak akan membiarkan masalah itu berlarut-larut dan akan kembali kuat. 

Namun, apapun penyebabnya, sejumlah negara telah memperingatkan Pemerintah Amerika Serikat mengenai dampak gagal bayar terhadap perekonomian global. Pemerintah China dan Jepang tercatat yang paling khawatir jika default terjadi. Bagi kalangan pengamat, masalah gagal bayar AS juga bisa mempengaruhi sentimen pelaku pasar saham dan keuangan dunia. 

Pemerintah Jepang melalui Menteri Keuangannya, meminta Pemerintah Amerika Serikat pada Selasa kemarin untuk menghindari dampak default yang dapat mengakibatkan kekacauan terhadap perekonomian global. Selain itu mereka juga khawatir hal itu dapat membahayakan kepemilikan obligasi keuangan yang besar di AS.

Surat kabar New York Times, 8 Oktober 2013, juga melansir China pun menyampaikan peringatan serupa terhadap AS. China dan Jepang merupakan dua negara terbesar pemberi kredit bagi AS.

Saat ini total utang AS US$16,7 triliun dan jatuh tempo untuk dibayarkan pada tanggal 17 Oktober mendatang. Sedangkan pemerintah AS hingga pekan ini tidak memiliki dana untuk membayar utang tersebut, karena tidak adanya kesepakatan dengan DPR, yang dikuasai kubu oposisi dari Partai Republik, soal anggaran.

Maka tak heran, apabila China dan Jepang akhirnya ikut khawatir terhadap perekonomian AS yang terancam bangkrut. Menurut data Departemen Keuangan AS, Jepang memiliki nilai obligasi senilai US$1,4 triliun, sedangkan China kuasai obligasi AS senilai US$1,28 triliun.

"Pemerintah AS harus menghindari sebuah situasi di mana mereka tidak mampu membayar hutang-hutang tersebut. Mereka harus berhati-hati dan menyadari apabila itu terjadi, maka AS dapat terjerumus ke dalam krisis fiskal," ungkap Menkeu Taro Aso.

Ini merupakan komentar pertama yang diungkapkan Pemerintah Jepang sejak aksi penghentian sebagian operasi Pemerintah Federal (shutdown) dikeluarkan pada akhir September kemarin. Sebelumnya, Kepala Kabinet, Yoshihide Suga dan Aso, mencoba menepis kekhawatiran berlebihan mereka terhadap situasi di AS dengan mengatakan bahwa itu merupakan isu domestik Negeri Paman Sam.

Hal itu turut diungkap Direktur Jenderal Pers dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Jepang, Kuni Sato, dalam pertemuan terbatas dengan beberapa media, termasuk VIVAnews, di sela-sela KTT APEC di Bali pada Selasa 7 Oktober 2013. Sato mengatakan Perdana Menteri Shinzo Abe, tidak mengatakan apa pun terkait isu shutdown dan tenggat waktu pembayaran hutang AS.

"Dia tidak mengomentari peristiwa shutdown atau dampak dari aksi tersebut terhadap perekonomian Jepang. Bagi PM Abe, itu merupakan permasalahan internal yang tengah dihadapi AS," kata Sato.

Sato juga mengatakan Abe tidak mempermasalahkan absennya Presiden Barack Obama di KTT APEC, karena agenda apa pun akan tetap berjalan seperti biasa, termasuk pembicaraan mengenai Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).

"PM Abe mengatakan ada atau tidak adanya Obama, pembicaraan mengenai TPP akan terus berjalan. Kami akan terus berupaya untuk mencapai tujuan atau kesepakatan," imbuh Sato.

Namun pandangan Jepang sudah mulai berubah, karena pernyataan Sato dilontarkan secara tegas yang menandakan Tokyo sudah mulai tidak sabar melihat perkembangan di Washington. "Ketegangan soal anggaran sepertinya membahayakan perekonomian global melalui pasar keuangan," ujar Aso.

Bahkan Aso mengindikasikan, dia akan membahas isu tersebut dengan Menteri Keuangan AS, Jacob J. Lew, ketika keduanya akan bertemu dalam forum Menteri Keuangan G20 di Washington pada pekan ini.

Bahkan pada Senin kemarin, beberapa pejabat tinggi Jepang mengadakan telekonferensi dengan pejabat tinggi dari Depkeu AS. Mereka mendorong Pemerintah AS agar segera menuntaskan kesepakatan soal plafon utangnya.

Kekhawatiran itu juga sudah direspons oleh Jepang secara cepat ketika militer Jepang pada Selasa kemarin mengumumkan pembatalan latihan bersama dengan tentara AS akibat aksi shutdown. Padahal keduanya direncanakan akan melakukan latihan militer bersama pada pekan depan.

Sementara kekhawatiran dari Pemerintah China disampaikan oleh Wakil Menteri Keuangan, Zhu Guangyao. Pada Senin kemarin, Zhu secara resmi mengatakan telah menghubungi Washington.

Dia mengatakaan Pemerintah AS memiliki tanggung jawab untuk menghindarkan krisis hutang. Zhu turut meminta AS agar segera mengambil langkah pencegahan untuk memastikan investasi China di AS aman dan dapat memulihkan perekonomian global.

Zhu turut meminta Pemerintah AS agar belajar dari pengalaman sebelumnya yang pernah terjadi di tahun 2011 silam. Saat itu terjadi konfrontasi hebat mengenai ambang batas hutang di bulan Agustus.

Kekacauan itu diakhiri dengan kesepakatan setelah 11 jam di bawah tekanan pasar dan peringatan bencana ekonomi apabila default benar-benar terjadi. Gara-gara peristiwa itu, badan pemeringkat rating ternama untuk saham dan obligasi, Standar & Poors (S&P), menurunkan peringkat kredit AS dari AAA menjadi AA+.

"Kami berharap AS dapat menarik pelajaran dari sejarah mereka di masa lampau," kata Zhu.

Ancaman Krisis Global

Bagi pengamat keuangan internasional, kekhawatiran sejumlah negara akan masa depan AS yang terancam default itu dimaklumi. Apalagi kekhawatiran muncul dari negara-negara yang memiliki obligasi pemerintah AS dalam jumlah besar.

Direktur PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, mewanti-wanti bila masalah debt ceiling tidak bisa segera diselesaikan jelang tanggal jatuh tempo pembayaran utang, akibatnya bisa fatal, tidak saja di AS sendiri, namun juga mancanegara. "Bila pemerintah AS default, krisis global yang terjadi bisa lebih parah ketimbang 2008," kata Budi saat dimintai pendapatnya oleh VIVAnews Rabu ini.
 
Menurut dia, sejauh ini investor obligasi, yang dianggap lebih cerdik ketimbang investor saham, tidak mengindikasikan risiko default itu terjadi. "Sebab bila risiko itu membesar, semestinya yield SUN di AS sudah meningkat," kata Budi.

Dia menilai Indonesia pun harus mulai mengantisipasi ancaman gagal bayar utang atas AS. "Default itu akan memicu perlambatan ekonomi global yang berisiko menekan harga komoditas yang menjadi sumber ekspor Indonesia.

Sementara itu, pemerintah tetap mempertahankan harga BBM yang harus diimpor. Sebagai akibatnya defisit neraca berjalan terus terjadi sehingga berpotensi memicu risiko rupiah tetap melemah," kata dia. Menurut Budi, semua sektor, terutama yang terkait dengan komoditas, akan terkena dampaknya.

Maka Pemerintah harus juga mengantisipasi dampak capital outflows termasuk kesehatan perbankan dan perusahaan yang berutang valas. "Pemerintah sebaiknya mempercepat penguatan investor domestik untuk menyerap surat berharga yang dilepas oleh investor asing," ujar Budi. (eh)

Dok. Istimewa

Ketua KPU Dilaporkan karena Diduga Lakukan Tindakan Asusila

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy'ari dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena diduga melakukan tindakan asusila.

img_title
VIVA.co.id
18 April 2024