Kabareskrim Komisaris Jenderal Suhardi Alius

Bisa Dibilang Polisi Itu Ketiban Sial

Komisaris Jenderal Suhardi Alius
Sumber :
  • Dokumen Humas Polri

VIVAnews - Jajaran reserse Markas Besar Kepolisian RI memiliki komandan baru. Pucuk pimpinan tertinggi para detektif se-tanah air kini dipegang oleh Komisaris Jenderal Suhardi Alius. Melanjutkan tongkat komando Jenderal Sutarman yang naik jadi Kapolri, Suhardi dilantik sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri pada 6 Desember 2013.

Suhardi merupakan perwira tinggi jebolan Akademi Kepolisian tahun 1985. Selama berkarier di kepolisian, mantan Kapolda Jawa Barat itu banyak mengemban tugas di korps reserse. Sejumlah pos strategis di reserse pernah dijabat.

Bursa Saham Asia Kompak Anjlok Imbas Ekskalasi Konflik Iran-Israel, BEI Buka Suara

Kiprahnya sebagai penyidik dimulai saat pria kelahiran Jakarta 10 Mei 1962 itu ditunjuk menjadi Komandan Penyidik Moneter Direktorat Reserse Ekonomi Kor Serse Polri pada 1999.

Dari sana, suami Dr Riri Nusrad Kanam ini kemudian dipercaya jadi Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Kariernya terus melejit hingga dia terpilih sebagai orang nomor satu di Direktorat Reserse Polda Metro Jaya. 
  
Suhardi yang pernah memimpin Polres Depok dan Polres Jakarta Barat dikenal sering turun langsung ke lapangan. Sewaktu menjabat Wakapolda Metro Jaya pada 2011, pria 51 tahun itu rajin melakukan inspeksi mendadak ke polsek-polsek. Dia datang dengan mengenakan pakaian biasa alias bukan seragam polisi. Memakai kaus, celana jeans dan sandal jepit. Ayah tiga anak ini menganggap cara itu perlu dilakukan agar pimpinan dapat melihat langsung kinerja anggota di lapangan.

Dia menduga bahwa anggota polisi cenderung lengah, tidak responsif dan semaunya bila tidak diawasi. Saat melakukan sidak diam-diam ini banyak anggota yang tidak mengenali mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri itu. Pria berdarah Minang ini bahkan pernah "dipimpong."

Beberapa personel di polsek pun terpaksa kena sanksi karena tidak disiplin dalam bekerja. Tak sedikit yang kena tegur karena tidak ramah pada masyarakat. Berkat penyamaran Suhardi, para pimpinan wilayah jadi termotivasi untuk selalu siaga menjaga keamanan sekitar. Alhasil, angka kriminalitas bisa ditekan.

Menjadi Kabareskrim di tengah terpuruknya citra Polri di masyarakat tidaklah mudah. Apalagi tak sedikit warga yang kecewa dengan kinerja reserse. Di tengah kesibukannya yang padat setelah dilantik menjadi Kabareskrim, jenderal bintang tiga ini menyempatkan diri berbincang dengan Wenseslaus Manggut, Desy Afrianti, dan Rohimat Nurbaya dari VIVAnews di Kemayoran, Jakarta Pusat pada Rabu, 11 Desember 2013.

Puji MK Persilakan Pemohon Serahkan Kesimpulan Sengketa Pilpres, Refly: Luar Biasa

Selama satu jam, Suhardi menjelaskan konsep dan strateginya memimpin reserse. Apa saja yang akan dia kerjakan? Berikut petikan wawancara itu.

Anda terhitung paling cepat naik pangkat dari Akpol angkatan 1985. Termasuk Kabareskrim yang paling muda. Bagaimana perasaan Anda, apakah mampu memikul tugas penting itu?

Saya melihat tugas baru ini dari dua sisi. Pertama bahwa saya sedang mendapat anugerah. Kedua, jabatan ini merupakan tantangan bagi saya. Apakah saya mampu  atau tidak menghadapinya. Pimpinan menunjuk saya di posisi itu, berarti ekspektasi terhadap saya cukup besar. Kalau tidak bisa mengelola amanah itu dengan baik, tantangan ini bisa berubah menjadi musibah bagi karier saya.

Pertama Kali, Ukraina Tembak Jatuh Pesawat Pengebom Rusia

Data menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen keluhan masyarakat masuk ruang lingkup reserse. Karena itu saya harus bisa mengidentifikasi dan memetakan persoalan di reserse itu. Kemudian dicari variabelnya. Apa saja yang membuat komplain itu sedemikian besar. Bagaimana kita mereduksinya. Saya akan mencoba memetakan secara benar.

Karena saya lama di reserse, setidaknya saya tahu mengapa keluhan itu cukup besar. Secara teoritis sesungguhnya bisa dijelaskan. Jelas bahwa reserse itu punya fungsi yang bisa dianggap represif. Secara yuridis dia bertugas melakukan pemanggilan, melakukan upaya paksa, menangkap, menahan dan melakukan penggeledahan.

Tugasnya seperti itu. Sejak reserse memanggil orang, penyidik itu sudah membatasi ruang gerak dari sisi hak asasi manusia. Misalnya orang yang biasa kerja jadi tidak kerja. Harusnya sekolah jadi tidak sekolah. Belum lagi soal trauma dipanggil polisi. 

Mungkin saja kami kurang menjelaskan kepada publik bahwa memang begitulah seharusnya tugas kami. Jadi publik tidak harus takut. Mungkin sisi kemanusiaan kurang disentuh dengan baik oleh penyidik. Tidak semua masyarakat itu melek hukum. Jadi sebelum masuk kantor polisi itu orang sudah gemetar duluan. Padahal tugas kami bukan bikin orang gemetar.


Seperti apa cara Anda  mengurangi keluhan masyarakat itu?

Harus meningkatkan peran Babin Kamtibmas. Kalau perlu mereka menemani orang-orang yang belum terbiasa ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Kami ini menghadapi mentalitas masyarakat yang belum siap semua. Coba tanya siapa yang mau jadi saksi suatu kasus. Tidak ada yang mau jadi saksi. Mentalitas masyarakat di Indonesia itu belum seperti di luar negeri, yang sadar hukum.

Saya lihat sisi itu bisa kami sentuh. Penyidik di seluruh Indonesia itu ada 400 ribu orang, dan 80 persennya bintara. Dari 80 persen bintara itu, sekitar 10 persen reserse. Mereka akan kami kasih bimbingan agar lebih humanis dalam menangani suatu kasus. 

Salah satu sebab yang membuat citra polisi buruk adalah karena dianggap melakukan rekayasa kasus. Apa tindakan yang akan Anda lakukan terhadap personel yang seperti itu?

Saya ingatkan kepada mereka. Kita ini tidak selamanya menjabat. Usia tidak ada yang tahu. Artinya kami sampaikan kepada anggota kami agar yang sudah punya jabatan supaya amanah dalam melaksanakan tugas. Kalau macam-macam, jangan marah lah kalau kami ganti. Saya sebagai pimpinan punya otoritas.

Saya akan kumpulkan direktur reserse di seluruh Indonesia. Akan saya ingatkan kepada mereka. Sehingga nanti apabila ada komplain dan itu benar, saya minta kapolri supaya copot mereka. Supaya memberi efek jera kepada yang lain.

Polisi, khususnya reserse dianggap tidak transparan dalam menangani kasus. Masyarakat juga sulit untuk bertanya karena aksesnya susah. Bagaimana cara Anda untuk membenahinya
?

Sekarang saya buka akses. Wartawan diberikan akses di Bareskrim. Akan ada tempat khusus bagi wartawan yang posisinya di bagian depan. Semua saksi, tersangka harus lewat situ. Penyidik suatu kasus harus mengerti jika ditanya wartawan. Itu bagus untuk kontrol. Sebab harus ada kontrol publik atas kasus yang sedang diselidiki, selain demi keterbukaan. Jika ada kasus besar yang sedang diselidiki, penyidik bisa menyampaikannya didampingi Humas. 

Jadi saya akan buka akses agar teman-teman wartawan gampang memantau kasus. Ini salah satu  cara menaikkan citra juga. Sebab dengan begitu masyarakat tahu polisi tidak diam. Kami tidak bisa membangun kepercayaan itu dengan teriak-teriak. Biarkan masyarakat menilai sendiri karena masyarakat itu juga pintar.

Bisa dirinci lagi soal buka akses tadi itu?

Tersangka maupun saksi, saya minta diperiksa lewat pintu depan Bareskrim supaya orang melihat. Dengan demikian media bisa menanyakan langsung kepada yang bersangkutan maksud dan tujuan kedatangannya. Apakah bertamu atau diperiksa. Konfirmasi. Jadi publik juga tahu apa saja yang dilakukan polisi. Saya ambil dua manfaat di situ.

Pertama, wartawan dapat berita. Kedua, bagi penyidik ini menjadi semacam pemicu untuk mempercepat pemeriksaan karena akan dipantau perkembanganya. Itu kan bagus buat organisasi. Ada yang mengontrol. Saya akan melakukan itu.

Anda termasuk lama menjadi Seskretaris Pribadi (Sespri),  lama di Reserse, dan di Humas. Apakah pengalaman di sejumlah posisi itu akan membantu Anda sebagai Kabareskrim?

Mentalitas saya itu pada dasarnya sebagai pembantu. Bayangkan empat kapolri saya jadi Sespri. Mulai dari Pak Bimantoro, Pak Da'i Bachtiar, Pak Sutanto dan Pak Bambang Hendarso. Orang biasanya jadi Sespri itu hanya dua kapolri. Tapi ada hikmah yang bisa saya dapat. Saya melihat bagaimana empat kepemimpinan dari empat atasan saya itu.

Di waktu senggang saya berdiskusi dengan beliau-beliau itu. Jadi saya mendapatkan saripati beliau-beliau itu. Yang paling penting adalah bagaimana menjalin komunikasi, koordinasi kemudian istilahnya adalah 'easy to talk but very hard to implement'.

Tantangan internal bagi Anda adalah banyaknya penyidik berpangkat bintara. Cara apa untuk meningkatkan kapasitas mereka?


Kami harus memberikan contoh teladan, juga pelatihan-pelatihan karena mereka itu cuma dididik enam bulan saja. Lulusan SMA diswitch mentalnya diberikan kewenangan yang begitu besar. Dia perlu tuntunan dalam mengisi hidupnya dan dalam penugasan. Ada muatan secara moral bertanggung jawab untuk itu, yang diemban juga oleh seluruh pimpinan yang di atasnya secara berjenjang.

Bagaimana mengontrolnya?


Saya bicara dari sisi lain. Kenapa polisi sering disorot, karena polisi itu langsung berhubungan dengan masyarakat. Instansi lain juga banyak penyimpangan. Tapi karena tidak langsung berhubungan jadi tidak tersorot. Walaupun ada berita tapi cuma sebentar.

Kuncinya menurut saya adalah jangan resisten terhadap koreksi. Jadi interaksinya sering-sering memberikan contoh yang bagus kepada anggota. Makanya 80 persen dari anggota itu di lapangan, dan butuh pemimpin yang berjiwa seperti itu.

Apa yang akan dilakukan dalam waktu dekat? Pengawasan tadi itu baru atau sudah ada?

Satuan pengawas internal kami ada Irwarusm dan Propam.Hanya fungsi moralnya diemban oleh masing-masing komandan. Kalau ada Kapolda, ya, Kapoldanya yang harus bertanggungjawab. Tugas dan wewenang harus didelegasikan kepada bawahan secara jelas, kepada Kapolres-Kapolres sampai pada lapisan yang paling bawah. Dan harus ada sosialisasi secara terus-menerus. 

Cara sosialisasi dan pengawasan yang paling menyentuh adalah dengan bertatap muka langsung dengan unsur-unsur itu. Makanya waktu saya menjadi kapolda, saya ingin bertatap muka dengan semuanya.

Saya datangi semua kapolres, kumpulkan supaya mereka mendengar sendiri dari mulut seorang pimpinan apa empati saya. Saya kan tidak tiba-tiba menjadi bintang dua. Saya juga pernah jadi pembantu dan saya juga pernah di bawah. Dan saya juga tahu apa yang diomongkan. Apa yang pernah dirasakan oleh anggota-anggota bawah itu. Contohnya dalam kesempatan pemilihan karir. Ada yang bermasalah kok tidak diproses. Itu kan pertanyaan-pertanyaan klasik yang tidak pernah diomongkan. Tidak usah pakai banyak omong, anggota pasti loyal.

Kalau urusan eksternal, bagaimana cara Anda memperbaikinya. Banyak warga yang terlanjur menilai citra polisi itu buruk, tidak mampu menekan angka kriminalitas.

Saya kira banyak variabelnya. Termasuk masyarakat sendiri. Ada yang bilang bahwa kriminalitas yang kita hadapi itu adalah bayang-bayang dari masyarakat. Kalau bahasa Inggrisnya 'the shadow of society'. Semua bentuk kriminalitas, betul-betul gambaran dari masyarakat. Coba bayangkan di Singapura itu, yang namanya buang sampah itu harus tertib. 

Karena aturan ketat, lama-lama ketertiban itu menjadi budaya. Saya sekolah di Jerman dua tahun. Dan saya melihat sendiri bagaimana masyarakat menghargai peraturan. Yang namanya garis tidak putus-putus yang di jalan raya itu, tidak boleh dilewati kecuali mobil yang dalam penugasan pemadaman kebakaran. Walaupun kosong tidak boleh dimasuki. 

Di sini, kami kasih separator saja dikangkangin. Kereta saja ditutup masih nyelonong. Artinya kesadaran masyarakat belum begitu kuat. Itu kan bukan hanya domain polisi saja.  Semua variabel dan lembaga yang berkaitan dengan masyarakat mestinya menganggap bahwa itu adalah masalah mereka juga. 

Kalau bisa dibilang polisi itu ketiban sial. Polisi itu dapat potret dari masyarakat itu cuma di muara saja. Tidak pernah orang berfikir hulunya. Kalau ada kejadian, polisi dinilai tidak cepat, dituduh melakukan pembiaran.  Terlambat dan sebagainya. Nilai itu negatif terus. Tapi masyarakat tidak pernah berfikir mengapa bisa seperti ini. Kami kan bukan malaikat.

Ada beberapa contoh kongkrit di mana polisi itu ketiban sial. Terminal Baranang Siang, Bogor, pernah digembok oleh Kepala Dinas Perhubungan setempat atas perintah wali kota. Ada 100 bus tidak bisa masuk. Mereka parkir di tengah jalan, cabut kunci lalu semua pergi. Macet total itu Bogor. Kemudian saya bilang kapolres, cepat kamu selesaikan. 

Saya telepon Dirlantasnya, suruh selesaikan tapi tidak selesai. Terpaksa Kapolda turun. Saya bilang sama korlapnya supaya bongkar gembok. Masukkan semua mobil itu. Kapolres telepon wali kota. Kalau dia tidak datang saya jemput. Datang akhirnya. Lalu saya marahin.

Saya bilang, Bapak membuat keputusan tidak ada hubungan sama polisi tapi polisi kena getahnya. Baru dia sadar. Bapak dipilih rakyat dengarkan suara rakyat. Bapak kalau mau melakukan ini harus ada sosialisasi kepada penggunanya. Kepada perusahaannya. Tidak ujug-ujug main pindahin begini saja. Sebab kalau begini caranya, polisi yang kena getahnya.

Seharusnya kita duduk bersama dulu.  Tapi ini kami ditinggalkan. Ini salah satu contoh realistis. Jadi begitu macet polisi yang disalahkan. Bagaimana polisi salah dalam kasus ini? Kalau masalah-masalah keamanan yang berkaitan dengan ekonomi, sebaiknya lembaga dan ahli-ahli ekonomi itu lakukan evaluasi, apa masalah di hulunya dan dicarikan jalan keluarnya.

Polisi selalu disibukkan di urusan muara saja?

Seperti tadi contohnya di Bogor itu. Saya bilang, 'Pak Wali Kota, Anda hanya mengurus Bogor. Saya mengurusi seluruh Jawa Barat. Provinsi paling besar di negeri ini adalah Jawa Barat. 45 juta penduduknya. Anda cuma mikir Bogor. Bikin keputusan yang bikin resah. Kami yang tidak mengerti apa-apa jadi sasaran. Pucat itu, saya tunjuk-tunjuk dia. Kemudian saya bilang ke kepala dinas perhubungan, saya tangkap kamu, main tutup saja.

Dalam konteks memudahkan aparat polisi. Berkaca dari pengalaman Bogor. Apa yang seharusnya dilakukan di daerah?

Harus turun ke bawah, kemudian adakan koordinasi dan komunikasi. Seperti yang saya katakan tadi. Sangat mudah diucapkan. Tapi sangat sulit diimplementasikan. Saya sangat dekat dengan unsur muspida di tingkat wilayah.

Saya bangun komunikasi yang baik, tidak ada kesulitan sama sekali. Tidak ada satu pun masalah yang tidak terpecahkan dengan komunikasi yang baik. Kadang-kadang kita harus mengalah untuk kebaikan. Apa susahnya sih.

Kalau polisinya diterapi, bagaimana dengan masyarakatnya?

Kalau masyarakat lebih beragam lagi variabelnya. Masyarakat soal kesejahteraan. Masalah kesempatan kerja. Rimbanya permasalahan di luar itu banyak.

Apa saja kasus prioritas yang akan dituntaskan?

Saya ini kan anak buah Kapolri. Apa yang mejadi prioritas Kapolri, nomor satu itu korupsi, narkotika, terorisme. Kemudian kejahatan terhadap kekayaan negara itu besar loh. Itu besar sekali yang harus kami selamatkan.

Coba banyangkan, saya kan mantan Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim. Untuk kasus illegal logging, illegal fishing, saya sekali menyelamatkan uang negara itu puluhan miliar rupiah.

Bagaimana hubungan antar lembaga, termasuk dengan KPK?

Kami sering ngobrol. Saat serah terima jabatan, semua datang. Bang Johan Budi dari KPK, Jampidsus Kejaksaan Agung. Saya juga ikut ke Papua, Makassar, Yogyakarta, ikut latihan bersama penyidik penuntut umum, auditor. Kami bersinergi luar biasa.

Korupsi di Polri menjadi sorotan. Bagaimana Anda mengatasinya?

Tidak masalah itu kan internal. Kalau ada temuan tolong berikan kepada saya, biar saya yang tindak. Kan sudah kami ingatkan dan toh satuan sudah melakukan langkah preventif. Jangan main-main di bidang pelayanan, bidang pengadaan, dan semua bidang. Polisi tidak boleh lagi main-main. Kalau main-main, terima sendiri risikonya.  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya