Tujuh Kota Paling Layak Huni, Seberapa Nyaman?

Suasana malam hari di salah satu sudut kota Balikpapan
Sumber :
  • balikpapan.go.id
VIVAnews
Siswi SMA Negeri 2 Maumere Dilarang Ikut Ujian Gegara Nunggak Rp50 Ribu
– Kota-kota di Indonesia masih menjadi magnet bagi masyarakat yang ingin memiliki kehidupan lebih baik. Sayangnya, tak semua kota ramah dan bisa memenuhi semua kebutuhan warganya.

Prediksi Piala Asia U-23: Yordania vs Timnas Indonesia

Perkotaan selalu identik dengan masalah polusi, kemacetan, kesemrawutan, daerah kumuh, masalah kesenjangan sosial, dan kualitas lingkungan.
Inspirasi Membantu Sesama


Selain berhadapan dengan masalah tersebut, kota-kota di Indonesia juga mengalami persoalan tata kelola manajemen perkotaan yang tidak efisien.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Bernardus R. Djonoputro, kepada VIVAnews, Senin 11 Agustus 2014, mengungkapkan, selain persoalan fisik, kota juga mengalami kesulitan permasalahan pengelolaan yang disebabkan oleh minimnya kapasitas kelembagaan dan SDM pengelola kota di Indonesia.

IAP, menurut Bernardus, telah melakukan survei pada kuartal kedua 2014 mengenai Indonesia Most Liveable City Index .

Indeks tersebut, menurut Bernardus, merupakan persepsi aktual warga kota yang menunjukkan tingkat kenyamanan kota berdasarkan persepsi warga yang hidup di kota tersebut.


"Survei ini dilakukan untuk mengukur kualitas hidup warga kota dan melakukan identifikasi awal faktor-faktor kritis pembangunan pada masing-masing kota berdasarkan persepsi dan kesan warganya," katanya.


Bernardus mengungkapkan, survei tersebut dilakukan di 17 kota metropolitan dan sedang di Indonesia.


Ke-17 kota tersebut adalah Bogor, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Balikpapan, Banjarmasin, Palangkaraya, dan Samarinda. Selanjutnya adalah Pontianak, Makassar, Jayapura, Palembang, Medan, dan DKI Jakarta.


Kota-kota ini dinilai dari hasil survei dengan skala 0-80. Bernardus memaparkan, dari seluruh kota tersebut, ada tujuh kota yang memiliki nilai di atas rata-rata nasional. Yang tertinggi adalah Balikpapan (71,12).


Selanjutnya disusul oleh Solo (69,38), Malang (69,3), Yogyakarta (67,39), Palembang (65,48 persen), Makassar (64,79), dan Bandung (64,4).


Bernardus mengungkapkan, warga menempatkan ekonomi sebagai faktor paling penting untuk kelayakan hunian kota bersama dengan kebersihan dan fasilitas kesehatan.


Yang menyedihkan adalah empat kota metropolitan nilainya jeblok di bawah rata-rata nasional. Mereka adalah DKI Jakarta (62,14), Semarang (63,37), Medan (58,55), dan Surabaya (61,7).


Bahkan, Medan merupakan kota dengan indeks paling rendah dibandingkan 17 kota lainnya yang disurvei, diikuti oleh Jayapura (58,96).


Kota-kota menengah, menurut Bernardus, saat ini lebih diminati dan dianggap layak sebagai tempat untuk dihuni. Sebab, kota-kota besar dianggap terlalu padat, sehingga beban seperti kemacetan terus bertambah dan kenyamanan pun berkurang.


Survei ini, imbuhnya, harus menjadi perhatian para pemimpin daerah, baik wali kota ataupun gubernur, agar kota mereka bisa menjadi lebih baik lagi bagi warganya.


Dia menjelaskan, indeks tersebut juga bisa menjadi pedoman bagi swasta melakukan investasi, terutama pada kota-kota yang tidak lagi menjadikan aspek kebutuhan dasar sebagai penentu kelayakhunian.


Tak ada kota bagus di semua sisi


Namun, pengamat tata kota, Yayat Supriatna, kepada
VIVAnews
mengungkapkan, survei tujuh kota yang paling layak ditinggali tersebut, sangat bergantung kepada perspektif masyarakat.


Menurut Yayat, hal itu juga dipengaruhi oleh referensi masyarakat mengenai kota-kota yang ada di Indonesia.


Yayat mengatakan, hasil survei akan berpengaruh dan valid, jika para peserta merupakan orang yang sering mengunjungi kota-kota di Indonesia. Jika tidak, pengetahuan dan jawaban yang akan diberikan akan terbatas dengan persepsi kota yang baik di kota mereka.


Dia menuturkan, di dalam survei tersebut, ada beberapa kota yang tidak bisa dibandingkan secara langsung. "Tentu tidak bisa membandingkan Jakarta dengan Balikpapan, karena tidak membandingkan
apple to apple
," katanya.


Yayat melanjutkan, kota yang baik adalah kota yang bagus dalam semua sisi, seperti investasi, bisnis, pariwisata, sosial, tata kota, dan juga kualitas hidup. Saat ini, menurut dia, tidak ada kota di Indonesia yang mempunyai nilai tinggi dalam kesemuanya.


Dia mengatakan, ini berbeda dengan Singapura yang baik di semua segi penilaian baik bisnis, investasi, sosial, kebersihan, dan pariwisata.


Yayat melanjutkan, kota-kota di Indonesia harus banyak belajar untuk membangun kota yang lebih baik. Sebab, kota-kota terbaik di luar negeri menawarkan kenyamanan dari segala bidang.


Yayat melihat kota-kota di Indonesia saat ini justru sedang melakukan revitalisasi dan bangkit dari kejayaan masa lalu.


Dia menjelaskan, kota-kota seperti Bandung dan Bogor kembali menata kotanya yang sudah telanjur rusak. Hal ini tentu memerlukan waktu yang lama, namun tetap memerlukan komitmen dari pemimpin daerah.


Jika harus menyebut nama, Yayat menilai ada 2 kota yang menonjol di Indonesia yakni Surabaya dan Pekalongan. Surabaya, menurut dia, saat ini merupakan kota yang sarat dengan prestasi.


Dia mengungkapkan, hampir semua aspek perkotaan yang baik dipenuhi. Bahkan, jika dibandingkan Jakarta, Surabaya lebih menonjol.


Sementara itu, Pekalongan, Yayat menjelaskan, walaupun kota kecil, tetapi memiliki tata kelola yang baik. Sistem yang dijalankan pemerintah pun mendorong dan memberdayakan masyarakat.


Menurut dia, dari sisi sistem anggaran pun, Pekalongan cukup baik dengan mendorong praktik
good governance
dan melakukan efisiensi anggaran.


Sistem tata ruang kota Pekalongan pun dinilai bagus dan administrasi pemerintahannya terbuka serta transparan.


Mewujudkan kota layak huni


Seperti dikutip dari situs Kementerian Pekerjaan Umum, pengamat tata kota, Bambang Eryudharma mengatakan, untuk bisa mewujudkan kota layak huni, diperlukan perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang jangka waktu 20 tahun dengan proses pelaksanaan jangka pendek.


Menurut Bambang, suatu kota diindikasikan layak huni jika masyarakat dapat menikmati berjalan kaki di jalan perkotaan dan transportasi publik yang nyaman. Selain itu, masyarakat banyak bermukim di kota, jarak tempuh tempat kerja dan tempat tinggal dekat. Jika hal itu terjadi, kota tersebut layak huni.


Dia mengatakan, masalah yang terjadi di perkotaan bukan hanya persoalan teknis, tapi juga budaya. “Walau bagaimana pun, kehidupan masyarakat di kota adalah proses belajar. Cara kita hidup di kota juga harus melalui proses yang cukup panjang," ungkapnya.


Dengan demikian, imbuhnya, di samping persoalan teknis, di dalam perencanaan kota juga termuat aspek sosial budaya yang harus ditangani dengan benar.

Peraturan daerah merupakan salah satu perangkat yang ada untuk mewujudkannya. Untuk mewujudkan kota layak huni juga membutuhkan konsistensi.


Dia menambahkan, pengendalian pemanfaatan ruang juga perlu dilakukan.  Dengan lahan terbatas, kota harus dapat menampung hunian dan ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota. Untuk itu, lebih tepat jika pembangunan hunian menggunakan sistem vertikal. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya