Intrusive Ads, Iklan Serobot ala Operator-operator Telekomunikasi

Contoh Iklan Interstitial
Sumber :
  • idEA
Pendaftaran Petugas PPK Dimulai, KPU Depok Akan Rekrut 55 Orang

VIVAnews – Protes atas iklan mobile (lewat Internet di ponsel/gadget) di tanah air telah berlangsung lama. Bahkan ada yang mengatakan iklan seperti ini tidak akan bertahan lama jika dikaitkan dengan layanan mobile. Sebut saja iklan melalui SMS, yang pernah digelontorkan operator telekomunikasi beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya layanan itu "ditertibkan" pemerintah pada Oktober 2011.

Meski telah meminta izin pelanggan, iklan mobile tetap tidak bisa eksis karena banyak pelanggan yang menolak memberikan izin penerimaan SMS berbau iklan. Dengan gimmick pun, masyarakat tetap menolak. Jadilah mobile advertising sebagai layanan ‘musuh’ pengguna dan membuat operator melakukan segala cara untuk bisa menerobos pasar.

Nasdem dan PKS Diskusi Ikut Koalisi atau Oposisi, Surya Paloh: Masih Dikaji, Belum Final

Salah satu cara yang saat ini diperdebatkan adalah dengan menggunakan dua layanan, interstitial ads dan Off-deck ads. Kedua layanan inilah yang disebut sebagai Intrusive Ads, atau iklan serobot. Layanan ini diperdebatkan karena menyusupkan iklan di antara jeda loading saat pengguna ingin mengunjungi sebuah situs.

Pemilik situs, yang kebanyakan tergabung dalam Indonesian Digital Association (IDA) beserta Indonesian e-Commerce Association (idEA) merasa perusahaan telekomunikasi telah menyusupi iklan ke dalam situs milik mereka demi keuntungan sepihak. Konsumen pun banyak yang mengeluh karena akses internet semakin lambat. 

Pernah Jadi Puteri Indonesia, Angelina Sondakh Ungkap Kenangan dengan Mooryati Soedibyo

Di sisi operator, mereka menganggap jaringan tersebut adalah ‘jalanan pribadi’ yang bisa dimanfaatkan semau mereka. Bahkan mereka tidak menganggap layanan iklan itu sebagai penyebab lemot. Justru mereka memberikan ‘bonus’ kepada pelanggan agar tidak bosan menunggu proses loading yang lama.

Pasar Menggiurkan

Dengan jumlah pengguna smartphone yang cukup banyak, tidak heran jika mobile advertising menjadi pasar yang menggiurkan. Sayangnya, belum ada metode yang tepat untuk menerobos pasar mobile iklan di Indonesia. Segala yang berhubungan dengan iklan langsung dijauhi oleh para pengguna.

Laporan Redwings Asia Juni lalu menunjukkan jika pertumbuhan iklan digital di Indonesia masih di posisi single digit. Bahkan diprediksi hingga 2018 pun pertumbuhannya stagnan. 2013 pendapatan iklan digital di Indonesia mencapai US$300 juta atau tumbuh 3,1 persen.

Pada 2014  diperkirakan omzet iklan digital bisa mencapai US$500 juta atau naik 5,1 persen. Pada 2015 diperkirakan mencapai US$800 juta. Pada 2016 diperkirakan mencapai US$1,2  miliar, dan di 2017 menjadi U$1,6 miliar atau tumbuh 8,8 persen. Belanja iklan di Indonesia untuk semua lini media hingga tahun 2017 tumbuh 15-17 persen per tahun. Saat ini iklan digital hanya mengambil 5 persen dari total belanja iklan. Meski masih single digit, tetap saja pasarnya menggiurkan.

Sayangnya, dua operator, Telkomsel dan XL Axiata, telalu kreatif dengan memanfaatkan jeda loading situs dengan menyisipkan iklan. Penyerobotan ‘lahan’ ini dianggap tidak sesuai dengan konsep kebijakan Network (Net) Neutrality yakni memmberikan akses jaringan Internet secara terbuka dan non-discriminatory kepada semua pengguna/perusahaan demi kelancaran dan kemajuan bisnisnya.

“Penayangan iklan ini dilakukan tanpa izin dan kerjasama dengan pemilik situs. Padahal pengguna mempersepsikan pemilik situs atau media online sebagai pihak yang menayangkan sehingga dianggap bertanggung jawab atas semua iklan tersebut.

Pertimbangan lain, beberapa kali didapati isi iklan yang kurang pantas dan tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Isi iklan juga dapat menimbulkan iklim persaingan yang tidak baik di mana iklan dari sebuah perusahaan dapat ditayangkan di situs milik kompetitor langsungnya,” kata Ketua Umum idEA, Daniel Tumiwa.

Protes terhadap praktik iklan ini didukung oleh banyak pihak. Intrusive ads juga dianggap sebagai hal yang merugikan bagi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Menurut APJII, praktik tersebut tidak hanya merugikan pemilik situs tapi juga konsumen.

"Domain dan IP yang ada di belakang situs itu, merupakan milik publisher situs. Jadi itu adalah hak dari pemilik situs untuk pemanfaatannya, baik untuk sosial maupun bisnis sekalipun," ujar Sekjen APJII, Sapto Anggoro.

Menurut Sapto, siapa pun tidak memiliki hak untuk menyerobot tanpa permisi, atau memanfaatkannya hanya karena teknologi yang memungkinkan. APJII menganggap praktik ini sebagai sesuatu yang tidak etis dan mengarah ke kejahatan.

Bahkan, dari segi hukum, idEA menganggap hal ini bertentangan dengan Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan dari sisi periklanan hal ini juga diatur pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Praktik ini juga bisa dikategorikan hijacking atau hostile redirecting kerana operator mengarahkan pengguna ke alamat operator terlebih dahulu untuk menghasilkan pendapatan iklan atau keuntungan sepihak,” kata Daniel. 

Belum ada gerakan berarti dari XL maupun Telkomsel untuk menanggapi kasus ini meski diskusi internal sedang dilakukan. Mereka juga mengaku akan membuka diskusi dan peluang kerja sama. Padahal menurut idEA, proses diskusi telah dilakukan selama setahun belakangan.

BRTI sebagai regulator dianggap bisa menjadi penengah untuk menyelesaikan kasus ini. Komisioner BRTI, Nonot Harsono, mengatakan mediasi keduanya akan dilakukan dalam waktu dekat.

Win-win Solution

Pengamat telekomunikasi dari Indotelko Forum, Doni Darwin, mengatakan sebaiknya kedua belah pihak, baik pemilik situs dan operator seluler (XL Axiata dan Telkomsel) mau duduk bersama mencari solusi. Iklan serobot itu muncul, menurut dia, karena operator tidak mau terus menerus menjadi dumb pipe dan mulai bermain sebagai OTT (over the top).

“Hal yang menjadi masalah adalah belum ada model bisnis disepakati antara pemilik situs dan operator soal pola iklan tersebut. Operator berpandangan jaringan punya dia, sehingga kala dia bermain sebagai Publisher, mereka merasa berhak menayangkan iklan. Sebaiknya, dipertimbangkan pola revenue sharing agar keduanya merasa tak saling dirugikan.,” katanya.

Sayangnya, lanjut ini, persoalannya tidak akan selesai sampai di sini. Pasalnya, terkait intrusive ads, pihak yang paling dirugikan adalah pelanggan. Dengan kata lain, koneksi lelet dan gangguan iklan menjadikan pengguna harus memiliki dua kali kesabaran.

“Karena kualitas internet yang diberikan operator seluler belum bagus. Kita dipaksa melihat iklan sisipan (karena koneksi lambat) dan ketika malah mau ke situsnya makin lama pula. Sementara, inventory dalam hal ini adalah pelanggan yang dijual oleh operator seluler ke pemasang iklan,” katanya.

Ia menyarankan, setidaknya ada beberapa solusi yang bisa dilakukan operator jika mereka bersikeras mempertahankan instrusive ads tersebut.

“Perbaiki kualitas layanan internet. Lalu, tawarkan option in atau out dalam paket berlangganan data. Secara tidak langsung, opsi ini merupakan pernyataan persetujuan dari pelanggan akan adanya iklan saat mereka menggunakan internet mobile, sehingga mereka tidak kaget nantinya,” ujarnya.

Terakhir, kata dia, berbagi revenue-lah dengan penyedia situs. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya