Ancaman Perang Besar Bayangi Ukraina dan Rusia

Milisi pro Rusia di Kota Donetsk Ukraina
Sumber :
  • REUTERS/Yannis Behrakis
VIVAnews - Hubungan Rusia-Ukraina memanas, bahkan disebut sudah berada di pinggir jurang peperangan besar.  Ukraina berang dan menuduh Rusia ada di balik kekuatan pemberontak yang ingin mereka tumpas. 
Mobil Pikap Sarat Muatan Terguling di Pamekasan, Belasan Orang Terkapar di Jalan

Ancaman perang besar itu bermula saat situasi di timur Ukraina memburuk, setelah dikuasai oleh kelompok separatis sejak April lalu. Sejak saat itu, demikian dilaporkan BBC edisi Agustus 2014, kelompok separatis Ukraina telah menguasai hampir sebagian besar kota Luhansk.
Menteri PUPR: 61 Bendungan Bakal Rampung di Oktober 2024

Namun, kelompok pemberontak memang belum berhasil menguasai Bandara Internasional Luhansk. Bandara inilah yang kemudian menjadi salah satu obyek yang diperebutkan kedua kubu dalam perang sejak akhir pekan lalu.
Detik-detik Polisi Setop Ambulans Lawan Arus One Way, Ternyata Bukan Bawa Pasien Sakit

Laman berita Jerman, Deutsche Welle , edisi Senin 1 September 2014 melaporkan dalam pertempuran yang berlangsung lebih dari 24 jam itu, setidaknya tujuh orang pasukan Ukraina terbunuh.

Namun, dalam peperangan tersebut, pasukan Ukraina terpaksa mundur. Menurut laporan, kelompok separatis menyerang militer Ukraina dengan didukung beberapa tank dari Rusia.

"Di Luhansk, pasukan Ukraina menerima sebuah perintah dan menarik diri dari bandara," ungkap juru bicara militer Ukraina, Andriy Lysenko, dan dikutip harian Telegraph. 

Ukraina tak asal menuduh. Keterlibatan tank-tank Rusia dibuktikan dari potongan rekaman gambar yang disiarkan oleh stasiun televisi Pemerintah Negeri Beruang Merah itu. Di dalamnya menunjukkan tank-tank menembakkan peluru agar bisa mengambil alih bangunan bandara yang sudah rusak akibat perang minggu-minggu sebelumnya.

Koresponden stasiun berita Al Jazeera, Paul Brennan, melaporkan fungsi Bandara Internasional Luhansk penting dan strategis. "Kini, peralatan militer bisa dengan mudah dipasok melalui udara," ujar Brennan. 

Mengetahui kondisi ini, Menteri Pertahanan Ukraina Valeriy Geletey lalu menebar--entah prediksi atau ancaman--mengenai sebuah perang besar yang pecah antara militer negaranya melawan Rusia.

"Sebuah perang yang besar telah berada di dekat kita. Sebuah perang yang belum pernah disaksikan sejak Perang Dunia II. Sayang, kerugian akibat perang itu, dapat menyebabkan 10 ribu nyawa melayang," tulis Geletey di akun jejaring sosial Facebook.

Presiden Ukraina Petro Poroshenko pun kian yakin dengan keterlibatan pasukan Rusia dalam perang antara militer Ukraina dengan kelompok separatis tersebut. Ditemui ketika tengah berbicara di hadapan akademi militer di ibu kota Kiev, dia menilai keterlibatan Rusia itu justru menyebabkan kemunduran dalam proses perundingan damai.

"Agresi langsung dan terbuka telah dilakukan menuju ke Ukraina. Ini telah mengubah situasi di zona konflik dengan jalan yang radikal," kata Poroshenko.

Namun, Rusia membantah. Daripada saling mengalahkan, kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, lebih baik solusi gencatan senjata di antara militer Ukraina dan kelompok separatis segera disepakati.

Dia mengandalkan pertemuan yang berlangsung kemarin di Minsk, Belarusia. Pertemuan yang disebut Kelompok Kontak itu dihadiri oleh perwakilan kelompok separatis, militer Ukraina, dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerja sama di Eropa (OSCE). 

BBC melansir perwakilan kelompok pemberontak mengatakan kepada media Rusia bahwa mereka menginginkan status khusus untuk di area yang berada di bawah kekuasaannya. Dengan adanya status khusus itu, mereka bisa mempertimbangkan perlunya untuk memperdalam integrasi ekonomi dengan Rusia.

Menurut koresponden BBC, tuntutan itu bisa memecah belah Ukraina secara de facto. Sebab, Pemerintah Ukraina justru tengah mengincar untuk bisa menjalin kerja sama dengan organisasi Uni Eropa.

NATO siaga

Melihat ancaman yang begitu tinggi di Ukraina, Organisasi Aliansi Atlantik (NATO) siap mengerahkan 4.000 pasukan dalam dua hari ke depan, jika Rusia kembali ikut campur ke teritori Ukraina. Pasukan itu terdiri dari pasukan khusus udara, laut, dan intelijen. Mereka akan dikerahkan bersama dengan pasukan negara tuan rumah menghadapi ancaman di luar.

Harian Inggris, The Independent edisi Senin 1 September 2014,mmelaporkan pasokan peralatan militer akan disimpan di markas di timur Eropa. Namun, rencana ini baru resmi diumumkan ketika digelar pertemuan tingkat tinggi NATO di Wales, Inggris pada Kamis, 4 September 2014.

Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen dalam pernyataan resminya memang tidak menyebut Rusia sebagai ancaman dan alasan dibentuknya satuan khusus yang diberi nama "pasukan tanggap dan cepat" itu. Rasmussen mengatakan, pasukan khusus itu bisa dikerahkan ke negara mana pun di seluruh dunia.

"Ini adalah waktu di mana beberapa krisis terjadi di depan mata. Di bagian timur, Rusia secara terang-terangan ikut campur di teritori Ukraina. Sementara, di selatan, kita melihat adanya negara-negara yang rapuh dan meningkatnya ekstrimisme serta perselisihan ekstrimisme," kata Rasmussen.

Dia menambahkan, pasukan NATO ini bisa melancarkan serangan ringan hingga berat jika diperlukan. "Itu juga berarti, kehadiran NATO akan lebih nyata di bagian timur selama yang dibutuhkan. Bukan karena NATO ingin menyerang siapa pun, tetapi karena bahaya dan ancaman di sana terlihat lebih nyata. Kami akan melakukan apa pun yang diperlukan demi mempertahankan sekutu kami," imbuh Rasmussen.

Sesuai dengan Rencana Aksi Tanggap yang akan diumumkan pada Kamis mendatang, pasukan tersebut akan bermarkas di beberapa negara, yakni Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia, dan Rumania.

Namun, Kremlin melihat pembentukan pasukan khusus itu sebagai langkah provokatif. Terlebih, berdasarkan aturan bernama "Founding Act on Mutual Relations, Cooperation and Security" tahun 1997, pembentukan pasukan itu dianggap sebagai pelanggaran. Aturan itu merupakan sebuah panduan bagi kerja sama NATO-Rusia di masa depan. 

Saat ditandatangani pada 27 Mei 1997 di Paris, kedua pihak berjanji tidak melihat satu sama lain sebagai musuh. NATO saat itu berjanji kepada Pemerintahan mantan Presiden Boris Yeltsin tidak akan memiliki pasukan permanen seperti yang tertuang dalam Pakta Warsawa.

Namun, mereka membantah pembentukan pasukan itu dianggap melanggar pakta yang ada. NATO berdalih, pasukan itu akan tetap disiagakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut seorang pejabat senior yang dikutip harian The Independent, pembentukan pasukan khusus itu telah melalui pertimbangan matang.

"Kami telah mempertimbangkan berbagai masukan hukum dan keputusan ini tidak melanggar aturan itu. Tidak akan ada pasukan permanen di markas. Contoh lainnya, tidak akan pasukan yang ditugaskan dengan membawa serta keluarga mereka," ujar pejabat tadi.

Berlebihan

Pernyataan Menteri Pertahanan Ukraina sudah didengar oleh Rusia. Kementerian Luar Negeri Rusia mengaku terkejut dengan status Geletey di media sosial. 

Dilansir dari kantor berita RIA Novosti, perwakilan Kemenlu Rusia justru menganggap pernyataan Geletey berlebihan. Dengan berkata demikian, Geletey dinilai justru melibatkan warga Ukraina ke dalam perang sipil. 

"Moskow tentu saja telah mengetahui pernyataan yang dibuat oleh Menhan Ukraina Valeriy Geletey, yang mengklaim operasi untuk membebaskan Ukraina Timur dari teroris telah berakhir. Lalu, dia mengumumkan awal perang patriotik besar yang akan mengakibatkan puluhan ribu orang tewas. Pernyataan Menhan ini butuh studi yang cermat, walaupun tidak perlu melibatkan ahli militer," tulis Kemenlu Rusia.

Sementara, Presiden Vladimir Putin mengingatkan negara-negara barat agar ikut meminta pertanggungjawaban militer Ukraina. Sebab, militer Ukraina lah yang malah menembakkan peluru ke arah warga sipil secara membabi buta. 

"Kelompok separatis telah terprovokasi dengan kehadiran pasukan Ukraina yang berada di sekitar kota-kota besar. Mereka menembakkan peluru ke arah pemukiman warga. Justru hal ini yang sayangnya, di banyak negara, termasuk Eropa, mereka memilih untuk tidak membahasnya," ujar Putin dalam kunjungannya ke bagian timur Rusia.

Sanksi baru

Melihat Rusia yang masih terus ikut campur dalam teritori Ukraina, para pemimpin negara anggota Uni Eropa mengancam akan menjatuhkan sanksi baru kepada Rusia. Kesepakatan ini diambil dalam pertemuan para pemimpin negara anggota UE pada akhir pekan lalu.

Di tengah-tengah penunjukkan Presiden Dewan UE yang baru, mereka sepakat untuk memberikan waktu selama satu pekan bagi Rusia agar mundur dari krisis di Ukraina. Jika tidak, maka sanksi baru akan segera dijatuhkan UE.

"Dewan Eropa mengatakan siap untuk mengambil langkah penting sesuai dengan perkembangan situasi di lapangan," ungkap mantan Presiden Dewan UE Herman Van Rompuy.

Menurut anggota negara UE, sanksi ini dijatuhkan karena menurut laporan NATO pada Kamis pekan lalu yang menyebut Rusia telah mengirimkan 1.000 pasukan ke timur Ukraina. Pasukan itu dikirim untuk membantu kelompok separatis melawan militer Ukraina. Selain itu, NATO memiliki bukti selain pasukan, Rusia turut mengirimkan sistem pertahanan udara, tank, artileri, dan kendaraan lapis baja.

Menurut laporan Deutsche Welle dari dokumen yang beredar di pertemuan UE pekan lalu, sanksi yang diberikan kepada Rusia masih terbatas di bidang ekonomi. Sebelumnya, sebanyak 90 orang Rusia yang terkait krisis Ukraina telah dibekukan aset dan dikenai larangan berkunjung. Kebijakan serupa, tulis DW, akan berlaku bagi orang-orang yang terkait 90 individu nama tadi.

Sementara Pemerintah Australia pada Senin kemarin telah menjatuhkan sanksi bagi Rusia. Dilansir dari laman Russia Today, Perdana Menteri Tony Abbott menyasar larangan kerjasama di bidang migas, keuangan, dan pertahanan.

Artinya, setelah sanksi itu dijatuhkan, Abbott menyebut tidak akan ada lagi ekspor senjata dan produk migas ke Rusia. Selain itu, bank milik Pemerintah Rusia tidak akan diizinkan memiliki akses ke pasar modal Australia. Tidak ada pula perdagangan dan investasi di Crimea.

Sanksi dari Australia ini, kata Abbott, akan berlaku secara efektif terhadap 63 warga Rusia dan Ukraina dan 21 organisasi dan perusahaan. Artinya, total sudah ada 113 individu dan 32 entitas yang dibidik oleh Pemerintah Negeri Kanguru.

Menanggapi sanksi tersebut, Putin mengatakan pada akhirnya, negara-negara barat yang memberlakukan kebijakan itulah yang akan rugi besar.

"Saya berharap akal sehat lah yang lebih diutamakan dan kami akan bekerja secara normal dengan gaya modern. Dengan tidak memberlakukan sanksi apa pun, baik kami atau rekan kami tidak akan mengalami kerugian apa pun," ungkap Putin.

Dengan sanksi ini, Amerika Serikat dan UE membuat Rusia terpaksa mengganti fokus kerja samanya ke negara-negara timur. Salah satunya China.

Wakil Perdana Menteri China Zhang Gaoli secara terang-terangan menolak untuk memberlakukan sanksi bagi Rusia. Dalam pertemuan dengan Putin pada Senin lalu, Zhang bahkan mengaku siap mengompensasikan apapun yang tidak diperoleh Rusia akibat sanksi tersebut.

Nyawa sipil

Dalam konflik militer ini, tidak ada yang paling menderita dibandingkan warga sipil. Data dari Komisi Tinggi PBB mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikutip laman Russia Today, setidaknya ada 2.593 orang yang telah terbunuh dalam peperangan hingga pertengahan April lalu.

"Angka korban jiwa mendekati 3.000 jiwa jika kami juga memasukkan 298 korban tewas pesawat Malaysia Airlines MH17 yang jatuh," ungkap Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk HAM, Ivan Simonovic.

Untuk mencegah lebih banyak jatuhnya korban jiwa, Komisioner Tinggi PBB untuk HAM lainnya, Navi Pillay menyerukan agar kedua belah pihak meletakkan senjata.

"Ada kebutuhan mendesak untuk mengakhiri peperangan dan tindak kekerasan di bagian timur, sebelum lebih banyak korban jiwa yang berisiko atau terpaksa mengungsi atau harus menghadapi peristiwa sulit di dalam zona konflik," ungkap Pillay.

Dia juga menyerukan pasukan militer yang tengah bertempur di timur Ukraina sebaiknya tidak menyasar warga sipil. Sebab, di lokasi tempat mereka berperang ada pemukiman padat penduduk.

Menurut laporan, separuh dari penduduk di kota Luhansk dan Donetsk, telah mengungsi. Namun, proses evakuasi bukan perkara mudah. Karena tidak semua warga yang ingin mengungsi bisa melakukannya. Beberapa, bahkan tewas ketika berupaya kabur dari lokasi peperangan. 

"Seharusnya, koridor aman dibangun oleh pasukan Ukraina untuk memungkinkan penduduk mengungsi dari kota-kota yang masih dijadikan lokasi perang. Sementara, laporan yang selama ini diterima, warga sipil yang menggunakan koridor tersebut malah ikut terbunuh atau terluka," kata perwakilan kantor PBB.

BBC melaporkan, sulit untuk mendeteksi jumlah pasti korban, Banyak warga yang tewas, dimakamkan secara tidak layak. Mereka turut melansir sebanyak 155.800 telah kabur ke beberapa kota di Ukraina. Sebanyak 188 ribu mengungsi ke Rusia. (ita)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya