Menanti Sepak Terjang Ahok Selesaikan 'Utang' Jokowi

DPRD DKI Terima Surat Pengunduran Diri Jokowi
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews
Mobil Listrik Wuling Laku Keras di PEVS 2024
- Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo akhirnya resmi melepaskan jabatan kursi DKI 1. Kepastian Jokowi --sapaan Joko Widodo-- menjadi mantan Gubernur DKI ditandai dengan surat Keputusan Presiden (Keppres) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ditandatangni SBY pada, Kamis, 16 Oktober 2014.

BI Pede Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2024 di Atas 5 Persen, Ini Pendorongnya

Penerbitan Keppres  menyusul permohonan Jokowi berhenti sebagai gubernur DKI, setelah mendapat persetujuan sembilan fraksi di DPRD DKI yang disampaikan dalam rapat paripurna pandangan fraksi-fraksi, di Gedung DPRD beberapa waktu lalu.
BIN Komitmen Perkuat Pertahanan dan Keamanan IKN


"Keppres (pemberhentian Jokowi) sudah keluar, Pak SBY sudah menandatangani dan menyetujui pengunduran diri Jokowi, resmi tak menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta," kata Dipo, di Kantor Presiden, Jakarta.

Pengunduran diri Jokowi sendiri didasari pada putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah menetapkan mantan Walikota Solo tersebut sebagai presiden terpilih berpasangan dengan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, pada Pemilihan Presiden Juli lalu.

Jokowi dipastikan memenangi pesta demokrasi nasional lima tahunan itu setelah berhasil mengungguli calon pasangan lainnya, yakni Prabowo Subianto - Hatta Rajasa, dengan perolehan suara sebanyak 70.997.833 suara, atau 53,15 persen.

"Kedua, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana dimaksud ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2014-2019," kata Ketua KPU, Husni Kamil Manik, yang kemudian menuangkan keputusan itu dalam Keputusan KPU nomor 536/KPTS/KPU/2014.

Akui Kurang Maksimal Menata Jakarta

Selama dua tahun kepemimpinannya, Jokowi mengakui masih punya 'utang' kepada warga Jakarta. Pasalnya, masih cukup banyak program yang belum diselesaikan, mulai dari pembenahan transportasi umum, mengatasi kemacetan hingga penanganan banjir.


"Utang saya masih banyak, karena banyak yang belum selesai. Seperti banjir baru dikerjakan beberapa Waduk Sungai," ungkap Jokowi, di Balai Kota Jakarta.


Meski program pembenahan Jakarta dinilainya belum maksimal. Tetapi, dia mengaku sudah ada yang dikerjakan untuk mengatasi sejumlah permasalahan di Ibu Kota. Misalnya, sudah dilakukan pengerukan dan penataan beberapa Waduk untuk mengatasi banjir, di antaranya Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta Utara dan Waduk Ria Rio di Pulomas, Jakarta Timur.


Selain itu, dia bersama Ahok juga telah membangun beberapa Waduk baru. Antara lain, Waduk Rawa Kendal, Cilincing, Jakarta Utara; Waduk Rawa Babon, Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur; dan Waduk Pondok Rangon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.


Kemudian untuk masalah transportasi, terang Jokowi, sampai saat ini pembangunan beberapa sarana transportasi massal sudah dimulai, salah satunya adalah Mass Rapid Transit (MRT). "Masalah kemacetan, tahun kemarin baru dimulai MRT-nya. Monorel light rapid transitnya," bebernya.


Terpisah, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menilai, pemerintahannya bersama Jokowi telah berhasil melakukan perubahan mendasar pada suatu pemerintahan daerah yang lebih baik.


"Di pemerintahan kita, pencapaian paling mendasar yang pertama, kita telah berhasil menciptakan sistem dimana seorang pejabat itu bukan lagi dilayani, tapi melayani," ujar Ahok, sapaan akrab Basuki, di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu, 15 Oktober 2014.


Perubahan itu menurutnya tercermin salah satunya dari penerapan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di semua kantor kecamatan dan kelurahan di seluruh ibu kota. "Dengan PTSP itu, kita betul-betul urusin warga yang mau bikin. Biar kita yang pusing, bukan warga," ucap Ahok.


Pencapaian lain pemerintahannya, lanjut Ahok, adalah meningkatnya profesionalisme Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemprov DKI.


"Bagi saya dan Pak Jokowi, tidak ada prinsip ini orang partai, ini bekas tim sukses, ini bekas timnya Pak Foke. Yang paling penting bagi kita ini adalah benar-benar mewujudkan Jakarta Baru," ucap Ahok.


Kursi DKI 1 Menunggu Ahok, DKI 2?


Setelah kursi Gubernur ditinggal Jokowi, siapakah pengganti Ahok?. Pertanyaan ini tentu lebih menarik ketimbang mempertanyakan siapa yang akan mengisi kursi DKI 1 selepas ditinggal Jokowi.


Sebab, berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun  2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), dalam hal Gubernur berhalangan tetap dalam melaksankan tugasnya sebagai Kepala Daerah. Maka, pelaksanaan tugas dan kewajiban seorang Gubernur akan dilaksanakan oleh Wakil Gubernur.


Dalam pada ketentuan itu, maka Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menggantikan Jokowi sebagai orang nomor satu di Ibu Kota itu. Sementara, jabatan Wakil Gubernur yang ditinggal Ahok, akan diganti oleh calon yang diusulkan oleh partai politik yang mengusung pasangan Jokowi-Ahok pada Pilgub 2012 lalu.


Tak pelak, dua partai pengusung pasangan tersebut, yakni Partai Demokrasi Indonesia Pejuangan (PDIP) dan Partai Gerindra, mulai memunculkan nama masing-masing untuk mendampingi Ahok dalam tiga tahun kedepan.


Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP, Jhonny Simanjuntak, mengatakan, sejauh ini belum ada pembicaraan resmi terkait pengganti Ahok. Namun kader partai besutan Megawati Soekarnoputri itu hingga saat lebih cenderung mengusulkan Ketua DPD PDIP DKI Jakarta, Boy Sadikin.


"Kalau secara faktual, di lingkungan DPD PDIP DKI Jakarta itu masih banyak mengarahnya ke Pak Boy (Boy Sadikin)," terang Jhonny, kepada VIVAnews, melalui sambungan telepon, Selasa, 14 Oktober 2014.


Dipihak lain, Partai Gerindra yang semula dijadikan 'tiket politik' Ahok mendampingi Jokowi itu pun mengaku belum mengambil keputusan secara resmi. Namun demikian, dalam perbincangan antar kader, nama Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, Muhammad Taufik, menguat sebagai salah satu calon yang akan diusulkan dari partai yang dinahkodai Prabowo Subianto itu.


"Yang
ramein
(memunculkan)
kan
media. Dalam obrolan santai (antar kader)
sih
begitu, tapi belum resmi," ungkap Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Muhammad Taufik, kepada VIVnews, Selasa 14 Oktober 2014.


Ahok Naksir Djarot


Namun sayang, bak cinta bertepuk sebelah tangan. Wakil Gubernur DKI, Ahok, menegaskan menolak dua nama tersebut. Bahkan, dia mengancam tidak akan menyetujui usulan kandidat nama calon pendampingnya yang saat ini telah diusulkan oleh PDIP dan Partai Gerindra itu.


"
Nggak
apa-apa (bila kedua partai sudah mengusulkan nama), tinggal
gue
nggak usah tanda tangan. Boleh dong," ujar Ahok, sapaan akrab Basuki, di Balai Kota DKI Jakarta, Senin, 13 Oktober 2014.


Ahok menjelaskan, usulan calon pendampingnya itu merupakan hak dari masing-masing partai pengusung. Namun, keputusan agar nama-nama itu bisa dibahas dalam rapat paripurna di DPRD tetap ada pada dirinya.


"
Kan
usulannya mesti melalui saya
kan
. Ya sudah, nggak usah tanda tangan," tegasnya.


Penolakan Ahok terhadap dua nama itu bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, dia secara pribadi memiliki kriteria khusus untuk calon pendampingnya. Kriteria calon 'penghuni' lantai 2 Balaikota itu antara lain jujur, mau bekerja keras, dan telah teruji integritasnya di sebuah jabatan eksekutif serta memiliki kemampuan mengikuti ritme kerjanya dalam memimpin Jakarta.


Belakangan, mantan Bupati Belitung Timur itu mulai terang-terangan menyebut sosok yang sampai saat ini dinilainya memenuhi kriteria tersebut, yakni mantan walikota Blitar Jawa Timur, Djarot Syaiful Hidayat.


"Dari PDIP ada kok. Pak Djarot (Djarot Syaiful Hidayat), bekas walikota Blitar," terang Ahok.


Siapa Djarot?


Djarot Syaiful Hidayat merupakan salah satu kader PDIP yang kini menjadi anggota DPR RI. Mantan Walikota Blitar dua kali periode tersebut dipercaya masyarakat Jawa Timur, terutama Daerah Pemilihan (Dapil) Tulungagung, Blitar, dan Malang menjadi penyampai suara-suara rakyat di dapil tersebut.


Menurut penuturan salah satu kawan Djarot, Abdul Azis, pria kelahiran Gorontalo 30 Oktober 1955 itu dikenal sebagai sosok yang merakyat. Pasalnya, selama memimpin kota kelahiran Prokalmator Soekarno itu, Djarot suka blusukan, memperhatikan konsidi masyarakat secara langsung, seperti yang saat ini identik dengan cara kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi.


"Kalau sudah pakai Yamaha Scorpio merah dan pakai kaos oblong, dia bisa blusukan ke Blitar mana pun sendirian. Tidak pakai protokoler,” kata pengusaha dan aktivis di Blitar itu, Kamis 16 Oktober 2014.


Aziz mengingat, blusukan Djarot kala itu bukan pencitraan lantaran tak ada media yang mengekornya setiap saat. Hasilnya Pemkot membuat kebijakan renovasi rumah tidak layak huni lewat dana hibah di setiap kelurahan dan desa. Sekarang dipastikan tidak ada rumah reyot di Blitar. "Sampai akhir jabatannya ada sekitar 2000 lebih rumah yang telah direnovasi,” ujarnya.


Dijelaskan Azis, selama 10 tahun memimpin Blitar, ada banyak langkah berani yang berbeda dan inovatif  kala itu. Misalnya, enggan mengganti mobil dinasnya selama satu dekade memimpin Blitar. Hingga jabatannya usai, dia tetap menggunakan mobil bekas pejabat sebelumnya. “Ya tetap Toyota Crown lama itu,” katanya.


Hal lain yang dilakukan Djarot adalah gencar melakukan efisiensi di segala lini. Termasuk jabatan yang tidak strategis dan tidak bermanfaat dihilangkan dari susunan kabinet di Pemkot Blitar. Setidaknya lebih dari 100 posisi hilang saat Djarot menjabat. (adi)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya