Adu Canggih Prediksi Banjir Bandang

Banjir di Manado
Sumber :
  • tvOne/ Rahmadian
VIVAnews - Banjir bandang telah menjadi masalah bagi beberapa negara dunia. Meski saat ini susah untuk memprediksi secara tepat kapan datangnya banjir dan bencana alam.
Peringatan Nuzulul Qur'an Tingkat Nasional, Kemenag: Spirit Bawa Indonesia Menjaga Keragaman

Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan para ahli memperingatkan masyarakat tentang apa yang kemungkinan akan terjadi. 
Pakai Uang Palsu Beli Narkoba dan Punya Senpi Rakitan, Pecatan TNI AL di Lampung Ditangkap

Untuk itulah, para ahli menyiasati upaya pencegahan secara dini terjadinya banjir. Kasus sederhana bisa merujuk di Nepal, misalnya. 
Blak-blakan Soal Rizky Irmansyah, Nikita Mirzani: Perhatian Banget

Mengutip laman Myrepublica, pejabat setempat memasang monitor elektronik di Sungai Koshi, di District Emergency Information Centers (DEIC), kawasan Rajbiraj dan Ghaighat, Nepal, untuk memonitor tinggi air sungai.

Monitoring itu dilakukan dengan bantuan perangkat deteksi bantuan Departemen Aksi Cepat Tanggap dan Divisi Prakiraan Cuaca. 

Perangkat yang dinamakan INGO, dilengkapi dengan indikator digital yang menampilkan permukaaan air sungai. 

"Teknologi ini tentu akan membantu mengurangi potensi kerugian banjir sungai," jelas Bahadur Poudel, seorang pejabat Practical Action Buddha setempat. Practical Action ini sebelumnya dikenal dengan Intermediate Technology Development Group (ITDG). ITDG merupakan pembangunan amal dari Inggris untuk negara berkembang. 

Instalasi perangkat yang telah rampung akhir pekan lalu, kini membuat warga sekitar aman. INGO dilengkapi dengan sirine yang akan terpicu jika air melebihi tanda bahaya. 

"Sirine akan menghasilkan alarm saat tinggi air mencapai 5,6 meter. Itu akan melepaskan suara keras saat tingkat air melintas 6,8 meter, yang dikategorikan bahaya," ujar Poudel. 

Perangkat itu akan melaporkan data tingkat air secara teratur ke kantor otoritas dan data dibagi dengan dinas lain yang terkait. 

Cara negara berkembang itu bisa dipandang cukup sederhana. Lain halnya dengan upaya Inggris. 

Sebagai negara maju, Inggris juga bekerja keras untuk mencegah datangnya banjir. Dengan berada di negara kepulauan yang terselip di antara Samudera Atlantik dan negara benua Eropa lainnya, menjadikan tantangan alam.

Badan Cuaca Nasional Inggris (Met Office) pun bekerja mempersiapkan prediksi banjir dalam 5 tahun ke depan. 

Prof Geraint Vaughan, dari University of Manchester pada awal tahun lalu mengatakan Inggris harus mengupayakan langkah yaitu mengoptimalkan simulasi komputer cuaca curah hujan, guna memperkirakan apa yang akan datang. 

Namun, sayangnya cara ini dipandang tak cukup. Sebab data curah hujan kadang tak akurat untuk memprediksi banjir. Harapan lain yaitu mengidentifikasi perkiraaan air tanah yang ada. 

Dengan memahami perkiraaan air di daratan akan memungkinkan peneliti bisa menentukan cuaca yang akan terjadi pada musim mendatang. 

Salah satu rencana yang digulirkan yakni membuat "pandangan hidrologi" Inggris, untuk memperkiraan kondisi air bulan berikutnya. Data itu digabungkan dengan data dari setiap stasiun curah hujan di seluruh negeri, termasuk di dalamnya infomasi kelembapan tanah. 

Data ini melibatkan Met Office, Badan Lingkungan Hidup dan Pusat Ekologi dan Hidrologi (CEH). 

"Upaya pertama untuk memberikan para pemangku kepentingan apa yang telah mereka minta, panduan kondisi air ke depan," kata Profesor Alan Jenkins dari CEH Wallingford dilansir BBC. 

Faktor kunci lain yaitu tingkat kejenuhan tanah. Perkiraan ini dianalisis dengan mempertimbangkan variabel seperti curah hujan, suhu, dan penguapan. 

Imuwan merencanakan jaringan riset besar dengan indikator kelembapan, melibatkan 50-100 perangkat di seluruh negeri. 

Perangkat ini akan mengonsumsi data real time pada jumlah kelembapan dalam tanah. Dengan menggelontorkan biaya 10 juta poundsterling.

Peneliti mengatakan perkiraan banjir bakal lebih akurat jika model komputer curah hujan dan aliran sungai saja tapi dipadu dengan tingkat kejenuhan tanah. 

Perangkat pengukur kelembapan yang digunakan yakni cosmic ray moisture probes, instrumen kecil yang berdiri 2 meter di atas tanah. 

Perangkat ini mengukur intensititas neutron, yang mana berkorelasi dengan keberadaan air. Instrumen ini menjangkau area seluas 1 km persegi dan mampu mendeteksi kedalaman 50 cm. 

Prof. Jenkins mengatakan jika proyek ini diberikan lampu hijau, bakal meningkatkan peringatan banjir beberapa jam. 

"Bahkan tambahan peringatan 2-4 jam dapat membuat perbedaan besar. Anda bisa mendapatkan banyak karung pasir pada waktu itu," ujar Jenkins. 

Apakah cukup tindakan persiapan Badan Cuaca Inggris itu? Tampaknya tidak.

Cara canggih 

Terbaru, metode yang dikembangkan peneliti University of California, AS, perlu mendapatkan perhatian. 

Sebab peneliti memprediksi datangnya banjir dengan menggunakan data satelit yang dianggap lebih bagus. Data satelit itu bahkan disebut bisa untuk memprediksi banjir bandang dalam 11 bulan ke depan. 

Prediksi peneliti AS itu berdasarkan pemantauan seberapa banyak air yang disimpan daerah aliran sungai (DAS) bulanan, sebelum datangnya musim banjir bandang. 

Melansir Live Science, Senin 7 Juli 2014, untuk mendiagnosa potensi banjir pada suatu daerah, peneliti mengandalkan pencitraan Satelit kembar Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) milik Badan Antariksa AS (NASA). 

Satelit yang awalnya diposisikan untuk melacak mencairnya lapisan es itu, kini bisa dimanfaatkan untuk memantau potensi banjir. Satelit dapat mengukur perubahan massa misalnya sumber air potensial, perubahan salju, air permukaan, kelembapan tanah sampai air tanah. 

"Ini memberi kita interpretasi yang lebih akurat tentang apa yang terjadi di lapangan," ujar JT Reager, pakar Ilmu Bumi Universitas California, yang merupakan penulis studi itu. 

Pemantauan satelit akan melihat kondisi tanah jenuh, yang berisi air penuh, sampai memantau saat sudah matang untuk banjir. 

Reager bersama koleganya sudah mempraktikkan pengukuran berapa banyak air merendam tanah, melalui data satelit. Uji coba itu dilakukan sebelum banjir besar yang melanda Sungai Missouri, pada 2011. 

Pada pengukuran itu, peneliti menemukan model statistik yang sangat prediktif potensi banjir dalam 5 bulan ke depan. Bahkan, prediksi bisa diperluas hingga 11 bulan ke depan.

Banjir Missouri diketahui berlangsung berbulan-bulan itu menggenangi antarnegara bagian, melumpuhkan pembangkir nuklir dan menenggelamkan lahan pertanian. Padahal, Badan Cuaca Nasional, sudah memperingatkan datangnya banjir sebulan sebelumnya.

Reager berharap metode baru prediksi itu bisa membantu para badan peramal cuaca guna mempersiapkan datangnya musim banjir. "Ini akan menjadi luar biasa, jika berdampak positif dan berpotensi menyelamatkan nyawa," ujar Reager. 

Sayangnya, metode prediksi peneliti itu memiliki beberapa kekurangan, yaitu metode tak bekerja untuk banjir bandang yang disebabkan hujan secara tiba-tiba. Sebab satelit hanya melihat banjir dari sisi kejenuhan melambat tanah. 

Selanjutnya, data tidak realtime. Peneliti disebutkan harus menunggu tiga bulan sebelum mendapatkan data prediksi potensi banjir dari satelit itu. Namun demikian, kata Reager, NASA terus bekerja keras agar data bisa dikirimkan dalam waktu 15 hari saja.

Pantau perubahan iklim

Pemantauan kondisi lingkungan dirasakan semakin penting. Dengan memahami perubahan iklim, maka potensi bencana bisa diperkirakan sebelumnya. 

Untuk itulah Badan Antariksa AS (NASA) meluncurkan satelit bernama Orbiting Carbon Observatory (OCO)-2. Satelit tersebut melesat berkat dorongan powerful dari rocket Delta 2. 

Satelit diproyeksikan untuk mengetahui perubahan iklim melalui data yang diambil dari 438 mil dari permukaan Bumi dan mampu menjangkau 80 persen dari total wilayahnya. 

OCO-2 juga didesain untuk mengukur kadar karbondioksida di atmosfer.

Mengutip BBC, Kamis, 3 Juli 2014, data terakhir menunjukkan setiap tahunnya ada sekitar 40 miliar ton karbondioksida yang dilepas dari pabrik dan polusi mobil. Sekitar setengah dari gas rumah kaca itu terpendam di atmosfer, sedangkan sisanya diserap oleh laut dan pohon.

Satelit monitor Co2, yang menghabiskan US$468 juta itu didesain sedemikian rupa agar bisa bertahan di orbit selama 2 tahun. Satelit ini bisa difungsikan untuk mengamati bagaimana lingkungan sekitar bisa menyerap karbon dioksida dan mengurangi efek gas rumah kaca.

Sejatinya, ini bukanlah peluncuran satelit monitor karbondioksida pertama yang dilakukan NASA. Pada 2009, peluncuran ini pernah terjadi, namun gagal. Roket Taurus XL tidak mampu mendorong satelit itu dengan sempurna.

Akibatnya, satelit dan roket kembali ke Bumi dan jatuh di Kutub Utara. Setelah tragedi itu, NASA menghabiskan jutaan dolar dan butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat satelit yang sama. (art)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya