Sukseskah Gempuran Koalisi AS Berantas ISIS?

Pengungsi Kurdi dari Suriah mengungsi ke wilayah Turki, Sabtu, 20 September.
Sumber :
  • Reuters

VIVAnews - Koalisi yang disebut Amerika Serikat (AS) melibatkan negara-negara Arab, telah melancarkan serangan pertama di Suriah, Selasa 23 September 2014. Tujuannya: membumihanguskan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Sedikitnya 20 target menjadi sasaran pesawat tempur serta rudal-rudal Tomahawk yang ditembakkan dari sebuah kapal induk AS. Sepuluh negara Arab disebut ikut koalisi AS itu.

Gelar Operasi Antiteror, Polisi Kanada Lumpuhkan Tersangka

Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, dan Qatar disebut-sebut ada di belakang barisan AS. Kecuali Qatar yang disebut hanya berperan mendukung serangan udara, belum jelas betul apa peran negara-negara Arab lainnya.

Serangan koalisi di Suriah itu digelar setelah Kongres AS memberikan otorisasi pada Obama, pekan lalu. Obama mendapat persetujuan untuk menjalankan rencananya memberikan pelatihan bagi Tentara Pembebasan Suriah (FSA), kelompok pemberontak yang selama ini didukung Barat untuk melawan pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad di Suriah.

ISIS Klaim Rampas Senjata Milik Tentara AS

ISIS memang menjadi ancaman bagi negara-negara sekutu AS di kawasan itu. Berambisi mendirikan kekhalifan Islam, ISIS terus memperluas kekuasaannya di Timur Tengah.

Sejauh ini, ISIS telah menguasai persenjataan dalam jumlah besar dan sumber keuangan yang signifikan. Menjadikan mereka terlihat seperti negara bentukan daripada sekedar organisasi terorisme.
Militer Mesir Klaim Tewaskan Pentolan ISIS di Sinai

Namun, Obama jauh-jauh hari sudah menyebutkan, AS tidak berniat mengirimkan lagi pasukan darat. Dia juga bersikeras bahwa perang melawan ISIS yang berpotensi membutuhkan waktu panjang, harus melibatkan negara-negara regional.

Serangan koalisi memang menandai dimulainya perang terhadap ISIS di Suriah melibatkan negara regional. Tapi apakah bisa dinilai sebagai titik terang bagi keberhasilan rencana Obama dalam perang melawan ISIS?

Kekuatan koalisi

Sebanyak 10 negara Arab disebut terlibat dalam koalisi melawan ISIS, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, dan Qatar.
Sementara kekuatan AS yang telah dilibatkan di lapangan, tidak kurang dari 1.000 staf konsultan militer, kapal induk pengangkut 65 pesawat tempur termasuk jet F/A-18, helikopter Apache, dan pesawat tanpa awak (drone).

Prancis yang sebelumnya menyebut akan terlibat dalam serangan udara dengan mengirimkan pesawat tempurnya, Selasa, 23 September, berubah pikiran dengan mengumumkan hanya menggelar serangan udara di Irak, bukan di Suriah.

Jerman mengirimkan 40 staf konsultan dan persenjataan bagi pejuang suku kurdi, Australia mengirimkan 600 staf konsultan bersama 10 jet tempur F/A-18. Kegagalan kampanye militer AS di Afghanistan, membuat AS tidak akan lagi mengirimkan pasukan daratnya.

Perang melawan ISIS akan diserahkan pada sekutu AS di Timur Tengah. Namun, hal ini justru memunculkan keraguan soal siapa sekutu yang diharapkan AS? Dapatkah mereka menyusun kekuatan untuk melawan ISIS?

Di Irak, pasukan pemerintah masih membutuhkan pelatihan dan senjata. Sementara di Suriah, pasukan pemerintah setempat pun tak bisa jadi pilihan AS untuk diajak kerja sama. Hal ini menyusul keinginan AS untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.

AS menyebut rencana pelatihan kelompok pemberontak moderat Suriah, merujuk pada FSA, yang didukung Barat saat kelompok itu memulai pemberontakan terhadap pemerintahan Assad beberapa tahun silam.

Sebagian anggota DPR AS yang menentang rencana Obama itu ragu dengan kemampuan maupun komitmen FSA untuk berperang bagi AS melawan ISIS. Rencana Obama memberi pelatihan juga dinilai sulit dilakukan dalam waktu singkat.

Sehingga sejumlah anggota DPR AS meyakini dana ratusan juga dolar yang dianggarkan dalam rencana Obama, hanya alasan untuk mendanai pengiriman senjata bagi FSA, yang dikhawatirkan mereka bisa jatuh ke tangan yang salah.

Lubang besar

Editor BBC untuk Timur Tengah, Jeremy Bowen, dalam artikelnya menyebut ada lubang besar dalam rencana Obama, terutama tentang elemen pasukan yang akan digunakan AS dalam berperang di garis depan melawan ISIS.

Di Irak dan Suriah ada para pejuang Kurdi yang terbukti efektif melawan ISIS. Apalagi jika mereka mendapatkan pelatihan dan persenjataan yang dibutuhkan. Juga ada milisi Syiah yang dilatih Hezbollah dan terkenal tangguh.

Kedua pasukan itu punya "tanggung jawab" besar untuk berperang melawan ISIS, karena kehidupan mereka yang secara langsung terancam dengan keberadaan ISIS. Namun kerja sama dengan mereka akan menjadi sulit mengingat kemungkinan penolakan dari negara-negara Arab.

Bowen menceritakan pengalamannya di Damaskus bertemu dengan para pejuang FSA. "Mereka memiliki pandangan yang moderat, terutama jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok jihad. Tapi para pejuang (FSA) itu juga religius," katanya.

Mereka, kata Bowen, tidak masalah jika kemudian membangun koalisi dengan para jihadis untuk melawan musuh yang sama. "Para pejuang itu juga kerap kali berpindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya," tambah Bowen.

Nah, lubang besar yang dia maksud adalah perspektif AS yang tidak ingin senjata dan orang yang mereka latih, akhirnya malah bergabung dengan Al-Qaeda atau kelompok radikal lainnya. Sebab ada fakta di lapangan bahwa hubungan para pemberontak di Suriah sangat cair.

Moderat tidak menjadikan mereka kemudian dengan mudah memilih berperang untuk AS, melawan kelompok pemberontak lainnya. "Membentuk pasukan seperti yang AS mau mungkin mustahil," jelas Bowen.

Sementara di lapangan, ISIS membawa pesan yang kuat dan bergema di kepala banyak orang, terutama orang muda yang teralienasi dari komunitasnya.

Di sisi lain, perang telah menciptakan kehancuran, korban jiwa yang tak terhitung, dan pengungsian. Kondisi ini merupakan situasi yang tepat untuk menciptakan keterasingan.

Dilema pun menghadang negara Arab, seperti Arab Saudi dan UAE. Mereka memang memiliki peralatan tempur yang kuat yang didapat dari Inggris dan AS.

Namun, negara-negara Arab diyakini berbagi kekhawatiran yang sama. Bahwa, menghancurkan ISIS yang juga merupakan pejuang Sunni,  akan menyisakan dendam pada warga mereka sendiri yang saat ini telah bergabung dalam ISIS.

Banyak pengamat AS mempertanyakan tujuan Obama menghancurkan ISIS, karena mereka menilai hal itu sulit dilakukan. Menurut mereka kelompok-kelompok militan di Timur Tengah mudah untuk menghilang, seperti Al-Qaeda di Irak selama masa pendudukan AS.

Pada akhirnya kelompok itu akan muncul kembali dengan bentuk yang berbeda. Kelompok-kelompok militan seperti ISIS tidak membutuhkan banyak orang untuk menciptakan masalah di luar perbatasan. Mereka hanya mencari kader yang disiplin dan siap mengorbankan diri.

Itu juga yang menjadi alasan mengapa ISIS diperlakukan sangat hati-hati oleh AS dan negara-negara Arab. Perang melawan ISIS, bisa menjadi hanya awal dari sebuah babak baru yang panjang dari lebih berdarah di Timur Tengah.

Pemerintah Suriah

Kompleksitas masalah pembungkaman ISIS juga diperparah oeh posisi Suriah. Pengamat menyarankan AS turut melibatkan pemerintah Suriah serta Rusia dan Iran.

Menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad di Suriah bersamaan dengan perang melawan ISIS dikhawatirkan semakin memperkeruh situasi. AS dan para sekutunya diminta berkaca pada intervensi mereka di Libia.

Hingga saat ini, kerusakan yang menjadi dampak keruntuhan rezim Moammar Kadhafi di Libia masih terlihat dengan jelas. Berbagai kelompok militan yang dimanfaatkan AS untuk melawan rezim Kadhafi kini saling berebut kekuasaan.

Menggulingkan pemerintahan Assad sebelum menuntaskan keberadaan ISIS, dinilai pengamat bakal menciptakan situasi lebih buruk dari Libia saat ini. Barat sebelumnya menolak mengakui peringatan Assad akan ancaman kelompok pemberontak radikal.

Namun kini Barat berubah pandangan atas kelompok radikal seperti Front Al-Nusra di Suriah. Begitu juga para pejuang kurdi yang sebelumnya dimasukkan sebagai kelompok teroris oleh AS. Faktanya hanya pejuang Kurdi yang mampu menghambat gerak laju ISIS di Irak.

Mantan Wakil Menteri Luar Negeri AS PJ Crowley dalam artikelnya di BBC, mengatakan Obama mengakui bahwa sukses melawan ISIS di Irak memerlukan pemerintahan yang efektif dan inklusif di Baghdad. Oleh karena, kata Crowle, solusi yang sama semestinya juga diakui Obama untuk Suriah.

Dunia kecam ISIS

Intelijen AS menyebut ISIS memiliki setidaknya 35.000 militan yang tersebar di Irak dan Suriah. Taktik brutal yang dijalankan ISIS, termasuk eksekusi massal dan pemenggalan anak-anak dari kelompok agama dan etnis minoritas, telah menuai.

Aksi mereka terakhir adalah mengekseksi sejumlah warga asing yang menjadi sandera dan merekamnya. Video itu kemudian diunggah ke jejaring sosial dan dialamatkan kepada AS dan sekutunya.

Mereka yang jadi korban kekejaman ISIS ini, antara lain dua jurnalis AS, yakni Jurnalis Inggris, juga ikut jadi korban eksekusi biadab ISIS. 

ISIS ingin mendirikan kalifah, sebuah negara yang dipimpin seorang pemimpin religius berdasarkan Syariah Islam. Sehingga pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi, oleh para pendukungnya dijuluki Kalifah Ibrahim.

Bukan hanya di Irak dan Suriah, ISIS juga telah menyatakan bakal memperluas kekuasaannya ke Yordania dan Lebanon. Mereka mendapat dukungan militan muslim radikal dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Pengamat menyebut jejak ISIS bermula pada Abu Musab al-Zarqawi dari Yordania, yang mendirikan Tawhid wa al-jihad pada 2002, atau setahun setelah invasi AS di Irak. Zarqawi membentuk Al-Qaeda di Irak (AQI) bersama dengan Osama bin Laden.

Pada perjalanannya, taktik yang dijalankan Zarqawi dianggap terlalu ekstrem oleh para pemimpin Al-Qaeda lain. Setelah kematian Zarqawi pada 2006, AQI membuat organisasi payung yang disebut Negara Islam di Irak (ISI).

Kekuatan ISI sebelumnya melemah dengan berdirinya Dewan Sahwa oleh suku-suku Arab Suni yang menolak brutalitas ISI. Tapi setelah berkuasa pada 2010, Baghdadi membangun kembali kekuatan ISI.

Dukungan AS pada kelompok-kelompok militan yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Suriah, pada 2013, turut membantu Baghdadi membangun kekuatannya. ISI pun turut bergabung bersama kelompok radikal lain di Suriah, seperti Front Al-Nusra.

Pada April 2013 Baghdadi mengumumkan penggabungan pasukannya di Irak dan Suriah, serta mendeklarasikan berdirinya ISIS. Pemimpin AL-Nusra dan Al-Qaeda menolak langkah Baghdadi. Tapi para pejuang dari kedua kelompok radikal itu terlanjur setia pada Baghdadi dan membantunya memperkuat posisi di Suriah.

ISIS berhasil menciptakan kekacauan dalam pemerintahan Irak, dengan timbulnya kebuntuan politik antara pemerintahan Irak yang didominasi kelompok Syiah dan kelompok minoritas Suni Arab.

Saat ISIS menduduki Mosul, Juni 2014, tidak ada perlawanan berarti dari militer Irak gara-gara kebuntuan politik yang terjadi. Minoritas Suni Irak bahkan mengancam akan mendukung ISIS.

Perdana Menteri (PM) Irak Haider Al-Abadi, yang menjabat dua bulan lalu untuk menggantikan Nur Maliki, diharap dapat menyelesaikan konflik dengan membentuk pemerintahan yang inklusif, memberi peran lebih besar bagi kubu Suni dan Kurdi. (ita)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya