Duta Besar RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema

Warga RI dan Australia Ingin Ketegangan Diplomatik Segera Berakhir

Duta Besar RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema
Sumber :
  • KBRI Canberra / Eko Junor

VIVAnews - Hubungan diplomatik Indonesia dan Australia memburuk sejak terbongkarnya skandal penyadapan atas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara, dan  para pejabat RI lainnya. Situasi ini menjadi ujian terberat bagi Nadjib Riphat Kesoema sejak setahun menjadi Duta Besar Indonesia untuk Australia.

Pemerintah Indonesia marah selama Perdana Menteri Tony Abbott tidak kunjung minta maaf maupun memberi penjelasan yang memuaskan terkait skandal penyadapan oleh Badan Intelijen Australia, Defence Signals Directorate, dan soal kegiatan intelijennya di negeri ini - seperti yang telah dibocorkan Edward Snowden kepada media-media massa internasional.

Mumpung Ramadhan, Ammar Zoni Banyak Berdoa Agar Segera Bebas dari Penjara

Reaksi pertama dari Jakarta atas skandal itu adalah memanggil pulang Dubes Nadjib dari Canberra untuk "konsultasi" hingga jangka waktu yang belum ditentukan.

Selasa malam (19/11) tiba di Jakarta, Rabu paginya (20/11) Nadjib langsung dipanggil ke Istana untuk ikut rapat bersama Presiden Yudhoyono bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, dan para petinggi terkait. Beberapa jam kemudian, Presiden kepada media massa resmi mengumumkan protes atas Australia sambil menuntut penjelasan tertulis dari PM Abbott terkait skandal penyadapan oleh intelijennya.

Tidak hanya itu, selama belum ada tanggapan yang memuaskan dari Canberra, Indonesia pun untuk sementara menghentikan kerjasama pertukaran informasi, intelijen dan militer dengan Australia, termasuk kerjasama menanggulangi arus penyelundupan imigran gelap yang selama ini jadi kekhawatiran pemerintah di Negeri Kanguru itu. Menlu Natalegawa pun memastikan Indonesia kini tengah menurunkan tingkat hubungan diplomatiknya dengan Australia.

Dalam bincang-bincang dengan VIVAnews, Jumat 22 November 2013, Dubes Nadjib tidak bersedia berkomentar panjang lebar soal ketegangan hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia maupun soal skandal penyadapan. Ini mengingat isu itu begitu sensitif dan tengah ditangani oleh pemimpin kedua negara.

Maka, dia memilih menahan diri untuk menangapi pertanyaan-pertanyaan yang bisa mengundang salah pengertian dan memperkeruh suasana. Nadjib mengingatkan, sebagai Duta Besar RI untuk Australia, dia wajib mewakili kepentingan bangsa dan negara Indonesia sekaligus memelihara hubungan yang baik antara Indonesia dan Australia.

Itulah sebabnya dia lebih antusias mengingatkan bahwa betapa eratnya hubungan pemerintah dari kedua negara, yang sudah berjalan 60 tahun, dan juga hubungan kedua bangsa, yang telah terjalin erat ratusan tahun lampau. Maka, sepulangnya dari Canberra, Nadjib pun mengaku menerima surel (email) dari banyak warga Indonesia yang bermukim di Australia, baik yang sedang bekerja maupun belajar.
 
"Mereka mengatakan sebenarnya kedua negara saling berdekatan dan membutuhkan. Mereka ingin agar badai segera berlalu. 'Saya tahu kedua negara saling membutuhkan, Pak. Oleh sebab itu saya berharap bahwa kepulangan Pak Nadjib ke Indonesia akan mempercepat penyelesaian masalahnya.' Banyak harapan agar masalah ini segera selesai," kata Nadjib mengungkap isi email para warga.

Di tengah masih berlangsungnya penyelesaian masalah diplomatik Indonesia-Australia terkait skandal penyadapan itu, Nadjib membatasi diri untuk tidak menerima wawancara dari banyak media.

Namun, mantan Dubes RI untuk Belgia dan Uni Eropa itu bersedia berbicara panjang-lebar kepada VIVAnews soal seberapa dekat hubungan Indonesia-Australia, dampak yang muncul dari penurunan derajat hubungan diplomatik serta besarnya harapan rakyat dari kedua negara agar ketegangan diplomatik ini segera diselesaikan.

Sebagai Duta Besar RI seberapa sering Anda berkomunikasi dengan Pemerintah Australia?

Park Serpong Jadi Lokasi Bukber Dispar Banten, Intip Potensi Bisnis dan Kontribusinya ke Daerah

Pemerintah itu kan tingkatannya banyak, dari atas sampai bawah. Boleh dibilang seminggu tiga kali saya bertemu dengan Pemerintah Australia.

Lebih sering saya bertemu dengan pihak Kementerian Luar Negeri mereka, bertemu dengan First Assistant Secretary, Direktur, Deputi, Dirjen, kadang-kadang bertatap muka dengan Menteri Luar Negerinya.

Jokowi Imbau Warga Mudik Lebih Awal, Jumlahnya Naik 56 Persen

Lalu saya mendampingi pejabat tinggi kita untuk bertemu dengan pemerintah Australia. Terakhir, saya mendampingi Wakil Presiden Boediono saat berkunjung ke Australia baru-baru ini. Jadi saya dampingi terus.

Bisa dikatakan setiap tahun sudah terjadi pertemuan yang intensif antarpemerintah?

Iya. Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, bahwa Indonesia dan Australia merupakan dua negara yang paling besar di kawasan ini. Kalau kita ingin bersatu, berteman, dan menggunakan potensi ini dapat menjadi negara yang sangat penting.

Apakah hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia termasuk yang paling erat dibandingkan dengan negara-negara lain?

Dilihat dari jumlah kunjungan dan jumlah perjanjian yang dimiliki. Saya rasa betul. Saya lihat Australia memang termasuk yang paling intensif menjalin hubungan dengan Indonesia. Jadi saling kunjung, kami juga memiliki
latihan militer bersama yang kemarin sudah ditarik. Kemudian kerjasama antar polisi, JCLEC yang ada di Semarang itu, macam-macam, semuanya ada.

Anda diperintahkan kembali ke Jakarta sementara waktu untuk berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat, apakah ada dampak dengan aktivitas di Kedutaan Besar RI di Canberra? Apakah kegiatannya dikurangi?

Ya tentu ada dampaknya, karena Kedutaan Besar RI di Canberra kini dipimpin pejabat Kuasa Usaha. Dalam proses pengambilan keputusan, tentu tidak seperti seorang Dubes. Terutama dari Pemerintah lokal melihat ada sesuatu yang sedang terjadi, bahwa ada situasi yang tidak mengenakkan yang sedang ditunjukkan oleh Indonesia kepada Australia. Kita sedang menunjukkan ada sesuatu yang sedang membuat Indonesia tidak senang.

Bila seorang duta besar ditarik kembali ke negaranya, seberapa besar terjadi penurunan derajat hubungan dengan negara tempat dia ditugaskan?

Sebenarnya [pemanggilan pulang] ini kan instrumen diplomatik untuk menyatakan sikap. Jadi kan instrumen diplomatik itu ada macam-macam yang digunakan untuk menyatakan suka, tidak suka.

Dubes dipanggil untuk konsultasi untuk menunjukkan sesuatu terjadi.

Tapi, saya tidak akan membicarakan penurunan hubungan, karena KBRI tetap ada di sana, sementara Kedubes Australia tetap berada di sini. Tapi bahwa saya dipanggil untuk mengekspresikan itu tadi.

Selama Anda di Jakarta, apakah ada pembatasan bagi para diplomat di KBRI Canberra, seperti larangan untuk berkomunikasi dengan media Australia?

Tidak ada, boleh saja berkomunikasi dengan media Australia. Selama mereka tahu asas yang tadi saya ucapkan sebelumnya, bahwa kami sebagai jembatan. Saya berada di sana untuk mewakili Indonesia. Jadi jangan sampai tidak ada Dubes justru malah menyulut genderang perang, itu tidak ada.

Menurut pengamatan Anda, bagaimana penilaian publik Australia terhadap permasalahan ini, mengingat hubungan diplomatik kedua negara saat ini sedang renggang?

Untuk menjawab ini bisa juga dilihat dalam survei yang diadakan oleh harian Sydney Morning Herald (SMH). Ketika publik di sana ditanyakan, apakah sebaiknya Pemerintah Australia meminta maaf [soal skandal penyadapan], sebanyak 70 persen di antara mereka menjawab setuju.

[SMH juga pernah mengadakan survei soal apakah petinggi Penasihat Liberal perlu memecat penasihatnya, Mark Textor, usai menghina Menlu Marty Natalegawa. Sebanyak 90 persen setuju agar dia dilempar dari Partai]

Jadi reaksi publik di Australia bisa tercermin dari survei-survei yang diadakan oleh surat kabar setempat?

Iya. Itulah wajah Australia yang memberikan jawaban itu. 

Lalu apakah ada komentar dari pihak Australia entah itu pejabat, akademisi maupun masyarakat yang menyayangkan munculnya ketegangan hubungan diplomatik ini?

[Jawaban] ini bisa dilihat dari artikel yang ditulis oleh Tim Lindsey. Itu adalah ekspresi kebanyakan orang Australia.

(Profesor Tim Lindsey dari Universitas Melbourne menulis opini di Harian Sydney Morning Herald pada 21 November 2013 berjudul "Indonesian Friendship Key to Asian Century."

Dalam artikelnya, Lindsey mendesak PM Tony Abbott segera menyelesaikan ketegangan diplomatik dengan Indonesia, mengingat Indonesia tidak saja sebagai tetangga yang berpengaruh namun juga tengah bangkit sebagai kekuatan besar yang selama ini membantu Australia mendekatkan diri ke Asia - Redaksi).

Saya baca artikel itu, yang menyebutkan bahwa kedua negara selama ini saling membutuhkan. Australia dibawa ke Asia Tenggara oleh Indonesia, dibawa ke pertemuan tingkat tinggi Asia Timur juga oleh Indonesia, karena Indonesia sangat percaya kepada Australia.

Jadi memang secara geostrategi, pertahanan dan perdagangan, ketergantungan Australia kepada Indonesia bisa dikatakan sangat besar ya? Oleh sebab itu mereka juga tidak ingin masalah ketegangan ini berlarut-larut?

Banyak sekali pihak yang merasa seperti itu.

Sebenarnya hubungan Indonesia dan Australia, terutama di bidang keamanan, sudah termaktub di dalam Traktat Lombok [Lombok Treaty] yang disepakati pada 2006. Di dalamnya tidak hanya membahas mengenai kerjasama pertahanan, namun juga berbagi informasi intelijen. Bagaimana Anda melihatnya?

Traktat Lombok merupakan sesuatu yang komprehensif. Kemudian kesepakatan tersebut memberikan pernyataan kepada kedua bangsa, bahwa kedua negara bukan sekedar teman baik, tetangga dekat tetapi juga mitra strategis. Mitra strategis kan mencerminkan kedekatan hubungan di antara kedua negara.

Oleh sebab itu kembali lagi tadi ke pertanyaan awal, Kenapa hal semacam ini bisa terjadi?

Apakah situasi yang melanda Indonesia-Australia saat ini turut mempengaruhi Traktat Lombok?

Tentu mempengaruhi semangat dari Traktat Lombok. Jadi semangat Traktat Lombok tercederai. Harus ada langkah-langkah untuk mengatasi hal ini.

Semangat yang tercederai itu bagian dari pelanggaran rasa saling percaya ya?

Karena kan tidak mungkin seseorang bersedia jadi mitra, apabila tidak ada rasa saling percaya. Harus ada rasa saling percaya dulu baru kemudian bisa menjadi mitra.

Bagaimana tanggapan masyarakat Indonesia di Australia mengenai ketegangan hubungan diplomatik yang tengah melanda kedua pemerintah?

Mengenai masyarakat Indonesia di Australia, tentu banyak warga kita di sana yang mengirimkan surat elektronik ke saya. Isinya mereka berharap masalah ini cepat selesai.

Apalagi bagi warga Indonesia yang bekerja di berbagai bidang di sana, seperti di universitas. Mereka mengatakan sebenarnya kedua negara saling berdekatan dan membutuhkan.

Mereka ingin agar badai segera berlalu. "Saya tahu kedua negara saling membutuhkan, Pak. Oleh sebab itu saya berharap bahwa kepulangan Pak Nadjib ke Indonesia akan mempercepat penyelesaian masalahnya". Banyak harapan agar masalah ini segera selesai.

Apalagi hubungan diplomatik kedua negara juga sudah berjalan sekitar 60 tahun

Betul. Tanggal 28 Oktober 2013, saya kembali memutar film "Indonesia Calling" [Ini film dokumenter berdurasi 23 menit dan disutradari sineas Australia, Joris Ivens, mengenai penolakan pelaut Australia untuk membantu kapal Belanda mengangkut amunisi dan peralatan militer yang akan diangkut menuju ke Indonesia supaya bisa menekan kemerdekaan RI]

Di situ digambarkan, bagaimana setelah perang kemerdekaan RI, kapal-kapal Belanda diboikot oleh para pekerja di Sydney. Tidak diisi, lalu krunya dipaksa turun. Mereka tidak punya kru, karena semua krunya orang Australia.

Akhirnya, mereka cari krunya dari India. Sampai di tengah laut, kru India ini diajak turun oleh pihak Belanda dan mereka akhirnya turun.

Itu kan sudah tercermin dari sejarahnya. Belum lagi jika kita membicarakan soal orang Aborigin yang dulu didatangkan oleh orang Makasar yang mereka sebut sebagai orang Makasan. Oleh sebab itu di Australia terdapat tanah merah, batu putih di North Territory. Itu nama biasa, Tanah Merah.

Lalu apabila mereka berbicara mengenai orang kulit putih asal Belanda, mereka menyebutnya Balanda seperti orang Indonesia. Orang-orang dari Sulawesi itu datang ke sana dan ketemu. Bendera orang Sulawesi [Bugis] itu kan putih biru, dipakai oleh orang Aborigin sebagai simbol.

Pemerintah Australia baru-baru ini menekankan kembali untuk menggalakkan Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan lembaga di sana. Perkembangan sejauh apa?

Perkembangannya sangat bagus. Kami melihat minat untuk mempelajari Bahasa Indonesia kian meningkat.

Kelas yang dibuka di KBRI Canberra saja, dari yang awalnya dibuka tiga kelas, lalu ditambah menjadi lima kelas. Kami sudah menolak tiga kelas. Khusus kelas dewasa ya untuk malam hari. Jadi tiga kali dalam seminggu.

Penyelenggaranya Asosiasi Indonesia-Australia (AIA). Satu kelas terdiri dari 18-20 peserta lah.

Pengajarnya ada yang berasal dari Indonesia dan ada juga orang lokal Australia. Namun, mereka semua memiliki sertifikasi mengajar.

Selain pengajaran Bahasa Indonesia, apakah universitas di Australia ada yang membuka program studi Indonesia?

Ada di hampir semua universitas, di Universitas Nasional Australia pun ada [ANU]. Contoh, seperti kemarin saat kunjungan Wapres Boediono ke Australia,

Beliau datang ke University of Western Australia [UWA] di Perth. Salah satu pengajarnya adalah istri dari Profesor David Hill. Keduanya ahli mengenai Indonesia. Sang istri ahli Bahasa Indonesia, sementara suaminya ahli politik Indonesia.

Apakah kerjasama di bidang budaya dan perdagangan tetap berjalan walaupun ada konflik diplomatik?

Ya, saya pikir itu kan hubungan antar warga dan hubungan tersebut harus tetap kuat.

Tapi bagaimana dengan hubungan perdagangan, apakah bisa terkena dampaknya?

Mungkin, bisa saja ada dampaknya. Tetapi kita semua harus kembali merujuk kepada pernyataan Presiden Yudhoyono agar tidak melewati batas. Presiden kan sementara ini hanya menginstruksikan ketiga hal saja. [meminta penjelasan resmi Australia soal aksi penyadapan, penghentian kerjasama di bidang militer dan intelijen, dan menuntut adanya protokol kode perilaku dan asas pedoman kemitraan di antara kedua negara]

Presiden SBY rapat dengan Djoko Suyanto, Marty Natalegawa, Sudi Silalahi

Sebenarnya di tahun ini apakah akan ada program besar yang mempertautkan hubungan Australia dengan Indonesia?

Tahun 2014 itu sebetulnya Australia memilih Indonesia sebagai tuan rumah program Tahun Budaya jadi untuk mereka ke tanah air. Sementara di Australia, ada sebuah pagelaran kebudayaan terbesar mengenai Indonesia, namanya IndoFest.

Festival itu diselenggarakan di Kota Adelaide. Itu adalah pesta rakyat, pesta kebudayaan mengenai Indonesia yang terbesar di Southern Hemisphere [selatan khatulistiwa]. Sebanyak 20 ribu orang hadir di acara itu.

Saya benar-benar kagum melihatnya. Acara serupa juga ada di Canberra, Sydney, Brisbane, Darwin dan Perth. Tapi yang diselenggarakan di Adelaide ini memang istimewa. Jadi seluruh warga kota Adelaide  tumpah ke jalan dan memeriahkan IndoFest tersebut. Di situ mulai dari Gubernur, Menteri-Menteri, semuanya turut hadir.

[Tahun 2013 IndoFest diselenggarakan tanggal 12-14 April. Ini merupakan pagelaran kali ke-6 yang diselenggarakan sejak tahun 2008 silam]

Semua orang tumpah di sana. Ada yang makan, main musik, main sulap, tari saman. Mereka semua berbaur. Orang-orangnya benar-benar berniat untuk berpartisipasi dalam acara itu.

Seberapa populer Indonesia saat ini di mata rakyat Australia?

Mereka sudah banyak yang sudah mengenal Indonesia sekarang secara umum. Hampir satu juta turisnya datang ke tanah air. Hampir 18 ribu mahasiswa Indonesia setiap tahun menuntut ilmu di Australia.

Kemudian sekitar 60 ribu warga Indonesia tinggal di Australia. Mereka bekerja, menuntut ilmu, dan lain-lain. Jadi semuanya itu untuk membangun rasa saling pengertian.

Bagaimana dengan program New Colombo Plan, rencana pemerintah Australia untuk mengirim banyak warganya belajar dan tinggal di Indonesia?

Tadinya kan memang banyak pelajar dari Asia datang ke Australia untuk belajar. Sekarang pelajar dari Australia, dikirim ke beberapa universitas di
Indonesia untuk menuntut ilmu. Itu gagasan yang bagus.

Berapa jumlah pelajar yang akan dikirim ke Indonesia?

Mereka kan belum mulai mengimplementasikan tahun ini ya. Jadi baru akan terealisasi di tahun 2014.

Tetapi apakah sudah ada beberapa universitas di Indonesia yang bersedia menampung mereka?

Sudah ada beberapa universitas di sini yang menyatakan kesediaannya dan universitas tersebut tidak hanya berada di Pulau Jawa.

Tapi sering terdengar bahwa warga Australia kerap menyebut Bali sebagai halaman belakang rumah mereka?

Justru bagus kan untuk meningkatkan sektor pariwisata? Apalagi jika mereka menganggap Bali sebagai rumah mereka. Makanya lebih dari 90 persen dari satu juta turis Australia memang memilih pergi ke Bali.

Selain itu juga karena warga di bagian barat Australia lebih merasa dekat ke Bali ketimbang pergi ke Gold Coast...

Betul. Mereka merasa lebih dekat ke Jakarta ketimbang ke ibukota Canberra, karena kalau ke Canberra butuh waktu lima jam, sementara ke Jakarta hanya

Perlu terbang selama empat jam. Di Perth, zona waktu sama seperti di Bali, beda waktu tiga jam dengan Canberra.

Tetapi jumlah turis Australia tidak akan berkurang karena konflik diplomatik ini?

Tidak. Mereka tahu karena Indonesia merupakan negara demokrasi sama seperti di Australia.

Mengingat sudah lama terjalin kedekatan, walau kini dua pemerintah tengah bersitegang, namun apakah Anda melihat rakyat dari kedua negara sudah bisa secara jernih melihat situasinya?

Ya, itulah. Kita boleh bicara seperti itu. Kita melihat hal tersebut dari sisi positif sebagai ajang untuk berlatih ke depan.

Termasuk memperingatkan pemerintah masing-masing, agar secepatnya menyelesaikan konflik ini?

Betul.

Dubes Nadjib Riphat Kesoema

Sebelum dipanggil pulang ke Jakarta, apakah ada pesan yang sempat Anda sampaikan kepada warga Indonesia di Australia?

Kebetulan Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia di Australia [PPIA], Pan Mohamad Faiz, mengkontak atase pendidikan di KBRI. Dia minta izin untuk dapat bertemu dengan saya. 

PPIA ini memilik cabang di universitas dan negara bagian. Jadi di mana-mana semua ada.

Saya minta tolong untuk menyampaikan salam saya kepada para anggota PPIA dan mereka dimohon tenang menghadapi situasi sekarang. Tetap belajar, mengikuti semua perkembangan yang terjadi. Namun, jangan juga mereka jadi acuh terhadap perkembangan yang terjadi.

Biarkanlah dan serahkanlah isu ini untuk ditangani Pemerintah. Insya Allah bisa diselesaikan dengan baik. Itu kira-kira yang saya sampaikan. Lalu, dia bertanya bagaimana nasib kelanjutan kegiatan kemahasiswaan yang ingin berangkat ke negara bagian A dan B?

Saya katakan silahkan untuk diteruskan. Karena hubungan antar masyarakat penting untuk memberikan warna dari hubungan yang ada. Kemudian ketua dari Himpunan Keagamaan, ada Romo Mathius dari Canberra. Saya katakan, minta doa supaya masalah ini cepat selesai. Tolong katakan kepada umat supaya tenang dan baik.

Tapi tidak ada niatan dari mereka untuk menggelar protes di Australia?

Saya pikir tidak. Pelajar dan warga Indonesia di luar negeri adalah masyarakat yang patuh terhadap tuan rumah. Saya rasa masyarakat Indonesia di luar negeri bukan tipikal yang begajulan.

Pekan lalu terjadi demonstrasi di depan Gedung Kedubes Australia. Apakah Anda punya imbauan bagaimana seharusnya rakyat Indonesia di sini bersikap?

Saya pikir Indonesia adalah negara demokrasi. Jadi saya tidak ingin menghalangi rakyat untuk berdemokrasi. Tapi saya harap jangan kasar, merusak, jangan mengganggu ketertiban umum. Cobalah belajar untuk menjadi demokrat yang sejati dan dewasa.

Kami pernah mengalami bagaimana rasanya menjadi mahasiswa, aktivis, dan lain-lain. Jadi kami tahu, betapa pentingnya untuk mengekspresikan diri. Tetapi patuhi peraturan, kemudian tidak vandalis, intimidatif. (sj)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya