Jalan Berbayar, Solusi Kemacetan Jakarta

Gerbang jalan berbayar atau Electronic Road Priecing (ERP)
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Kemacetan di Jakarta perlahan mulai dibenahi. Berbagai program yang telah direncanakan juga mulai direalisasi. Setelah memproses Mass Rapid Transit (MRT), kini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menerapkan sistem electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar.

Dinas Perhubungan DKI Jakarta bekerja sama dengan perusahaan asal Swedia, Kapsch AG, melakukan uji coba penerapan teknologi ERP pada Selasa, 15 Juli 2014 di Jalan Sudirman, Jakarta.

Kepala Dinas Perhubungan DKI, Muhammad Akbar, mengatakan, uji coba yang dilakukan pertama kalinya itu bertujuan untuk menguji sinkronisasi gantry atau gerbang pendeteksi yang kini telah dibangun di depan gedung Bank Panin Senayan, dengan alat OBU (On-Board Unit) yang dipasang di beberapa mobil yang melintasi jalan itu.

"Dalam uji coba yang saat ini dilakukan, yang ingin dicapai adalah apakah OBU bisa dibaca oleh kamera di dalam gerbang ERP atau tidak. Jadi, mengetes gerbang itu untuk bisa mendeteksi mana kendaraan yang memasang OBU mana yang tidak," ucap Akbar.

Untuk melancarkan uji coba ini, Dinas Perhubungan akan memasangkan OBU ke 50 unit kendaraan milik Dishub, Kapsch AG, serta beberapa kendaraan milik masyarakat.

"Kira-kira satu minggu, akan dilakukan uji cobanya dulu terhadap kendaraan milik Kapsch, kemudian milik petugas supaya mudah mengendalikan keluar masuknya sekaligus memantau integrasinya ke sentral operator. Setelah itu, baru diujicobakan ke kendaraan yang sering melintas di jalan itu," ucapnya.

Gantry ERP di Jalan Sudirman sudah berdiri sejak 6 Juli 2014. Gerbang tersebut memiliki tinggi 7 meter, melingkupi penuh ruas jalur lambat Jalan Sudirman serta dilengkapi dengan 3 kamera pendeteksi di langit-langitnya.

Dalam uji coba yang dilakukan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Selasa sore, gantry atau gerbang pendeteksi ERP yang telah dibangun berhasil mendeteksi dan mengidentifikasi 4 mobil milik Dinas Perhubungan (Dishub) DKI yang melintas di bawah gerbang yang melintang di permulaan lajur lambat di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan.

"Hasilnya bisa dilihat, tidak hanya merekam nomor seri OBU dan memotret kendaraan, tapi sistem juga secara otomatis mencatat pelat nomor kendaraan yang melintas itu," ujar Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Muhammad Akbar di lokasi uji coba, seraya menunjuk ke layar komputer pusat kendali gantry.

Akbar kemudian menjelaskan tentang teknis pengidentifikasian OBU. Menurut dia, gantry akan bisa mendeteksi OBU di setiap kendaraan dari jarak 100 meter sebelum kendaraan tersebut melintasi gantry.

"OBU ini memancarkan frekuensi di gelombang 5,8 Gigahertz. 100 meter sebelum lewat, gantry akan mendeteksi. Bila ada saldo dia tidak ada masalah. OBU akan berbunyi pada saat mobil berada di bawah gantry dan lanjut. Kalau saldonya kosong atau malah tidak ada OBU, maka saat melewat, dia akan di-capture. Jadi tanpa OBU, gantry masih bisa merekam kendaraan yang melewat," ucap Akbar.

Menurut Akbar, kendaraan yang terbukti melintas dengan saldo yang kosong atau tanpa OBU, akan dilacak alamat pemiliknya berdasarkan pelat nomor polisi yang tercatat. Polisi atau pihak yang berwenang kemudian akan menilang atau melakukan penagihan denda ke alamat yang terdaftar.

OBU merupakan sebuah alat kecil berbentuk lonjong berukuran sekitar 13 x 5 cm yang harus ditempelkan di bagian dalam jendela mobil. Untuk uji coba tahap ke-2 yang akan dilaksanakan pada November nanti, Akbar mengatakan bahwa pihaknya akan membagikan 50 buah OBU tersebut secara gratis ke mobil masyarakat yang sering melintasi Jalan Jenderal Sudirman.

KPU Sebut Gugatan Ganjar-Mahfud yang Singgung Jokowi Salah Sasaran

Sementara itu, bila sudah mulai memasuki tahap penerapan peraturan di awal 2015, OBU akan dijual seharga Rp200.000 per buah.

Mengenai besaran dendanya, Akbar mengatakan bahwa pihaknya masih belum mengkaji sampai ke aspek sedetail itu. Menurut dia, Dinas Perhubungan hingga saat ini masih berkonsentrasi pada aspek-aspek teknis penerapan teknologi penunjang ERP.

"Untuk besaran denda nanti harus dibuatkan peraturan gubernurnya. Saya kira itu harus dibahas bersama pemprov. Saat ini kami masih ingin memastikan teknologi ERP mana yang akan diterapkan untuk di Jakarta," ucapnya.

Senada dengan Akbar, Nia Djumhari yang merupakan Marketing Director PT. Alita Prayamitra atau mitra lokal Kapsch AG, perusahaan yang melakukan uji coba ini, menyebutkan bahwa pihaknya akan terus melakukan uji coba selama 3 bulan untuk memastikan teknologi terbaik yang akan dipakai untuk penerapan peraturan ERP di Jakarta.

"Kami lakukan uji coba 3 bulan. Karena ingin melihat dan melakukan fine tuning untuk sistem kami. Mereka ini (Kapsch AG) kan biasa menerapkan teknologi ini di luar negeri, nah jadi belum tahu apa kelemahannya di environment sini. Setelah 3 bulan kami tahu perbedaannya, dan akan kami laporkan kembali kepada Dishub," ucap Nia.

Terapkan tilang elektronik

Untuk menunjang jalannya sistem ini, Pemprov DKI telah berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya dalam hal penegakan hukum. Kepala Subdit Keamanan dan Keselamatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris  Irvan Prawira, mengatakan, dalam waktu dekat, pelaksanaan ERP masih belum bisa dilakukan meski gerbangnya sudah dipasang. Alasannya karena masih banyak hal yang belum mendukung penerapan tersebut.

Dia menjelaskan, ruas jalan yang dikenakan ERP harus memenuhi syarat volume per kapasitas sebesar 0,9 ke atas atau kepadatan kendaraan yang sudah mendekati kapasitas jalan.

"Jalan Sudirman-Thamrin sudah memenuhi unsur itu, dan juga sudah ada dua lajur, namun ada syarat selanjutnya yakni transportasi publik yang sudah memenuhi Standar Pelayanan Minimum," ujar Irvan, Selasa 15 Juli 2014.

Irvan memaparkan, bukan hanya itu, pemprov juga harus memikirkan masalah penyempitan jalan karena ada pembangunan Mass Rapid Transit (MRT). Meski demikian, polisi, kata dia, mendukung ERP asalkan syarat-syarat tersebut dipenuhi.

Untuk masalah penegakan hukum ERP, lanjut Irvan, Polda nantinya akan menerapkan tilang elektronik, atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE).

"Kalau tidak disertai penegakan hukum yang baik, ERP hanya mempertaruhkan kewibawaan pemerintah di mata masyarakat, sama seperti perda merokok. Nah bagi kami, ERP tidak mungkin diawasi secara manual oleh petugas, harus ETLE," jelas dia.

Irvan menambahkan, sebagai bahan penunjang, polisi ingin proses integrasi Electronic Registration and Identification (ERI) dari data Ditlantas Polda Metro Jaya dengan Pemprov DKI, dalam hal ini Dinas Pelayanan Pajak (DPP) diintegrasikan.

“Kalau mau pakai database DPP silakan saja, tapi tidak bisa dilakukan penegakan hukum. Sebenarnya sama saja, data Pemprov dengan data kami, namun ada beberapa item yang tidak terdaftar. Apalagi, data kami adalah yang paling sah, memiliki legitimasi hukum," tegasnya.

Menurut Irvan, pembangunan gerbang ERP adalah hanya untuk uji coba pembacaan On Board Unit (OBU) yang ada di kendaraan.

"Jadi mereka baru mau mengetes daya tangkap OBU, uji coba hanya di beberapa kendaraan. Namun, banyak yang masih menjadi pertanyaan, sebab belum ada dasar hukum bahwa semua kendaraan yang masuk di Jakarta harus memiliki OBU, saya rasa ini perlu," ujarnya.

Sopir Truk Penyebab Kecelakaan di GT Halim Ternyata Masih Anak-anak, Bos Akan Diperiksa

"Tanpa dasar hukumnya, sulit menjalankan ERP, beda halnya dengan Singapura yang dikelilingi laut, atau kota di Swedia yang dikelilingi sungai, tapi di Jakarta ini kendaraan pelat nomor dari semua provinsi se Indonesia ada," jelasnya.

Dia mencontohkan, di negara maju dengan ETLE kamera CCTV akan menangkap para pelanggar, dan polisi akan mengirimkan tilang ke rumahnya sesuai pelat nomor. Bahkan, pelanggaran rambu bisa memiliki denda hingga jutaan rupiah.

"Kalau di sini, masih manual semua, sistemnya belum bisa seperti itu, tapi kami harus mulai. OBU itu harusnya juga bisa untuk sistem pembayaran lain, misalnya masuk tol, atau bayar parkir, jangan cuma buat ERP, ke depan harus seperti itu," tegasnya.

Transportasi umum harus diperbaiki

Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Sophie Wulan Tangkudung menambahkan, jika nantinya ERP sudah diterapkan, maka bisa mengurangi kemacetan di Jakarta yang cukup signifikan. Namun, hal tersebut bisa terwujud jika transportasi harus terlebih dahulu diperbaiki.

"Jika sesuai dengan tujuan, kalau memang warga merasa jalan berbayar itu mahal pasti dia tidak akan menggunakan kendaraan pribadinya melainkan menggunakan angkutan umum," kata Ellen saat dihubungi VIVAnews.

Ellen menjelaskan, jika transportasi umum tidak diperbanyak dan diperbaiki, itu tidak akan mengubah kemacetan yang sudah terbilang terhenti ini. Nantinya, warga yang tidak mau melewati jalan berbayar, akan mencari jalan alternatif lain.

"Itu sama saja memindahkan kemacetan dan tidak menyelesaikan kemacetan di Jakarta. Harusnya, semua dilakukan secara bersamaan, dengan memulai pembangunan ERP dan transportasi umum," jelas Ellen.

Menurut Ellen, hal yang paling penting adalah uang untuk membayar ERP harusnya digunakan untuk perbaikan transportasi. Dia mencontohkan di Belanda, uang ERP ditujukan untuk transportasi umum yang lebih banyak dan lebih baik.

Secara umum, lanjut dia, transportasi di Jakarta saat ini sudah layak, namun hanya pelayananya yang terlambat. Selain itu, kapasitasnya masih kurang.

Zulhas Enggan Revisi Aturan Barang Bawaan dari Luar Negeri: Bayar Pajak Dong!

"Setiap hari saja kita lihat masih banyak orang yang berjubel mengantre naik angkutan umum, itu karena tidak tepat waktu. Jika semua diperbaiki, bisa dipastikan warga yang membawa kendaraan pribadi secara perlahan pindah ke angkutan umum," jelas dia. (art)

Baca juga:



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya