Mengapa Rumah Sakit Swasta di Jakarta Tolak Pasien BPJS

Pasien KJS penuhi RS Koja
Sumber :
  • ANTARA/Zabur Karuru

VIVAnews - Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Jakarta ternyata tidak berjalan mulus. Sejak pertama diberlakukan 1 Januari 2014 lalu, tercatat hanya 81 rumah sakit swasta bergabung dengan asuransi kesehatan yang dikelola PT Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) itu.

Kinerja Gemilang Bea Cukai Puncaki Trending Topic Nomor 1 di X

Sebab, dari total 152 RS yang bercokol di Ibu Kota Jakarta, 71 di antaranya menolak kerja sama.

Alasannya, rumah sakit tersebut tidak mau menampung pasien BPJS karena keberatan dengan premi yang ditawarkan pemerintah. Mereka beranggapan, biaya yang diatur dalam sistem Indonesia Case-Base Groups (INA CBGs) terlalu rendah.

INA-CBGs adalah sistem pengelompokan penyakit pasien berdasarkan ciri klinis yang sama dan sumber daya yang digunakan dalam pengobatan. Pengelompokan ini ditujukan untuk pembiayaan kesehatan pada penyelenggaraan jaminan kesehatan sebagai pola pembayaran yang bersifat prospektif.

5 Best Countries to Live in for Old People

Manfaatnya untuk menetapkan standar tarif dan lebih memberikan kepastian pada setiap penyakit yang diderita pasien. Sesuai INA CBGs, premi yang dipatok adalah Rp19.225 per orang per bulan untuk kelas III. Pengelola rumah sakit khawatir, pembayaran yang rendah itu akan menurunkan kualitas pengobatan.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dien Emmawati, rata-rata RS yang tidak bersedia melayani pasien BPJS adalah rumah sakit elite. Namun, ia menolak menyebutkan secara detail puluhan rumah sakit tersebut.

"Antara lain, Rumah Sakit Pondok Indah, Rumah Sakit MMC (Metropolitan Medical Centre), dan Rumah Sakit Medistra," kata dia kepada VIVAnews, Selasa 4 Maret 2014.

Ada Bus Klasik yang Legendaris di Pameran Ini

Idealnya, Dien menambahkan, semua rumah sakit di Jakarta ikut berpartisipasi dalam asuransi rakyat ini. Sebab, semakin banyak rumah sakit swasta yang bekerja sama, diharapkan kualitas pelayanan kesehatan di Ibu Kota kian baik.

Namun, Dien mengaku bahwa rumah sakit swasta punya beban berat untuk membayar pajak tinggi. Berbeda, dengan rumah sakit pemerintah yang mendapat subsidi dan pajak ringan.

Selain itu, peraturan juga tidak mewajibkan RS swasta ikut BPJS. Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan hanya mengatur rumah sakit pemerintah. "Rumah sakit swasta itu di Perpres dapat ikut. Artinya, boleh ikut boleh tidak," ujarnya.

RS swasta diketahui hanya diminta menyediakan ruang perawatan kelas III maksimal 22 persen dari seluruh ruang yang tersedia. Ruang kelas III itu untuk mengantisipasi pasien gawat darurat. Contohnya, korban kecelakaan yang lokasinya dekat dengan rumah sakit bersangkutan.


Warga tak paham

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta ini yakin bahwa penolakan RS swasta tidak berpengaruh pada pelayanan kesehatan. Sebab, warga Jakarta masih dapat ditampung rumah sakit lainnya. Pemprov DKI juga sudah bekerja sama dengan 340 puskesmas dan 88 klinik. "Itu sudah banyak. Coba cari di provinsi lain yang sebanyak DKI, ada tidak?" kata dia.

Namun, menurut Dien, permasalahannya adalah banyak warga yang belum mengetahui alur pengobatan yang benar. Seharusnya, puskesmas menjadi ujung tombak pelayanan. Selama ini, bila ingin berobat, warga langsung menuju rumah sakit. Akibatnya, pasien membeludak.

Untuk itu, tambahnya, perlu dilakukan lagi upaya preventif dan promotif. Promotif dilakukan supaya masyarakat lebih paham, sehingga ketika sakitnya tidak terlalu parah, mereka tidak langsung datang ke rumah sakit tapi bisa ke puskemas atau klinik.

Sedangkan dengan upaya preventif, warga Jakarta bisa mencegah sebelum mengobati penyakit. Di luar negeri pun, kata dia, dilakukan seperti itu. Jadi rumah sakit tidak terlalu banyak didatangi pasien. "Di luar negeri itu rumah sakit sepi, karena preventifnya jalan," ujarnya.

Mengejar keuntungan

Sementara itu, anggota Komisi Kesehatan DPRD DKI Jakarta, Ashraf Ali mengkritisi sikap rumah sakit swasta yang menolak pasien Kartu Jakarta Sehat (KJS). Seharusnya, menurut dia, semua RS yang ada di Jakarta mendukung program pemerintah.

Dia meminta, pengelola rumah sakit lebih mengedepankan kepentingan warga, bukan hanya sekadar mengejar keuntungan. "Fungsi rumah sakit itu kan bukan untuk bisnis saja, tetapi itu ada fungsi sosialnya," ujarnya.

Ashraf mengimbau, rumah sakit mau membicarakan masalah ini dengan pemerintah untuk mencari jalan keluarnya. "Itu kan bisa dibicarakan, tetapi jangan rakyat yang dikorbankan dong," tegasnya.

Di Jakarta, JKN menjangkau 1,271 juta warga miskin. Namun, masih ada 2,106 juta lainnya yang belum terjangkau. Mereka merupakan peserta KJS yang didaftarkan ke BPJS.

Pemrov DKI telah mengalokasikan dana KJS dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2014 sebesar Rp1,4 triliun. "Peserta KJS akan dapat subsidi sekitar Rp1,2 juta. Beban Pemprov untuk KJS sekitar Rp2,3 juta lagi," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Supaya tidak ada lagi penolakan dari rumah sakit, kata Ahok, sapaan Basuki, harus dilakukan penyetaraan tarif. Dia berharap, cara tersebut dapat membuat pengelola rumah sakit nyaman sehingga tidak ada lagi yang menolak BPJS. "Kami akan naikkan tarif, karena itu keluhan mereka," ujarnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato di acara peluncuran program BPJS Kesehatan di Istana Bogor, Selasa 31 Desember 2013 lalu, mengaku tidak ingin mendengar ada rumah sakit yang menolak pasien karena alasan biaya.

"Karena, BPJS Kesehatan (merupakan transformasi dari PT Askes) adalah untuk memberikan perlindungan bagi rakyat miskin. Sekali lagi, saya tekankan, rakyat miskin gratis berobat dan dijamin oleh BPJS," tegas SBY.

Presiden mengatakan bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin akan ditanggung pemerintah dalam BPJS. Upaya itu, salah satunya didukung oleh masyarakat yang mampu membayar iuran BPJS. Program JKN ini, menurutnya, merupakan lompatan besar yang dilakukan Indonesia sejak kemerdekaan.

Untuk itu, dia akan memastikan implementasinya berjalan baik di lapangan. "Pada 1 Januari 2019, seluruh rakyat Indonesia telah menjadi anggota BPJS Kesehatan. BPJS bersifat nasional bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.

Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi pun memastikan bahwa setiap peserta Askes, Jamkesmas, dan Jamsostek secara otomatis sudah menjadi peserta BPJS. Bagi masyarakat, baik perorangan maupun perusahaan yang belum terdaftar, dapat mendaftarkan diri melalui loket-loket Askes yang sekarang sudah bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya