Militer Thailand Campur Tangan Lagi di Tengah Konflik Politik

Darurat militer di Thailand
Sumber :
  • REUTERS/Damir Sagolj

VIVAnews - Militer di Thailand kembali turun tangan dalam krisis politik di negara itu. Sejak Selasa kemarin, Panglima Militer Thailand, Jenderal Prayuth Chan-Ocha, memberlakukan keadaan darurat tanpa konsultasi dari pemerintah.

Polisi Terima Pesan Kode Mayday sebelum Pesawat Jatuh di Lapangan BSD

Publik di Thailand maupun masyarakat internasional berharap langkah militer ini bisa segera meredakan konflik dan bukan membuatnya tambah mencekam.  Pasalnya, setelah keadaan darurat ini muncul isu bahwa militer kembali ingin berkuasa di kancah politik Thailand saat kekuatan sipil terpecah-belah. 

Jelang masa pensiun pada usia 60 tahun, Jenderal Prayuth bersama jajarannya tampak tak tahan lagi melihat krisis politik yang belum juga reda. Mundurnya perdana menteri Yingluck Shinawatra setelah mendapat vonis bersalah dari Mahkamah Konstitusi beberapa pekan lalu soal penyalahgunaan kekuasaan tidak langsung meredakan konflik dua kubu yang bertikai. 

Thailand masih terpecah belah oleh dua kubu. Pendukung kubu oposisi, yang berjuluk Kaus Kuning, masih tidak puas dan menghendaki seluruh pemerintahan transisi diambil alih oleh orang-orang "netral" sambil menunggu pemilu baru, bukan diisi oleh menteri kabinet Yingluck. Sebaliknya, pendukung Yingluck yang berjuluk kaus merah, melancarkan aksi protes balasan karena tidak terima pemimpin yang naik lewat Pemilu itu selalu diganggu oposisi.

Situasi ini yang membuat militer Thailand akhirnya turun tangan, padahal sebelumnya mereka sudah bertekad tidak akan lagi masuk dalam pusaran politik. Namun, ditilik dari sejarah Thailand dalam puluhan tahun terakhir, aksi militer ini tidak mengherankan karena mereka pernah berkali-kali melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil demi "stabilitas nasional," terakhir saat menggulingkan kekuasaan PM Thaksin Shinawatra pada 2006, yang tak lain adalah kakak kandung Yingluck.  

Tak heran, sejak diberlakukan keadaan darurat oleh militer, suasana Ibu Kota Bangkok sejak Selasa pagi, 20 Mei 2014, langsung berbeda. Relatif lengang, tidak ada lagi keriuhan para demonstran lantaran aksi unjuk rasa atau mobilisasi massa sudah dilarang. Pasukan-pasukan militer berseragam lengkap dengan menenteng senjata terlihat lalu lalang di jalanan ibu kota, yang sebelumnya dalam enam bulan terakhir hampir setiap hari ramai oleh aksi protes kubu kaus kuning maupun kaus merah. 

Pada Selasa pukul 03:00 dini hari militer mulai memberlakukan keadaan darurat. Pengumuman disiarkan secara luas melalui stasiun televisi milik militer, Channel 5. Prayuth beralasan memberlakukan keadaan darurat untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban di Thailand.

Sebab, selama enam bulan terakhir, Negeri Gajah Putih telah dikoyak oleh aksi unjuk rasa yang ingin menggulingkan pemerintahan sah. Harian Bangkok Post melaporkan dalam krisis enam bulan tersebut, tercatat 25 orang tewas dan lebih dari 700 orang lainnya terluka.

"Berdasarkan UU Darurat Militer tahun 1914, maka memberikan kewenangan bagi kami untuk ikut campur selama krisis ini berlangsung. Kami menempuh langkah ini karena unjuk rasa di antara kedua kubu dapat berdampak kepada keamanan, keselamatan jiwa dan aset publik Thailand," ungkap Prayuth.

Berdasarkan UU itu maka angkatan bersenjata Thailand dapat dengan leluasa mengendalikan situasi di dalam negeri tanpa perlu persetujuan terlebih dahulu dari Perdana Menteri. Selain itu, mereka memiliki beberapa kewenangan antara lain bisa melarang pergerakkan massa, dapat mengeluarkan jam malam dan pelarangan untuk mengakses beberapa tempat.

Adanya sensor terhadap media, anggota militer dapat menahan siapa pun yang dianggap melanggar UU hingga tujuh hari ke depan, mereka dapat menggeledah orang, razia bangunan dan memeriksa secara ketat publikasi cetak, dan pengadilan dapat menyidangkan pelaku yang dianggap melanggar UU Darurat Militer paska aturan itu dicabut.

Prayuth mengatakan darurat militer akan tetap diberlakukan hingga Thailand dianggap aman dan stabilitas di negaranya kembali pulih. Dia juga meminta kepada warga Thailand untuk beraktivitas seperti biasa.

Bukan Kudeta

Prayuth menegaskan darurat militer ini bukanlah sebuah kudeta. Dia mengatakan tidak akan membiarkan Thailand terjerembab dalam situasi yang tengah dialami Ukraina atau Mesir.

"Tujuan militer memberlakukan keadaan darurat untuk memastikan perdamaian, ketertiban dan keamanan publik bagi semua kelompok dan pihak. Warga diminta untuk tidak panik dan melakukan semua aktivitas sehari-hari," tulis perwakilan militer dalam sebuah teks di televisi.

Menurut data dari stasiun berita Channel News Asia, Selasa, 20 Mei 2014, darurat militer ini telah diumumkan sebanyak lima kali, yakni tahun 1991, 2004, 2005, 2006 dan 2014.

Kendati, mereka menegaskan bukan kudeta, namun suasana berbeda terlihat di beberapa stasiun televisi. Pasukan militer terlihat berjaga di beberapa kantor stasiun televisi.

Militer memerintahkan 10 stasiun televisi satelit, baik yang pro dan anti terhadap pemerintah untuk berhenti siaran. Layar televisi sempat kosong sementara selama beberapa detik sebelum akhirnya perintah itu disampaikan bersamaan di setiap stasiun televisi.

"Militer melarang semua media melaporkan atau menyebarkan berita apa pun atau masih mendokumentasikan foto yang merugikan keamanan nasional," ungkap Prayuth di setiap stasiun televisi.

Selain memerintahkan untuk menghentikan siaran di stasiun televisi milik pro dan anti pemerintah, tentara juga dikerahkan untuk menjaga gedung-gedung pemerintahan utama di Bangkok. Selama beberapa bulan, gedung tersebut tidak ditempati akibat terjadi demonstrasi oleh massa yang ingin menggulingkan rezim berkuasa karena dituduh melakukan tindak korupsi.

Massa anti dan pro pemerintah juga diperintahkan oleh militer untuk tidak melakukan demonstrasi di jalan-jalan demi mencegah terjadinya kericuhan.

Namun, menurut Asisten Perdana Menteri Thailand, langkah yang diambil oleh militer Gajah Putih itu sudah disebut separuh kudeta, karena dilakukan secara sepihak. Stasiun berita CNN yang melansir pernyataan asisten PM itu, pemberlakuan darurat sama sekali tidak diinformasikan kepada pemerintah berkuasa.

"Mereka melakukan aksi tersebut secara sepihak. Pemerintah kini tengah menggelar pertemuan khusus mengenai masalah ini. Kami harus menanti dan melihat apakah panglima militer menghormati deklarasi tersebut," ujar dia.

Sementara di mata aktivis hak asasi manusia mengkritik sikap berani miiliter itu. Menurut perwakilan LSM, Human Rights Watch, Sunai Phasuk, darurat militer justru semakin membawa jauh negara itu dari demokrasi.

"Dengan adanya pemberlakuan darurat militer, maka angkatan bersenjata menuju satu langkah lebih dekat untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil," ujar Sunai.

Tidak ada pemeriksaan dan keseimbangan, lanjut Sunai, dan tidak ada pengamanan terhadap pelanggaran HAM.

Pemerintah Dukung

Kendati awalnya merespon negatif, namun Perdana Menteri sementara Niwattumrong Boonsongpaisan, mendukung keputusan angkatan bersenjata yang mengeluarkan status darurat militer. Dalam pernyataan resmi yang disampaikan pada Selasa kemarin, Niwatthamrong menyatakan, pemerintah memiliki harapan yang sama dengan militer yakni mengembalikan perdamaian nasional.

"Semoga darurat militer yang diumumkan dapat menjadi alat pembawa perdamaian dan bermakna tidak ada tindak kekerasan serta diskriminasi di bawah hukum," ujar Niwattumrong.

Dia menganggap dengan diberlakukan darurat militer, maka dapat membantu situasi menjadi kondusif untuk pengajuan tanggal pemilu yang baru pada Agustus mendatang.

Pemerintah, ujar Niwattumrong, telah mengajukan permintaan tertulis kepada Komisi Pemilihan Thailand tanggal baru untuk pemilu. Pemerintah, ujar Niwattumrong, berniat menggelar pemilu tanggal 3 Agustus sebagai pengganti pesta demokrasi yang dilakukan tanggal 2 Februari kemarin.

Pemilu yang digelar Februari dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak sah.

Sebuah pertemuan di antara kedua pihak lantas digelar pada hari ini di markas militer. Pertemuan itu digelar atas inisiatif Prayuth dan mengundang beberapa pihak yang berseteru dalam politik Negeri Gajah Putih.

Harian Bangkok Post melaporkan beberapa pihak yang diundang antara Ketua Front Kesatuan untuk Demokrasi Melawan Diktator (UDD), Jatuporn Prompan, pemimpin Partai berkuasa, Pheu Thai, Jarupong Ruangsuwan, pemimpin Partai Demokrat, Abhisit Vejjajiva, ketua Komisi Pemilihan Umum (EC), Supachai Somcharoen dan Ketua DPR sementara, Surachai Liangboonlertchai.

Namun, setelah bertemu selama dua jam belum dicapai kesepakatan apa pun. Pertemuan akan dilanjutkan pada Kamis esok sekitar pukul 14:00 waktu setempat.

Menurut juru bicara militer, Sirichan Ngathong, ada sekitar 40 orang yang hadir dalam pembicaraan hari ini.

"Semua orang setuju untuk mempertimbangkan saran dari kelompok lainnya untuk mencari solusi bersama bagi negeri ini. Ini merupakan kali pertama, mereka berbicara satu sama lain," kata Sirichan.

Namun, keraguan muncul di benak pemimpin utama kelompok gerakan kaos merah yang menjadi pendukung pemerintah, Thida Thavornseth. Karena waktu yang ada kian mepet, sementara kata sepakat harus dikeluarkan besok.

"Saya tidak tahu apakah kami dapat menghasilkan sesuatu yang nyata esok," kata Thida yang mengakui pertemuan berlangsung dalam suasana kekeluargaan.

Internasional Prihatin

Kondisi politik di Thailand yang tidak juga mereda membuat beberapa negara menyatakan keprihatinan mereka. Para pemimpin dari berbagai negara berharap situasi darurat militer di Thailand hanya bersifat sementara dan dapat kembali normal.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyerukan kepada Thailand agar secara konsisten menghormati proses konstitusional dan prinsip demokrasi.

"Kami merasakan keprihatinan yang mendalam terhadap perkembangan yang terjadi di Thailand. Indonesia telah menyerukan agar proses konstitusional dihormati demi meningkatkan rekonsiliasi nasional dan persatuan. Yang terpenting, dapat mencerminkan keinginan dari rakyat Thailand," ungkap Marty.

Marty berharap perkembangan terbaru yang terjadi di Negeri Gajah Putih, tidak akan melunturkan prinsip-prinsip tersebut dan keadaan akan segera normal.

Dorongan agar pemilu segera terlaksana juga dilontarkan oleh juru bicara Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton. UE, lanjut juru bicara itu, mendorong secara konsisten agar terbentuk dialog dan resolusi yang damai.

"Supaya krisis politik bisa terselesaikan. Selain itu, semua pihak harus menghormati prinsip-prinsip demokrasi di Thailand," ujar juru bicara tadi yang dikutip laman berita Jerman, Deutsche Welle. 

UE turut menyerukan agar semua pihak menahan diri dan bekerja bersama untuk kepentingan Thailand.

Sementara Amerika Serikat mengaku tidak yakin bila darurat militer yang diberlakukan oleh angkatan bersenjata Thailand merupakan bagian dari kudeta. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Jen Psaki mengaku darurat militer diizinkan dan sesuai dengan aturan yang berlaku di Thailand.

Walau begitu, Psaki menyerukan agar militer  tetap menghormati institusi demokrasi.

"Deklarasi darurat militer memang diizinkan di dalam konstitusi Thailand," ungkap Psaki kepada media.

Psaki menambahkan AS percaya terhadap pernyataan militer Thailand yang mengatakan darurat militer ini hanya bersifat sementara.

"Oleh sebab itu, kami berharap mereka mematuhi komitmennya," ujar Psaki.

Pemerintah AS, lanjut Psaki terus berkomunikasi secara intens dengan pejabat militer Thailand dan mendorong agar mereka tetap tenang, memberikan perlindungan kebebasan terhadap warga sipil, kebebasan berbicara dan kebebasan terhadap media. (umi)

Ruben Onsu Dilarikan ke Rumah Sakit, Betrand Peto Berikan Kabar Duka
[dok. Humas Pemprov DKI Jakarta]

Heru Budi Ajak Wrga Ramaikan BTN Jakim 2024 Agar Jakarta Makin Dikenal Dunia

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan perlunya kegiatan bertaraf internasional, untuk meningkatkan profil Jakarta supaya Jakarta tetap dikenal di mata dunia.

img_title
VIVA.co.id
19 Mei 2024