Ketika PDIP Terjegal Revisi Undang-undang MD3

Sidang Paripurna DPR ke-29
Sumber :
  • ANTARA/Reno Esnir

VIVAnews – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan telah memenangi Pemilu Legislatif 9 April 2014. Maka, seperti biasa yang terjadi pada partai peraih kursi mayoritas di DPR pada pemilu-pemilu sebelumnya, PDIP merasa berhak atas kursi Ketua DPR periode baru.

Mau Lebaran, Dua Kepala Sekolah Malah Jadi Tersangka Korupsi PPPK di Langkat

Masalahnya, ambisi PDIP itu kini terganjal oleh kesepakatan para anggota DPR periode saat ini, yang masa tugasnya akan berakhir dalam hitungan bulan. Mereka adalah para politisi dari kubu-kubu pesaing PDIP yang beberapa hari lalu merevisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3).

Berdasarkan revisi UU MD3 yang baru disahkan Selasa 8 Juli 2014 –sehari sebelum Pemilu Presiden, mekanisme pemilihan pimpinan DPR berubah dari sistem proporsional menjadi sistem paket. Bila pada sistem proporsional pimpinan DPR diberikan kepada partai pemenang Pemilu Legislatif, maka pada sistem paket pimpinan DPR dipilih langsung oleh anggotanya berdasarkan partai politik.

Penentuan revisi UU MD3 ini dilakukan secara voting. Sistem paket didukung oleh koalisi gemuk yang terdiri dari 6 partai politik, yakni Golkar, Demokrat, Gerindra, PKS, PPP, dan PAN. Keenam partai tersebut saat ini merupakan bagian dari koalisi Merah Putih yang berada di belakang Prabowo-Hatta.

Sementara partai-partai yang menolak perubahan pemilihan pimpinan DPR dari sistem proporsional menjadi sistem paket adalah PDIP, PKB, dan Hanura. Ketiganya merupakan partai pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pilpres. Tiga partai itu walk out dalam sidang pengesahan UU MD3.

Alhasil, PDIP sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif terancam tak bisa mendudukkan kadernya di kursi Ketua DPR. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu pun tak tinggal diam. Mereka berencana menggugat UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi.

“PDIP merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Perubahan proses pemilihan pimpinan DPR dari sistem proporsional sebagai bentuk penghargaan kepada parpol pemenang pemilu kini ditiadakan. Pimpinan DPR sekarang jadi dipilih secara liberal. Maka kami akan gunakan jalur hukum lewat judicial review,” kata Wasekjen PDIP, Ahmad Basarah, 10 Juli 2014.

Anggota Komisi III Bidang Hukum DPR dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari, menuding revisi UU MD3 terkait pasal pemilihan pimpinan DPR tersebut diskriminatif dan sengaja dimaksudkan untuk mengunci PDIP. “Terlebih metode pemilihan sistem paket itu hanya berlaku untuk DPR, tidak untuk DPRD,” ujar Eva, Jumat 11 Juli 2014.

Berikut pasal-pasal berisi mekanisme pemilihan pimpinan DPR dalam UU MD3 yang bakal digugat PDIP ke Mahkamah Konstitusi:

Pasal 84

Ayat (1) Pimpinan DPR RI terdiri atas satu orang ketua dan 4 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.

Ayat (2) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.

Ayat (3) Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam sidang paripurna.

Ayat (4) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud ayat 3 dapat mengajukan satu bakal calon pimpinan.

Ayat (5) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud ayat 1, dipilih secara musyawarah mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

Ayat (6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud ayat 5 tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara, dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.

Ayat (7) Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud ayat 1 belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.

Ayat (8) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud ayat 7 berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.

Ayat (9) Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.

Ayat (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib.

Tak perlu izin Presiden

Poin krusial lain dalam UU MD3 yang baru ini adalah pemeriksaan terhadap anggota DPR yang terjerat tindak pidana tidak memerlukan izin Presiden. Sementara pemeriksaan terhadap anggota DPRD yang terjerat perkara pidana pun tak perlu izin dari Gubernur atau Menteri Dalam Negeri. Berikut pasalnya:

Pasal 245

Ayat (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Ayat (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, maka pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Badan Akuntabilitas Dihapus

Pokok perhatian lain dalam revisi UU MD3 adalah penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). BAKN digabung ke dalam Badan Keahlian Dewan. Hal ini diprotes oleh politisi Partai Amanat Nasional Teguh Juwarno.

“Penghapusan BAKN perlu ditinjau kembali. BAKN justru harus dikuatkan untuk meningkatkan citra parlemen karena kehadiran BAKN untuk memberi catatan kritis atas catatan Badan Pemeriksa Keuangan dan auditor DPR,” kata Teguh.

Ketua DPR Marzuki Alie dalam pidato penutupan masa sidang IV tahun 2013-2014 menyatakan, revisi UU MD3 dilakukan demi terwujudnya parlemen yang produktif, efektif, dan akuntabel.

“Inti dari substansi baru penguatan kelembagaan dilakukan dengan melakukan penataan, restrukturisasi, remodifikasi kelembagaan, dan pelaksanaan hak-hak, tugas, dan wewenang MPR, DPR, DPD, dan DPRD,” kata Marzuki.

Berikut poin-poin krusial dalam UU MD3 baru yang telah disahkan:

1. Badan Kehormatan DPR akan diperkuat kewenangannya dan berganti nama menjadi Mahkamah Kehormatan DPR.

2. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara dihapuskan. Posisi BAKN digabung ke dalam Badan Keahlian Dewan.

3. Badan Anggaran menjadi alat kelengkapan tetap DPR.

4. Pemeriksaan anggota DPR atau MPR atas masalah hukum tidak perlu izin presiden, sementara pemeriksaan anggota DPRD tidak butuh izin Menteri Dalam Negeri atau gubernur .

5. Perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dari sistem proporsional menjadi sistem paket. (ren)

Stefano Pioli dan para pemain AC Milan

AC Milan Jangan Gegabah Ganti Pioli dengan Conte

Masa depan Stefano Pioli bersama AC Milan masih belum ada kejelasan. Sempat beredar kabar jika dia takkan lagi menjadi pelatih di musim depan.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024