BBM Subsidi Dibatasi, Apa Langkah Pemerintah?

Antrean BBM di SPBU Bandung.
Sumber :
  • VIVAnews/Iqbal Kukuh--Bandung

VIVAnews - Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terjadi di sejumlah daerah beberapa hari terakhir. Hal itu, terlihat dari banyaknya antrean kendaraan di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Pengurangan stok BBM dari depo PT Pertamina ke SPBU, membuat kegiatan penjualan BBM tidak berjalan normal. Banyak SPBU yang tidak dapat memenuhi operasional secara penuh, karena stok penjualan sudah habis sebelum waktunya.

PT Pertamina menyatakan, pihaknya memang sengaja mengendalikan penyaluran BBM bersubsidi. Hal itu, untuk mencegah tergerusnya kuota bahan bakar yang dipatok pemerintah sebanyak 46 juta kiloliter hingga akhir tahun, dari sebelumnya 48 juta KL.

Luhut Sebut Apple Bakal Investasi Besar: Tim Cook Baru Sadar RI Potensial

Terkait hal itu, Pertamina juga sudah mengantisipasi melonjaknya permintaan BBM non subsidi, karena berpindahnya konsumen yang semula membeli BBM subsidi menjadi non subsidi.
 
VP Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, mengatakan jika sebelumnya pengusaha SPBU yang membeli dahulu BBM ke Pertamina, lalu BUMN energi ini mengirimkannya. Sekarang, aturan itu dibalik.

"Sekarang kami memberi kebijakan. Kami memasok dulu ke perusahaan SPBU, baru mereka membayar. Begitu dapat laporan kosong, baru kami kirim. Langkah ini bertujuan, mengantisipasi kelangkaan BBM bersubsidi," kata Ali di Komisi VII DPR, Jakarta, Senin 25 Agustus 2014.

Dia mengatakan bahwa hingga saat ini, sisa kuota premium bersubsidi tinggal 10 juta KL dan solar sebanyak 5,5 juta KL. Keduanya harus dibagi untuk 140 hari di 5.000 SPBU seluruh kota se-Indonesia.

Pertamina memotong jatah premium bersubsidi sebanyak lima persen dan solar bersubsidi 10-15 persen. Mereka mengharapkan, langkah tersebut bisa menjaga kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 juta KL hingga akhir tahun.

"Jadi, pengurangan premium, kami sesuaikan dengan SPBU masing-masing. Misalnya, tiap hari SPBU habis 10 ribu KL, sekarang dijatah 8.500-9.000 KL. Solar yang biasanya habis 10 ribu KL, sekarang cukup 8.500-9.000 KL," kata dia.

Terkait ketersediaan BBM non subsidi, Ali mengklaim bahwa stoknya aman, yakni tersedia untuk 150 hari.

Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya, menambahkan langkah pengendalian BBM bersubsidi yang ditempuh hingga akhir tahun ini memang terpaksa dilakukan, meski memang merupakan pilihan yang sulit.

"Pilihannya ada dua. Apakah kami akan menyalurkan (BBM bersubsidi) tanpa pengendalian, sehingga pada Desember habis sama sekali dan kami kemudian menyalurkan (BBM non-PSO (public service obligation)). Atau, yang kami lakukan saat ini, yaitu menyalurkan sesuai ketersediaan kuota secara harian dan kami menyiapkan alternatif non-PSO. Ini pilihan sama-sama sulit," ujar Hanung di Komisi VII DPR, Jakarta.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI, Satya Widhya Yudha, mengatakan bahwa pengendalian BBM bersubsidi harus disertai payung hukum dan kriteria pembatasan yang jelas.

"Tanpa ada kriteria itu, masih akan ada antrean. Masih ada orang-orang yang tidak berkendaraan masih membeli BBM bersubsidi," kata Satya, ketika dihubungi di Komisi VII DPR, Jakarta.

Selain itu, Satya menyarankan, agar pola distribusi BBM bersubsidi yang selama ini terbuka menjadi tertutup dan terlebih dahulu dibuat aturannya secara jelas. Baru setelah itu disosisalisasikan dan diterapkan.

"Distribusi tertutup adalah pengguna BBM bersubsidi sudah ditentukan kriterianya seperti apa, siapa saja yang boleh menerima, dan berapa jatahnya per hari. Di luar kriteria itu, mereka akan beli pertamax," kata dia.

Kemudian, Satya mengatakan, masyarakat akan memahami aturan BBM bersubsidi, apabila aturan itu dibuat.

"Kalau sekarang, orang merasa berhak membeli BBM bersubsidi, berapa liter per hari, kendaraan apa saja. Dan, bagaimana caranya menghalangi orang yang membawa jerigen," kata dia.

Selain itu, parlemen lebih sepakat menggunakan penerapan Radio Frequency Identification (RFID), atau Identifikasi Frekuensi Radio untuk pengendalian BBM bersubsidi dan konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG).

"Kami mendukung adanya RFID. Jangka panjangnya, kita konversi BBM ke gas. Kendaraan apa saja bisa dapat BBM bersubsidi, tetapi dijatah. Jadi, kalau jatah sudah habis hari ini, ya, beli besok lagi," kata dia.

Bukan langka, tetapi dibatasi

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, menepis anggapan kelangkaan BBM seperti yang diberitakan di media.

"Jangan menggunakan kategori langka, lalu rakyat berpikir solar dan premium tak ada. Yang benar adalah BBM bersubsidi dibatasi. Yang non subsidi, berapa mau beli pun ada. Beli pertamax ada. Jangan mengesankan langka, ini tak ada BBM," kata Wacik di Komisi VII DPR RI, Jakarta.

Dia meminta masyarakat untuk menggunakan BBM non subsidi, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke atas yang dirasa mampu membeli BBM non PSO tersebut.

"Tinggal diimbau mobil mewah yang masih ngantre premium, cobalah pakai pertamax," kata dia.

Selain itu, pemerintah menegaskan, bahwa BBM tak bisa dihargai murah lagi. "Tidak mungkin bisa membuat BBM murah. BBM itu mahal, impor. Jangan Anda berpikir BBM murah. BBM premium Rp6.500 per liter itu sudah sangat murah. Pemerintah mensubsidi Rp5 ribu sudah sangat murah. Yang murah nanti gas," kata dia.

Apabila kuota BBM habis sebelum masanya, Wacik menegaskan, tidak akan mengajukan kuota lagi. Sebab, hal tersebut akan menambah beban negara.

"Kalau menaikkan kuota, nanti naik lagi subsidinya. Salah lagi kami. Kuota jangan ditambah lagi. Kami semua sepakat subsidi BBM sudah sangat tinggi. Habis uang kita untuk itu," kata dia.

Sementara itu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) mengaku bahwa pihaknya menugasi pengendalian BBM bersubsidi. Tetapi, BPH Migas menyerahkan teknis pengendalian kepada badan usaha yang diserahi tugas itu.

"Tugas BPH Migas adalah memberi penugasan badan usaha untuk menyalurkan BBM sejumlah volume tertentu. Operasionalnya diatur oleh badan usaha," kata anggota komisioner BPH Migas, Ibrahim Hasyim, ketika dihubungi VIVAnews, Senin.

Tugas tersebut, lanjut dia, memang diberikan BPH Migas untuk menjaga kuota BBM bersubsidi agar cukup hingga akhir tahun.

Ibrahim meminta, agar masyarakat tidak terlalu heboh dalam menyikapi pengendalian BBM bersubsidi itu. "Jangan panik. Masyarakat panik lalu borong-borong. Akhirnya, tidak cukup," kata dia.

Lalu, Ibrahim pun menyarankan, agar masyarakat tetap tenang dan membeli BBM bersubsidi seperti sedia kala dengan jumlah yang normal.

"Pertama, tidak perlu antre. Kalau ngantre dan kehabisan premium, ada Pertamax. Belilah Pertamax. Yang biasanya beli 10 liter, ya, beli 10 liter. Kalau kehabisan ya, balik lagi besok," kata dia.

Bacok Penjual Nasgor di Cilincing hingga Tewas, Bucing Terancam Hukuman 15 Tahun Bui

Pengusaha minta BBM subsidi naik bertahap

Ketua Pariwisata - AKAP, Organda Daerah Istimewa Yogyakarta, Hantoro, mendesak pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi untuk kepastian usaha ke depannya.

Pembatasan BBM bersubsidi yang dilakukan Pertamina dinilai justru menimbulkan iklim usaha yang tak menentu.

"Kalau memang keuangan negara berat, maka jujurlah kepada rakyat. Rakyat pasti mengerti juga," katanya, Senin.

Menurutnya, dengan ketidakjelasan distribusi BBM bersubsidi, telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan juga bagi pengusaha otobus dalam usaha ke depannya.

"Di mana-mana antrean panjang di SPBU untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Waktu yang lama ini juga merugikan pelaku usaha otobus, karena BBM 1 atau 2 liter terbuang untuk menunggu antrean BBM," ungkapnya.

Hantoro menegaskan, bagi pelaku usaha yang terpenting adalah kepastian kebijakan dari pemerintah, sehingga ke depannya ada kepastian usaha dan strategi yang harus dilakukan oleh pengusaha otobus.

"Ketika tidak ada kebijakan pasti dari pemerintah, justru akan merugikan masyarakat sendiri," imbuhnya.

Lebih lanjut, Hantoro mengatakan, pemerintah yang ada saat ini harus tegas dalam mengambil kebijakan subsidi BBM dan tidak hanya melemparkan bola panas kepada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menaikkan BBM bersubsidi.

"Dahulu memang Presiden SBY pernah menurunkan BBM, karena saat itu harga minyak dunia juga sedang turun dan itu lumrah. Namun, ketika harga minyak dunia naik dan membebani keuangan negara, seharusnya pemerintah harus berani menaikkan harga BBM," paparnya.


Antrean sangat panjang di SPBU

Kelangkaan BBM subsidi dirasakan sejumlah daerah. Di Jambi, antrean kendaraan di sejumlah SPBU bertambah panjang sejak tiga hari terakhir.

Karena antrean yang sangat panjang dan harus rela membuang waktu berjam-jam, para pemilik kendaraan lebih memilih untuk mengisi bensin ke pedagang eceran. Namun, karena langka, harga eceran pun melambung tinggi.

Sejak kemarin, harga bensin jenis premium di pedagang eceran sudah mencapai Rp15 ribu per liter dan solar mencapai Rp9 ribu per liter.

Agar aktivitas tidak terganggu dengan antrean panjang di SPBU, sebagian warga tidak punya pilihan untuk tetap mengisi BBM di pedagang eceran.

Menurut pedagang eceran, sekarang mereka pun kesulitan mendapatkan BBM. Mereka harus memodifikasi tangki kendaraaan untuk membeli BBM di SPBU untuk dijual kembali secara eceran. Akibatnya, para pedagang harus menaikkan harga.

Di berbagai ruas jalan dalam kota, dapat ditemui warga yang mendadak menjual BBM secara eceran. Mereka memanfaatkan situasi kelangkaan BBM bagi pemilik kendaraan yang tak mau mengantre lama di SPBU.

Sementara itu, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, para pengemudi truk terpaksa menginap di SPBU demi mendapatkan BBM jenis solar untuk kendaraannya. Tapi di sejumlah SPBU, BBM tak selalu ada karena jumlah pasokan juga berkurang, sehingga begitu pasokan datang, segera habis lagi.

Di SPBU Kilometer 5 Kota Banjarmasin, misalnya, antrean truk telah mengular sejak pagi. Bahkan, antrean truk sepanjang 500 meter itu memakan bahu jalan, sehingga menyebabkan kemacetan lalu lintas.

Masrani, seorang sopir truk, mengaku sudah mengantre di SPBU itu sejak malam tadi. Tapi hingga siang, belum juga kebagian jatah solar. Ia mengaku tetap akan bertahan di sana, sampai mendapatkan solar meski tak ada kepastian waktu.

Sebagian sopir lainnya memilih membeli solar di pedagang eceran meski harganya lebih mahal, yakni Rp8 ribu per liter. Bahkan, dibatasi hanya lima liter. Hal itu, mereka lakukan karena tak ada pilihan lain, sedangkan kendaraan mereka harus terisi bahan bakar agar tetap bisa bekerja.

Presenter Cantik Asal Spanyol Ini Bukan Manusia

(tvOne/Nur Muhibbatur Rahmah, Bayu Alfarizi, dan Bima Pratama/asp)

BMKG menemukan ketebalan tutupan es di Puncak Jaya, Papua, berkurang

BMKG Temukan Ketebalan Tutupan Es di Papua Berkurang 4 Meter

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melakukan pemantauan tutupan es atau gletser di Puncak Jaya pada 2009-2023.

img_title
VIVA.co.id
18 April 2024