Sudah Menyebar 40 Tahun, di Mana Penyembuh Ebola?

Melawan Ebola di Sierra Leone
Sumber :
  • Sylvain Cherkaoui/Cosmos
Jaksa KPK Panggil Febri Diansyah dkk ke Sidang SYL, Ini Alasannya
VIVAnews
– Medecine Sans Frontieres (MSF) menggambarkan Ebola sebagai salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Sekali menginfeksi, 90 persen penderitanya pasti akan berujung kematian. Beberapa peneliti mengaku telah memiliki cara untuk memerangi Ebola. Namun hingga saat ini belum ada satu pun yang masuk proses produksi.
Kutukan Sungkyunkwan Scandal: 5 Pemerannya Terjerat Kontroversi Bertubi-tubi!

Virus Ebola sejatinya telah menyebar sejak 40 tahun lalu. Menurut WHO, penyakit ini terpusat di segala penjuru Afrika, khususnya di Sierra Leone, Liberia dan Nigeria.  Data yang dimiliki lembaga kesehatan dunia itu menunjukkan, virus tersebut telah menginfeksi 1.323 orang di tiga negara tersebut antara Maret hingga Juli tahun ini. Dari angka itu, 729 penderita berakhir meninggal.

Karena tidak adanya obat yang mampu menyembuhkan Ebola, pemerintah dan beberapa institusi lain memilih melakukan tindakan preventif dalam mengurangi dampak kematian Ebola. Salah satunya adalah dengan menggunakan pola perawatan layaknya pasien HIV/AIDS, melalui isolasi dan perawatan intensif.

Bulu Mata, Salah Satu Kunci Penampilan Kris Dayanti

Penderita Ebola biasanya baru akan menyadari dirinya positif terinfeksi setelah 21 hari diagnosa. Itulah yang menyebabkan banyak korban berjatuhan. Setelah 21 hari, rata-rata pasien berakhir meninggal dunia.

Adakah Obatnya?

Salah satu penelitian yang didedikasikan untuk mencari obat Ebola adalah di Amerika, tepatnya National Institutes of Health (NIH). Peneliti NIH mengklaim telah berhasil membuat vaksin yang dipercaya mampu melumpuhkan virus Ebola.

Setelah meneliti selama bertahun-tahun, mereka menemukan vaksin tersebut mampu melawan virus mematikan pada primata. Langkah berikutnya sebelum benar-benar memproduksi, vaksin tersebut harus diujicobakan dulu pada manusia. NIH berjanji akan mulai melakukan uji coba vaksin pada September tahun ini.

Menurut Dr Thomas Geisbert, yang bekerja di laboratorium University of Texas Medical Branch, setidaknya ada 4 vaksin yang telah ditemukan untuk memerangi Ebola. Tapi semuanya masih sebatas uji coba di hewan.

Pertama yang dikembangkan Tekmira Pharmaceuticals dengan dana dari pemerintah Amerika. Namun Food and Drug Administration Amerika menahan hasil penelitian obat bernama TKM-Ebola itu karena dosisnya yang masih sedikit untuk diberikan kepada relawan. TKM-Ebola menggunakan materi genetik bernama RNA yang disematkan ke dalam virus dan memancing sistem imun untuk melakukan perusakan virus.

Ada juga T-705 yang di Jepang dikenal dengan nama Avigan. Sejatinya vaksin ini untuk influenza namun saat di tes pada tikus, diketahui Avigan juga mampu menyembuhkan Ebola. Avigan lebih mungkin untuk dikomersilkan karena bentuk molekulnya bisa dikemas dalam bentuk pil. Saat ini US Army Medical Research Institute of Infectious Diseases (USAMRIID) sedang menguji coba Avigan pada hewan primata, yang memiliki gen lebih dekat dengan manusia, ketimbang tikus.

Perusahaan kecil bernama BioCryst juga telah menemukan vaksin potensi penyembuh Ebola bernama BCX4430. USAMRIID juga terlibat dalam pengembangan ini. Sayangnya, vaksin ini masih dalam tahap uji coba primata, belum ke manusia.

Vaksin lainnya adalah berbasis monoclonal antibodi, merekayasa protein sistem kekebalan tubuh yang terdapat secara khusus pada mikroba. Disebut dengan MB-003, menyediakan 100 persen proteksi pada monyet ketika diberikan dosis yang tepat . MB-003 juga membantu mengurangi gejalanya.

Menurut Geisbert, ada juga beberapa vaksin yang menggunakan virus  hidup. Seperti virus vesicular stomatitis yang merekayasa genetika virus sehingga menyerupai Ebola. Ada juga adenovirus, sebuah virus yang biasa digunakan untuk influenza. Lainnya adalah virus-like particles yang bertugas melawan penyakit lain melalui pendekatan virus ke virus. Sayangnya, semua metode itu menggunakan virus aktif sehingga dipastikan memiliki efek samping.

Amerika sangat tertarik untuk berinvestasi dalam menemukan lawan virus Ebola. Pasalnya, menurut peneliti USAMRIID, virus Ebola (EBOV) merupakan kerabat dekat virus Marburg (MARV). Keduanya diperkirakan berpotensi menjadi agen bioterorisme atau pembunuh masal.

Tak Diproduksi

Empat vaksin telah ditemukan, termasuk satu yang terbukti telah menyelamatkan monyet dari virus mematikan itu. Proses penyembuhan akan semakin lama, seiring dengan proses produksi yang tak kunjung dilakukan. Satu-satunya yang menjadi kendala adalah, uang.

Dilansir melalui NBC News, meski Ebola telah menyebar luas di Afrika Barat, namun pangsa pasar obatnya dianggap belum terlalu potensial untuk ukuran perusahaan farmasi besar. Artinya, biaya penelitian dan modal produksi tidak akan sebanding dengan pemasukan di kemudian hari.

“Tidak ada pasar yang potensial. Hanya terjadi di Afrika Barat. Saya tidak melihat adanya alasan bagi perusahaan farmasi ternama di dunia untuk terlibat dalam penelitian ini. Hanya pemerintah Amerika yang peduli,” ujar Dr Sina Bavari dari USAMRIID.

Saat ini, pemberitaan menyebutkan sedikitnya ada puluhan pasien Ebola yang sedang mendapatkan perawatan seadanya di Afrika. Tidak ada obat spesifik untuk membantu mengatasi infeksi Ebola. Dalam penanganannya, menurut WHO, pasien diberikan air dan garam untuk menggantikan cairan yang hilang akibat muntah dan diare berkepanjangan. Mereka juga diberikan obat penghilang rasa sakit untuk mengurangi demam. Selain itu diberikan juga antibiotik untuk mencegah infeksi lain dalam tubuh pasien.

Masih Ada Harapan

Baru-baru ini, sebuah serum telah diujicobakan ke penderita Ebola asal Texas, Amerika, Nancy Writebol. Ada dua pasien Ebola asal Amerika, satu lagi adalah Dr. Kent Brantley. Dalam waktu yang bersamaan, Brantly mendapatkan satu unit darah dari seorang anak berusia 14 tahun yang sembuh dari Ebola. Bocah laki-laki itu merasa berhutang budi pada Brantly karena telah membantu merawatnya hingga sembuh.

Para peneliti masih kebingungan dengan hasil temuan terkait penyembuhan Ebola. Mereka pernah melakukan proses transfusi darah dari penderita yang sembuh Ebola kepada penderita baru. Sayangnya, cara itu tidak melulu sukses. Ada sebagian orang yang sembuh namun ada juga yang tidak.

Dalam wawancaranya dengan CNN, mantan pasien asal Liberia, Saa Sabas mengaku beruntung telah lepas dari Ebola. Dia hanya mendapatkan perawatan intensif di Pusat Penanganan Penyakit Ebola di Rumah Sakit Gueckedou, lewat pengobatan oral dan infusi. Pihak rumah sakit juga memberinya makan teratur. Sebelum kembali ke rumah, Sabas harus menjalani 3 kali pemeriksaan untuk memastikan dirinya bebas Ebola.

Selain Sabas ada juga Mohamed dan Zena, dua penderita Ebola berasal dari Guinea. Berkat perawatan intensif, keduanya akhirnya selamat. Kini, Mohamed dan Zena menjadi ‘duta’ ebola di Afrika. Mereka mendatangi pasien dan keluarga, memberi motivasi serta semangat untuk pulih. Di tengah stigma dan ketakutan berlebihan masyarakat terhadap ebola, Mohamed dan Zena seakan jadi cahaya. Kisah mereka terus diulang. Itu memercikkan harapan bagi para pasien ebola.

Sayangnya, hasil penelitian tetap akan menjadi tulisan dan teks dalam jurnal tanpa memasuki tahap produksi.  Apakah untuk menciptakan obat penangkal, harus mengorbankan nyawa miliaran manusia untuk membuktikan ada pasar potensial dan kepastian modal kembali? (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya