Hutan Indonesia Terkikis, Habitat dan Iklim Terancam

Kebakaran hutan di Riau
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Satgas Bencana Asap Riau

VIVAnews – Pembalakan liar hutan di Indonesia telah membuat Indonesia kehilangan banyak keanekaragaman hayati yang tersemat di dalamnya. Belum lagi, semakin 'terbukanya' hutan di Indonesia, berarti semakin meningkatnya emisi gas rumah kaca.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 lalu, pernah mengumumkan adanya moratorium penebangan hutan. Namun ternyata, moratorium itu tidak mampu menghentikan pengikisan hutan di Indonesia. Jumlah hektare hutan yang terkikis semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Data dari peneliti Indonesia yang tinggal di Amerika menunjukkan adanya pengikisan hutan di Indonesia sebanyak enam juta hektare sejak tahun 2000 hingga 2012 lalu. Artinya, rata-rata ada sekitar 500 ribu hektare lahan hutan yang menghilang setiap tahunnya.

Adalah Belinda Arunarwati Margono, peneliti yang memaparkan temuan ini. Peneliti yang bekerja di Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, dan saat ini sedang aktif di University of Maryland itu menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalahkan Brasil dalam urusan kehilangan hutan.

Merayakan Hari Film Nasional 2024, Arif Brata Ajak Penonton ke Bioskop Menyaksikan Keluar Main 1994

Menurut Belinda, 2012 lalu, Brasil kehilangan hutan sebanyak 460 ribu hektare, sedangkan Indonesia mencapai dua kali lipat, yakni 840 ribu hektare. Area hutan di Indonesia mencapai seperempat hutan hujan tropis di Amazon, Brasil.

Berdasarkan data itu, laman The Age memberikan Indonesia gelar sebagai negara dengan kehilangan hutan terbesar di dunia. Menurut Belinda, kebanyakan kerusakan terjadi di Sumatera dan Kalimantan, yang dikenal sebagai tempat tinggal Macan, Orangutan, Gajah, dan Badak bercula.

Studi yang dilakukan Belinda mengungkapkan adanya pembalakan 40 persen luas hutan di Indonesia. Pembalakan ini tidak diiringi dengan pembatasan produksi, konservasi maupun perlindungan hutan. "Sumatera paling tinggi rata-rata pembalakannya. Di bawahnya ada Kalimantan, juga Papua. Jika tidak ada tindakan, suatu saat, hutan di Kalimantan dan Papua akan memiliki nasib yang sama dengan Sumatera," ujar Belinda.

Kebanyakan kehilangan hutan itu, karena maraknya penebangan liar untuk pembukaan lahan pertanian. Di pulau lain, seperti Papua, Sulawesi, Maluku, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, tren ini cenderung stabil sejak 2000 hingga 2012.

Catatan di 2010, Badan Pangan PBB (FAO) memprediksi keseluruhan hutan yang hilang di Indonesia rata-rata 310 ribu hektare per tahun dari 2002 hingga 2005, angka ini naik menjadi 690 ribu hektare per tahun di 2005 hingga 2010.

Indonesia, dalam laporan kepada Framework Convention PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) di 2009, memprediksi kehilangan hutan di wilayahnya telah mencapai 1,1 juta per tahun sejak 2000 hingga 2005.

Data dari Asosiasi Angkatan Muda Restorasi Indonesia (AMRI) menunjukkan bahwa devisa negara dari hutan dulu sempat mencapai tiga persen dari gross domestic product (PDB). Ketika zaman reformasi, turun menjadi hanya 1,7 persen. Tahun ini malah merosot menjadi 0,7 persen.

"Anggaran kementerian masih sama saja dari zaman reformasi. Malah meningkat terus dari tahun ke tahun.  Seharusnya itu realisitis, sesuai dengan apa yang akan dikerjakan. Jangan sampai, pengeluaran lebih besar ketimbang pemasukan," ujar Ketua Umum AMRI, Riza Suarga.


Tanggung jawab besar emisi global

Sepanjang 2000 hingga 2012, setidaknya ada hampir 16 juta hektare lahan primer di Indonesia. Hingga 2012, angka itu berkurang sekitar 38 persen akibat pembalakan liar.

Di area seluas itu, hutan Indonesia didiami oleh keaneka ragaman hayati, mulai dari flora dan fauna. Hutan Indonesia merupakan tempat hidup dari 10 persen tumbuh-tumbuhan di dunia, 12 persen hewan menyusui, 16 persen reptil dan amfibi, dan 17 persen spesies burung yang ada di dunia.

"Meluasnya pembukaan hutan di Indonesia secara tidak langsung akan mengakibatkan hilangnya habitat, yang terkait dengan tanaman, dan mengarah ke kepunahan hewan yang berdiam di sana," kata Belinda.

Deforestasi juga mengarah pada meningkatnya perubahan iklim. Sebab, pohon yang telah lama tumbuh mampu menyimpan emisi karbon lebih banyak ketimbang pohon baru. Gas tersebut, juga bisa disimpan dalam kurun yang lama, serta mampu mengurangi pemanasan global.

Degradasi hutan dan deforestasi memicu peningkatan emisi gas rumah kaca. Menurut Bank Dunia, rata-rata kerusakan hutan di Indonesia yang berlangsung sangat cepat akan membuat negara ini memiliki gelar baru, sebagai produsen emisi gas rumah kaca terbesar ketiga, di bawah Tiongkok dan Amerika.

"Hutan hujan adalah paru-paru bumi. Anda memiliki paru-paru untuk bernapas dan jika Anda menyingkirkan paru-paru itu, bumi akan menderita," ujar Matthew Hansen, anggota tim penulis lainnya dalam jurnal tersebut.


Moratorium yang tak berpengaruh

Angka kehilangan hutan yang sedemikian besar, tulis The Guardian, justru tidak sejalan dengan komitmen RI yang tertuang dalam moratorium pada 2009 silam. Sebab, Pemerintah RI justru terus memberikan izin untuk pembalakkan hutan primer dan lahan gambut. Kedua hal tersebut menjadi pemicu deforestasi hutan.

Padahal dalam moratorium itu, Pemerintah RI berniat akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen di 2020, atau 41 persen dengan bantuan global. Pemerintah Norwegia, kemudian mengucurkan dana senilai US$1 miliar atau Rp12 triliun. Namun, RI mengklaim membutuhkan dana US$5 miliar atau Rp60 triliun untuk mengatasi kerusakan hutan saat ini.

Studi itu juga seolah menyimpulkan bahwa kebijakan terkait perubahan iklim yang digagas Presiden SBY telah gagal. Kian meningkatnya populasi di Indonesia dan permintaan yang tinggi untuk kayu, karet untuk kertas dan minyak kelapa sawit, justru memicu pembalakkan hutan.

Hal itu diperburuk dengan korupsi di tingkat pemerintah pusat dan lokal serta tidak adanya penegakkan hukum.

"Hilangnya lahan gambut dalam jumlah besar, kemungkinan tidak disebabkan oleh pemangku skala kecil, tetapi pengembang lahan agro-industri skala besar," tulis kesimpulan dalam studi tersebut.

Riza Suarga menganggap moratorium merupakan kebijakan panik yang diambil oleh pemerintah SBY. Akibat moratorium yang tidak jelas itu, empat juta karyawan buruh pabrik kayu kehilangan pekerjaan. Seiring dengan itu, pembalakan liar masih saja terus terjadi.

"Moratorium itu harus jelas periodenya. Lanjutannya apa? Sama dengan program gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan di zaman Megawati, yang menghabiskan Rp3,7 triliun tapi tidak ada hasilnya," papar Riza.

Dikatakan Riza, idealnya, luas hutan di Indonesia ada 110 juta hektare dengan hitungan hutan produksi seluas 60 juta dan hutan lindung seluas 50 juta hektar. Hal ini dianggap ideal, karena perhitungan luas daratan Indonesia mencapai 182 juta hektare dengan 100 juta hektare adalah hutan.

Untuk menormalkan kembali hutan di Indonesia, kata Riza, sejatinya cukup mudah. Sayangnya para petinggi di negara ini hanya terlalu banyak debat tanpa bertindak. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan dana untuk mengganti lahan yang rusak.

"Bisa pakai hutan tanaman industri. Lima sampai enam tahun bisa tumbuh, sekitar Rp15 juta per hektarenya. Berapa pun dananya, lakukan saja. Mau satu triliun atau Rp100 miliar, lakukan saja perbaikan hutan itu segera," kata Riza. (asp)

Jenderal Zahedi Tewas Dibunuh Israel, Iran Tarik Pasukan dari Suriah
Pembalap Pramac Racing, Jorge Martin

Jadwal Lengkap Sprint Race dan Balapan MotoGP Spanyol 2024, Akhir Pekan Ini

Balapan MotoGP Spanyol akan kembali bergulir pada akhir pekan ini, sejak Jumat 26 April 2024. Para pembalap akan bertanding di sirkuit Jerez pada seri keempat musim ini.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024