BDF, Rayakan Demokrasi atau Pesta Perpisahan?

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sumber :
  • REUTERS/Bazuki Muhammad

VIVAnews - Kebutuhan untuk demokrasi dirasakan oleh banyak negara. Walau komitmen telah dibuat, faktanya masih dibutuhkan upaya lebih besar dalam kerja sama internasional untuk memperkuat institusi demokrasi di semua tingkatan.

Demikian pendapat pemerintah Indonesia, saat menginisiasi digelarnya Forum Demokrasi Bali (BDF) di Bali, 10-11 Dember 2008 silam, dimaksudkan sebagai arena pertemuan tingkat tinggi untuk membahas dan berbagi pengalaman tentang demokrasi di negara masing-masing.

Walau ditujukan bagi para kepala negara dan pemimpin pemerintahan, faktanya banyak negara lebih memilih mengirimkan perwakilan setingkat menteri atau pejabat lebih rendah. Perwakilan yang hadir akan memaparkan pengalaman negara mereka dalam implementasi demokrasi tanpa membuka kesempatan untuk mendiskusikannya.

BDF ke VII yang bakal digelar lebih cepat dari sebelumnya, pada 10-11 Oktober, mengangkat tema Perkembangan Arsitektur Demokratik Regional: tantangan pembangunan politik, partisipasi publik, dan perkembangan ekonomi-sosial di abad ke-21.

Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik (IDP) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Esti Andayani mengatakan ada 51 negara yang diundang namun baru tiga kepala negara asing yang dipastikan hadir yaitu Presiden Filipina Benigno Aquino, Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah.

Selain pertemuan kepala negara atau pejabat tinggi pemerintahan, penyelenggaraan BDF ke VII sebenarnya akan turut disertai dengan Forum Masyarakat Sipil Bali (BCSF) yang ditujukan bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) untuk pertama kalinya.

Namun jelang dibukanya penyelenggaraan BDF terakhir dalam masa masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu,11 dari 14 ormas yang diundang secara tegas menolak hadir dalam penyelenggaraan BDF.

Para penggiat demokrasi itu menilai BDF hanya merupakan acara seremonial tanpa ada manfaat yang berarti bagi perkembangan demokrasi. Penolakan mereka sekaligus memicu pertanyaan tentang apa tujuan dan manfaat BDF yang telah didapat bagi Indonesia.

Pertanyaan lain terkait penyelenggaraan BDF ke VII adalah waktu yang dipercepat. Pada enam kali penyelenggaraan sebelumnya, BDF selalu digelar pada Desember. Sementara untuk kali ini BDF digelar sebelum pelantikan presiden terpilih yang baru atau resmi berakhirnya masa jabatan SBY, 20 Oktober.

Apa itu BDF

BDF disebut bertujuan mendorong dan memperluas kerjasama kawasan dan internasional dalam hal perdamaian dan demokrasi melalui langkah dialog, berbagi pengalaman serta langkah terbaik menjalankan prinsip persamaan, saling menghormati dan memahami.

Esti, September lalu, mengatakan BDF merupakan satu-satunya kegiatan diskusi dan saling berbagi informasi antar negara di kawasan Asia Pasifik. Menurutnya, tidak ada kegiatan serupa di kawasan lain, termasuk Eropa.

Senada dengan Esti, juru bicara SBY bidang hubungan luar negeri Teuku Faizasyah, menyebut BDF menjadi satu-satunya forum yang bersifat inklusif di kawasan Asia Pasifik untuk saling berbagi mengenai demokrasi. "Banyak negara yang mengakui forum ini membawa kontribusi positif," ujar Faiza.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, pada 2013,  mengatakan BDF merupakan kesempatan bagi negara-negara untuk bertukar pikiran tentang demokasi. Dia mengklaim BDF bermanfaat karena tidak adanya batasan asumsi bahwa demokrasi di satu negara lebih baik dari negara lainnya.

BDF pertama kali digelar pada 10-11 Desember 2008, dengan tema "Membangun dan Mengkonsolidasikan Demokrasi: Sebuah Agenda Strategis untuk Asia." Sebanyak 32 negara partisipan dan delapan negara yang bertindak sebagai pengamat hadir dalam BDF ke-I.

BDF terbesar disebut pada 2011 dengan 11 pemimpin negara memastikan hadir, antara lain Presiden Afghanistan Hamid Karzai, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Korsel Lee Myung-bak dan mantan Perdana Menteri Australia Julia Gillard.

Perasaan Shin Tae-yong Usai Timnas Indonesia U-23 Singkirkan Korea Selatan

Ada 54 negara Asia Pasifik yang menjadi anggota BDF, yaitu: Indonesia, Afghanistan, Armenia, Australia, Azerbaijan, Bahrain, Banglades, Bhutan, Brunei Darussalam, Kamboja, China, Kepulauan Fiji, Georgia, India, Iran, Irak, Jepang, Yordania, Kazakhstan, Kiribati, Korea Selatan, Kuwait, Kirgiztan, Laos, Lebanon, dan Malaysia.

Maladewa, Mongol, Myanmar, Nepal, Selandia Baru, Oman, Pakistan, Palau, Palestina, Papua Nugini, Filipina, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Singapura, Kepulauan Solomon, Sri Lanka, Tajikistan, Thailand, Tonga, Timor Leste, Turki, Turkmenistan, Uni Emirat Arab, Uzbekistan, Vanuatu, Vietnam, serta dan Yaman.

Laman Kementerian Luar Negeri Ri menyebut BDF bukan hanya konsep, sehingga untuk menindaklanjuti hasil dari pertemuan BDF telah dibentuk Institut untuk Perdamaian dan Demokrasi (IPD). Lembaga itu bertanggung jawab dalam implementasi hasil-hasil BDF.

Tema yang dipilih dalam setiap penyelenggaraan BDF diklaim sangat dekat dengan kebutuhan masyarakat internasional, untuk menjawab berbagai pertanyaan seputar pemahaman demokrasi yang banyak variasinya.

Berbagi

Penyelenggaraan BDF pada 2014, menurut Esti, akan menjadi rangkuman dari penyelenggaraan BDF sebelumnya. Dia menyebut untuk kali ini Indonesia akan berbagi cerita tentang kesuksesan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden, pada April dan Juli lalu.

Dikatakan Esti, pujian telah berdatangan bagi Indonesia karena sukses menggelar pemilu. "Mereka memang mengaku sempat khawatir karena ada keberatan atas hasil penghitungan suara. Tapi pada akhirnya kerikil itu bisa kita lalui dengan baik," kata Esti, merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, Indonesia dapat memperlihatkan pada dunia, bagaimana proses pemilu hingga penyelesaian konflik dapat dilihat secara transparan oleh masyarakat. Itu dinilainya sebagai bukti bahwa mesin demokrasi di Indonesia sudah berjalan.

Kesuksesan pesta demokrasi di Indonesia, kata Esti, kerap dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara Asia Tenggara lain seperti Myanmar dan Thailand. Disebutnya Myanmar terus memperlihatkan kemajuan sebagai negara yang semakin terbuka, sementara Thailand mengalami kemunduran demokrasi.

"Kita tak bisa mengatakan tidak ada demokrasi di Thailand. Ada proses-proses, ukuran standarnya. Kita bisa menyampaikan hal tersebut. Kita biarkan Thailand berproses. Melalui BDF ini negara peserta akan berdiskusi dan mendapatkan informasi proses demokrasi ideal itu seperti apa," ucap Esti.

Pesta Perpisahan?

Di luar kerangka teoritis, penyelenggaraan BDF pada 10-11 Oktober atau satu bulan lebih cepat dibandingkan BDF ke-VI yang digelar November. Artinya, Presiden SBY masih bisa menjadikan BDF Ke-VII sebagai acara internasional terakhirnya sebelum tampuk kepemimpinan dialihkan, pada 20 Oktober.

"Ini kan forum yang dibuat pemerintah RI untuk memamerkan demokrasi di Indonesia," kata Direktur Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azar, Kamis 9 Oktober. Tanpa ukuran yang jelas, kata dia, sulit melihat apa capaian yang telah diperoleh dari pelaksanaan BDF.

Tanpa hasil, artinya BDF hanya akan menjadi acara kumpul-kumpul berbiaya tinggi. Dikatakan Azhar, pada akhirnya akan ada pertanyaan tentang keputusan dan kesimpulan yang sudah dihasilkan, apa manfaat yang diperoleh masyarakat dari pelaksanaan BDF.

Bagaimana kualitas demokrasi dan penegakan hukum selama enam kali penyelenggaraan BDF tidak sejalan dengan tujuan yang didengungkan pemerintah.

Fakta bahwa BDF secara langsung akan dianggap sebagai salah satu warisan SBY bagi Indonesia, bahkan bagi kawasan regional dan global untuk urusan demokrasi, tidak sebanding dengan apa yang terjadi jelang penyelenggaraan BDF ke-VII di akhir masa jabatan SBY.

"Apa yang akan ditampilkan Indonesia dalam BDF jika di dalam negeri justru terjadi diskursus demokrasi yang berat," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) Titi Anggraini Mashudi.

Pelemahan Demokrasi

Menurut Azhar, semestinya BDF bisa menjadi wadah untuk menjawab pertanyaan dan harapan masyarakat akan demokrasi. Secara nyata menghasilkan langkah-langkah menyelesaikan persoalan demokrasi.

Pelemahan demokrasi di Indonesia, kata Azhar, bukan hanya UU Pilkada yang dijadikan alasan bagi SBY untuk mengeluarkan Perppu No 1/2014, namun sejak UU Ormas disahkan pemerintah dan DPR pada 2013.

Dibatasinya kebebasan masyarakat sipil dengan UU Ormas itu, mempertegas bagaimana pemerintahan SBY tidak serius dalam upaya mewujudkan tema BDF ke-I, yaitu membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi.

Berbicara pada BDF ke-IV, 8 Desember 2011, Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Browne mengatakan bahwa demokrasi tidak hanya tentang pemilu. Tapi juga ada masalah kebebasan untuk berekspresi. Sementara pemerintahan SBY menyokong UU Ormas yang membatasi kebebasan itu.

Itu menunjukkan persoalan demokrasi bukan hanya UU Pilkada dan tidak selesai begitu saja dengan mengeluarkan perppu. Wajar jika kemudian muncul anggapan bahwa yang terjadi tidak lebih dari sekedar upaya pencitraan. (ita)

Petugas yang mengawal Anies dan Keluarga selama Pilpres 2024 berpamitan

Tim Pengawal Anies Pamitan usai Pilpres 2024 Berakhir

Tugas tim pengawal yang melekat pada Anies Baswedan selaku Capres 2024 nomor urut 01 telah selesai dan mereka telah berpamitan kepada Anies dan Keluarga.

img_title
VIVA.co.id
26 April 2024