Penertiban Lembaga Survei Liar Hanya Kosmetik Politik?

partai politik Islam
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Andika Wahyu

VIVAnews - Bak jamur di musim penghujan, begitulah lembaga-lembaga survei bermunculan, saat ini. Mafhum saja, banyak pihak yang berkepentingan  membentuk opini publik menjelang Pemilihan Umum 2014.

Kalau lembaga survei itu melaksanakan kegiatan polling menggunakan metodologi yang benar, tentu tak masalah. Publik malah akan diuntungkan karena mendapat informasi lebih baik mengenai partai politik atau tokoh yang akan berlaga di Pemilu 2014. Nah masalahnya, bagaimana kalau tidak?

"Memang, banyak saat ini lembaga-lembaga survei baru yang merilis riset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ujungnya mereka malah memberi informasi yang sesat," tegas Direktur Riset Charta Politika Yunarto Wijaya saat dihubungi VIVAnews, Selasa 14 Januari 2014. Kalau sudah begitu, pendidikan politik masyarakat pun rusak.

Yunarto pun menyadari, lembaga survei sangat rawan ditunggangi kepentingan sekelompok orang berduit di saat-saat menjelang pemilu seperti saat ini. Untuk itu, perlu ada mekanisme pengawasan terhadap lembaga survei tak bertanggung jawab.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelanggara pemilu menangkap fenomena ini. KPU pun berencana menertibkan lembaga-lembaga survei yang kini jumlahnya bisa mencapai puluhan. KPU meminta pengelola lembaga riset mendaftarkan diri mereka.

"Bagi yang tidak mendaftar ke KPU, kami sebut mereka lembaga survei liar. Tidak diakui KPU," kata anggota KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah.

Ferry menegaskan, lembaga survei itu wajib mematuhi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan peraturan KPU. Dua dua aturan ini tercantum rambu-rambu dan syarat yang wajib dipenuhi sebuah lembaga survei saat pemilu. Antara lain, kata dia, lembaga survei harus memiliki sumber dana, kepengurusan, dan metodologi yang jelas.

"Yang daftar tercatat di kami. Bahwa dia mengikuti ketentuan yang ada. Kalau yang tidak terdaftar, apabila ekspose data, kita menyatakan itu tidak terdaftar di KPU," ujarnya.

Lembaga survei juga wajib mematuhi peraturan dalam pemilu. Misalnya, tidak boleh mengumumkan hasil survei pada masa tenang, mengumumkan hasil penghitungan cepat dua jam setelah pemungutan suara, dan menyampaikan bahwa hasil penghitungan cepat itu bukan hasil resmi KPU.

Lembaga survei ini diakomodir dalam UU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD di Bab XIX berjudul Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu. Bab ini memuat Pasal 246 yang berbunyi:

Soal Hasil Gugatan Sengketa Pilpres, Mahfud: Dongkol, Tapi Jangan Ribut Lagi

(2) Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu, dengan ketentuan:
a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu;
b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu;
c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan
d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Selain itu, Pasal 247 juga mengatur:
(1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, serta penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.
(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada Masa Tenang.
(3) Pelaksanaan kegiatan penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mendaftarkan diri kepada KPU paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara.
(4) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan sumber dana, metodologi yang digunakan, dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu.
(5) Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
(6) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.

Ferry melanjutkan, pidana bagi mereka yang melanggar pun diatur dalam UU yang sama, yakni di Pasal 317. "Ancamannya paling lama 1 tahun 6 bulan," kata dia.

Pro dan Kontra

M Qodari dari Indo Barometer tak mempersoalkan langkah KPU yang kembali mendata lembaga survei. "Asal aturan KPU bagus dan tidak menyulitkan kami," kata dia saat dihubungi VIVAnews.

Qodari mengaku lembaga survei pimpinannya sudah terdaftar di KPU sejak lima tahun lalu. Kalaupun diminta kembali mendaftar, Qodari tidak mempersoalkan. "Ini kan tujuannya positif agar orang yang menggelar survei itu jelas. Tidak 'mendadak survei'," kata dia sambil tertawa.

Lima tahun lalu, menurutnya, banyak muncul lembaga survei yang tak jelas. Tiba-tiba saja muncul orang yang tak dikenal di kalangan peneliti dan kemudian merilis hasil surveinya. "Tapi, setelah itu dia hilang, tak pernah muncul lagi," imbuhnya.

Senada dengan Qodari, Yunarto dari Charta Politika menilai, KPU memang harus mendaftar ulang semua lembaga-lembaga survei. Namun, dia minta KPU tidak masuk terlalu jauh mencampuri 'dapur bisnis' lembaga survei.

"Kalau lembaga ini menggelar survei yang tertutup dan tidak untuk dipublikasikan, kan pendanaannya tidak perlu dilaporkan dong. Yang dilaporkan itu kalau dia merilis kepada publik," kata dia.

Selain itu, Yunarto juga mengkritisi penerapan kebijakan ini di Pemilu 2009. "Fungsi kontrol dan pengawasan KPU terhadap lembaga survei tidak jalan sama sekali. Hanya jadi kosmetik politik saja," kata dia. Sebab, imbuhnya, tetap saja banyak lembaga-lembaga yang merilis hasil survei mereka tanpa mempertanggungjawabkannya.

Menurutnya, KPU tidak akan mampu mengawasi lembaga-lembaga riset itu selama tidak memiliki instrumen pengawasan. Untuk Pemilu 2014, Yunarto menyarankan agar KPU bekerjasama saja dengan asosiasi perkumpulan lembaga-lembaga survei. Misalnya, Perhimpungan Survei dan Opini Publik atau Persepi.

"Persepi itu membentuk kode etik yang berlaku bagi semua lembaga di bawahnya. Di dalam Persepi itu ada Qodari, Burhan Muhtadi (Lembaga Survei Indonesia/LSI). Semua lembaga tercatat resmi," jelasnya. Dengan kerjasama itu, KPU akan lebih mudah mengawasi lembaga survei karena tinggal mencatat data Persepi atau asosiasi lainnya.

Selain itu, KPU pun punya indikator untuk menilai siapa-siapa yang menipu dan melakukan penyesatan publik. "Tinggal menggunakan instrumen kode etik asosiasi yang bersangkutan. Mudah kan," jelasnya.

Sementara itu, politisi dari Partai Demokrat Nachrowi Ramli mengapresiasi kebijakan ini. "Supaya lembaga survei betul-betul terpercaya," kata dia.

Namun, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat DKI Jakarta ini mengingatkan agar KPU memiliki tolak ukur yang jelas dalam menertibkan lembaga survei. "Harus punya kriteria yang jelas sehingga tidak ada lagi interpretasi yang berbeda-beda," imbuhnya.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens menilai sebaliknya. "Kehadiran mereka, saya rasa tak perlu dicurigai, tak perlu dikontrol terlalu jauh. Kalau harus mendaftarkan diri, itu namanya pemerkosaan publik," ujar Boni saat dihubungi VIVAnews.

Boni menjelaskan, pemerkosaan publik tersebut terkait dengan pengaruh keberadaan lembaga survei tersebut. Menurutnya, lembaga survei justru tak memberikan pengaruh berarti. (umi)

Ilustrasi kekerasan seksual.

Baru Kenalan Malam Takbiran, Gadis SMP di Mojokerto Diperkosa

Nasib malang dialami seorang perempuan berusia 13 tahun di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, yang menjadi korban pemerkosaan.

img_title
VIVA.co.id
30 April 2024