Kesaksian Penting Agus Martowardojo dan Bu Pur Atas Kasus Hambalang

Sylvia Sholehah alias Bu Pur
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVAnews - Dua orang penting hadir sebagai saksi di sidang dugaan korupsi pada proyek pengadaan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Selasa 10 Desember 2013. Mereka adalah mantan Menteri Keuangan yang kini Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, dan Sylvia Solehah alias Bu Pur. Keterangan mereka menguak peran-peran sejumlah nama dalam proyek Hambalang. Siapa saja?

Dalam sidang dengan terdakwa Deddy Kusdinar itu, Agus lebih banyak mengupas soal anggaran proyek Hambalang mengingat kapasitasnya sebagai menteri keuangan kala itu. Agus khusus ditanyai soal perubahan kontrak anggaran Hambalang, dari semula tahun tunggal menjadi tahun jamak.

Agus kemudian menceritakan soal nota dinas Hambalang yang dia terima. Dia mengakui tak membaca terlalu dalam nota itu. Namun, kata Agus, di dalamnya ada rekomendasi Dirjen Anggaran Kemenkeu. "Rekomendasi Dirjen Anggaran terkait dengan kontrak tahun jamak dan terkait dengan proses anggarannya," kata Agus.

Hakim sempat memastikan, siapa yang menjabat sebagai Dirjen Keuangan, saat itu. Dengan tegas, Agus menjawab, "Anny Ratnawati."

Agus blak-bakan mengakui tak tahu soal proyek Hambalang saat itu karena baru saja dilantik sebagai menteri keuangan. Di sisi lain, Kemenkeu merupakan lembaga negara yang sangat besar di mana ada 17 eselon 1, seperti Dirjen Pajak, Dirjen Anggaran.

Pemerintah Harus Antisipasi Kebijakan Ekonomi-Politik Imbas Perang Iran-Israel

"Nah, ada ciri khas di Kemenkeu, yakni memberi otonomi kewenangan yang sangat luas kepada dirjen-dirjennya atas dasar sistem peraturan yang jelas," tutur Agus. Artinya, kata dia, semua proses A-Z di Kemenkeu sebisa mungkin ditangani dirjen tersebut.

Ketika Agus menerima nota dari Anny itu, Agus memilih untuk mencantumkan kata-kata 'selesaikan'. Agus menerangkan, pilihannya untuk memberikan disposisi 'selesaikan' pada nota dinas kontrak tahun jamak proyek Hambalang adalah agar Dirjen Anggaran menyelesaikan kontrak tersebut sesuai aturan. "Karena aturannya sudah ada. Kalau aturannya menolak ya tolak, kalau bisa diselesaikan ya selesaikan sesuai aturan," jelasnya.

Agus baru mengetahui kontrak tahun jamak pada proyek Hambalang itu dipersoalkan, saat kasus korupsi wisma atlet mencuat dengan tersangka . Agus kemudian memerintahkan stafnya mempelajari kembali proses anggaran Hambalang, termasuk soal nota atau disposisi yang pernah diajukan Anny tersebut. "Yang Mulia, saya harus sampaikan bahwa nota itu, pertama kali saya terima dan terakhir," tukas Agus kepada hakim.

Selanjutnya, Agus mengutip Peraturan Menteri Keuangan nomor 56 tahun 2010 tentang Tata Cata Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. "Di dalam PMK ini disebutkan jelas bahwa untuk proses tahun jamak, sepenuhnya didelegasikan pada dirjen anggaran. Selanjutnya kami ada keputusan Kemenkeu nomor 347 tahun 2008 juga mencantumkan secara jelas pendelegasian wewenang menteri pada dirjen anggaran untuk memproses, termasuk menandatangani," kata Agus.

Setelah Hambalang ramai diberitakan, Agus kemudian memerintahkan Inspektorat Jenderal Kemenkeu untuk mengaudit kontrak tahun jamak proyek Hambalang. Hasilnya, ada delapan penyimpangan. Agus kemudian membeberkan beberapa penyimpangan tersebut, yaitu:

1. Surat permohonan persetujuan kontrak tahun jamak tidak ditandatangani Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Dokumen ini malah diteken Sesmenpora Wafid Muharam.

2. Permohonan persetujuan kontrak tahun jamak itu malah melampirkan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) tahun tunggal. Padahal, anggaran yang diajukan adalah tahun jamak.

3. Rekomendasi teknis pembangunan gedung  juga tidak ditandatangani Menteri Pekerjaan Umum.

Selain itu, kata Agus, ada tiga ruang lingkup permasalahan dalam pengajuan kontrak proyek Hambalang. Pertama, mengapa anggaran Hambalang yang awalnya Rp125 miliar bisa naik menjadi Rp275 miliar, kemudian naik lagi jadi Rp400 miliar. "Yang tahu ialah kementerian olahraga. Dan untuk mendapatkan persetujuan, anggaran itu pasti dibahas dengan komisi DPR terkait, yaitu Komisi X," jelas Agus.

Kedua, mekanisme penambahan anggaran yang dibahas oleh Kemenpora dan Komisi X DPR. Agus mencatat sepanjang tahun 2010, Kemenpora dan Komisi X DPR telah menggelar sembilan kali pertemuan membahas anggaran proyek Hambalang.

Ketiga, kontrak tahun jamak terkait dengan pengadaan barang dan jasa. "Kalau mereka ingin melakukan kontrak lebih dari satu tahun dan kontraknya tidak dapat dipisah-pisahkan, itu namanya pengadaan tahun jamak. Nah, kalau tahun jamak harus meminta perizinan dari Kemenkeu. Kemenkeu dalam hal ini berhubungan dengan Dirjen Anggaran," paparnya.

Apa kata Anny?

Prediksi Premier League: Fulham vs Liverpool

Dalam sidang dengan terdakwa yang sama, Selasa 3 Desember 2013, Anny berargumen bahwa Kemenkeu sudah melaksanakan prosedur yang benar. Dia lalu melempar kesalahan kepada Kemenpora sebagai pengguna anggaran. Menurut Anny, Kemenpora salah dalam mencairkan anggaran proyek tersebut.

Anny juga mengungkapkan kelalaian Kemenpora lainnya. Menurutnya, Kemenpora melewati batas waktu revisi pengajuan anggaran Hambalang. Seharusnya revisi sudah dikirim sebelum 15 Oktober 2010 ke Dirjen Kemenkeu. Tapi Kemenpora--melalui Wafid Muharram selaku Sesmenpora saat itu--baru mengirim surat pada 16 November 2010 ke Dirjen Anggaran, yang isinya meminta dispensasi batas waktu revisi pengajuan anggaran.

Surat itu juga tak melampirkan dokumen analisis komponen biaya proyek Hambalang. “Faktanya revisi diajukan pada akhir tahun. Ini kan jadi penumpukan (dokumen dari sejumlah kementerian). Padahal kami (Kemenkeu) juga dituntut harus cermat memeriksa dokumen-dokumen itu,” kata Anny yang kini menjabat sebagai wakil menteri keuangan itu.

Belum ada penjelasan, mengapa sistem anggaran tahun jamak itu kemudian diberikan kementerian keuangan, meski dua syarat yang disebutkan Agus itu -- surat permohonan yang tidak ditandatangani Menpora dan rekomendasi yang tidak ditandatangani Menteri Pekerjaan Umum-- jelas-jelas melanggar ketentuan.

Ditanya Kontrak STY, Erick Thohir Sebut Sepakbola Indonesia di Jalur yang Tepat

Bu Pur sangkal BAP

Hadir dengan berkerudung hitam, Bu Pur berkali-kali membantah sejumlah keterangan dalam berita acara pemeriksaannya (BAP) sendiri. Dia bahkan menuding, penyidik KPK telah merekayasa keterangannya.

Tudingan itu dialamatkan Bu Pur ke penyidik setelah anggota majelis hakim, Anwar, mengkonfirmasi isi BAP-nya. Dalam keterangan dalam BAP itu, Bu Pur mengaku pernah mengirimkan pesan singkat ke Sudarto, pejabat di Dirjen Anggaran Kemenkeu, untuk menanyakan perkembangan kontrak tahun jamak proyek Hambalang.

"Bukan saya Pak. Saya tidak pernah ditanyakan begitu. Saya hanya ditanya penyidik apa kenal Sudarto? Saya tidak kenal," kata Bu Pur.

Meski begitu, Bu Pur mengaku pernah diminta tolong seseorang bernama Arif Gunawan alias Arif Botak untuk mengirim pesan singkat ke Sudarto. Adapun isi pesan singkat itu ditulis Arif untuk diteruskan ke Sudarto. Bu Pur mengklaim tidak tahu isi pesan singkat itu.

"Waktu itu ada rapat keluarga, Arif Gunawan ini tanya sudah sampai mana. Saya tanya apanya dimana. Akhirnya Arif membuat SMS diteruskan ke saya, terus saya teruskan ke Pak Sudarto," ujarnya.

Bu Pur juga membantah BAP yang menyebut dia terlibat dalam proyek Hambalang. Hakim Anwar lantas membacakan beberapa keterangan Bu Pur yang mengakui ikut membantu pengurusan kontrak tahun jamak proyek Hambalang dan pengadaan peralatan olah raga di Hambalang.

"Ini ada di BAP Anda, BAP nomor 15, apakah Ibu pernah membantu Kemenpora untuk mengurus izin multiyears, proyek P3SON Hambalang, jika tahu jelaskan? Jawaban Ibu begini, 'ya saya pernah membantu Pak Wafid Muharam untuk mengurus izin multiyears yang tak kunjung selesai.' Bagaimana?" tanya hakim.

"Tidak pernah. Tidak benar. Bukan saya yang tidak benar, tapi penyidiknya yang tidak benar," tutur Bu Pur. "Apa hantu yang mengetik ini?" timpal hakim. Namun, Bu Pur tetap bertahan dengan kesaksiannya dan menyatakan tidak pernah tahu soal proyek Hambalang.

Saat menceritakan Bu Pur sempat menyebut nama Widodo Wisnu Sayoko. Penasaran, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor kemudian menanyakan, siapa Widodo itu.

"Widodo siapa?" tanya hakim.

"Sepupunya Bapak," jawab Bu Pur.

"Bapak siapa?" tanya hakim lagi.

"Pak SBY," kata Bu Pur.

Hakim anggota, Purwono Edi juga sempat menyinggung kedekatan Bu Pur dengan keluarga besar Cikeas. Saat itu, Hakim Purwono bertanya seputar awal mula perkenalan Bu Pur dengan Widodo. "Kenal dengan Widodo dimana?" tanya hakim. "Kenal di rumah Eyang Bibah Pak. Di kediamannya Cikeas," jawab Bu Pur yang menyangkal disebut sebagai .

Menurut Bu Pur, Eyang Bibah adalah orangtua Presiden SBY.

Widodo disebut-sebut ikut membantu pengurusan kontrak proyek Hambalang menjadi tahun jamak. Saat bersaksi dalam sidang kasus ini, beberapa waktu lalu, Widodo mengaku pernah mengikuti rapat bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga di Kementerian Keuangan. Namun, Widodo mengaku diajak bosnya, Arif Gunawan alias Arif Gundul.

Dalam kesaksiannya, Widodo juga menyangkal pernah membahas soal Hambalang, dalam pertemuan dengan Bu Pur. “Saya cuma berkenalan saja (dengan Bu Pur),” kata Widodo.

Meski membantah terlibat di Hambalang, tapi Bu Pur mengakui pernah meminta proyek pengadaan mebel di Kemenpora. Namun, dia mengklaim, proyek yang ia minta itu untuk teman. “Saya hanya menanyakan, membantu teman saya, apakah di Kemenpora ada proyek mebel,” kata Bu Pur.

Bu Pur dua kali berkunjung ke kantor Kemenpora. Setelah menanyakan proyek pengadaan mebel untuk rekannya itu, Bu Pur mendapat kabar gembira. Perusahaan temannya mendapat pekerjaan pengadaan mebel di Kemenpora. “Tapi secara prosedural dan itu tidak terkait Hambalang,” ujarnya.

Usai persidangan, Deddy Kusdinar membenarkan Bu Pur pernah menanyakan proyek pengadaan mebel untuk rumah sakit atlet. “Iya, yang dapat temannya,” kata Deddy. (ren)


Baca juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya