Harapan Dunia Kepada Jokowi

Jokowi Terima Tamu Negara
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews
5 Negara yang Paling Jarang Utang di Dunia, Nomor 1 Tetangga Indonesia
- Rupiah tercatat mengalami kenaikan terbesar dalam enam bulan, setelah hasil hitung cepat memperlihatkan keunggulan Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan presiden, pada 22 Juli lalu. Namun gairah pasar yang ditunjukkan dengan penguatan rupiah tidak bertahan lama.

Vietnamese EV Taxi Service Push Sustainability Agenda with VinFast

Pertemuan antara Jokowi dan Prabowo Subianto, Jumat 17 Oktober, semestinya memberikan pesan positif setelah ketegangan politik yang terjadi dua bulan terakhir. Tapi hingga Jokowi dilantik sebagai presiden, Senin 20 Oktober, banyak pihak masih tetap diliputi keraguan.
Makin Naik Daun, Brand Lokal Produk Kecantikan Kian Diminati


Bagaimana kekuatan partai-partai yang membentuk koalisi oposisi di DPR untuk mengganjal Jokowi terlanjur meninggalkan kesan kuat. Seorang pejabat kedutaan besar negara Eropa mengatakan dunia masih menunggu langkah Jokowi setelah dilantik.

Dia mengakui program-program yang disebutkan Jokowi selama masa kampanye, sangat berpotensi untuk menarik investasi ke Indonesia. Namun Jokowi perlu menunjukkan bahwa dia mampu mengatasi kekuatan oposisi di DPR.

Pejabat kedutaan besar Eropa lainnya mengatakan, investasi terkait dengan stabilitas keamanan. "Selama tidak ada kerusuhan, investasi tidak akan kemana-mana," ucapnya. Meski demikian diakuinya akan sulit bagi Jokowi untuk berharap lebih banyak investasi dengan situasi politik saat ini.

Pidato Pelantikan

Pada pidatonya, Jokowi dengan jelas menekankan bahwa selain kerja keras diperlukan persatuan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar. "Kita tidak akan pernah besar jika terjebak dalam keterbelahan dan keterpecahan. Dan, kita tidak pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras," sebut Jokowi.

Jokowi tercatat beberapa kali menyinggung masalah persatuan dan maritim, seperti yang pernah dia sebutkan selama masa kampanye untuk membangun tol laut serta menjadikan Indonesia sebagai kekuatan maritim dunia.

"Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memungguhi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya," ucapnya.


Seakan menegaskan fokusnya dalam bidang maritim, Jokowi juga menutup pidato dengan kembali menegaskan persatuan dengan menyebut dirinya sebagai nahkoda yang dipercaya rakyat. Dia mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal RI dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya.


Penegasan Jokowi pada pentingnya persatuan, diyakini merupakan sinyal bahwa dirinya membuka diri pada pihak-pihak yang selama ini menempatkan diri sebagai oposisi. Pertemuan Jokowi dengan Prabowo Subianto, Jumat 17 Oktober lalu, mempertegas sinyal itu.


Harapan Besar


Media Inggris
The Guardian
, Senin, menulis ada harapan besar pada Jokowi sebagai pemimpin baru yang muncul dari luar kalangan militer dan elit politik, dalam sejarah demokrasi Indonesia yang masih muda.


Terpilih sebagai presiden negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, para pendukungnya berharap Jokowi bisa mengatasi berbagai persoalan baik ekonomi, hukum, sosial dan politik.


Selama masa kampanye, janji Jokowi untuk membuat sejarah seperti meniadakan pembagian kursi menteri pada partai pendukungnya, mampu menarik perhatian generasi muda bahkan kalangan selebriti yang selama ini dianggap tidak peduli pada persoalan politik.


Jokowi memang mampu membuat sejarah setelah jutaan pendukungnya yang energik secara sukarela berpartisipasi dalam masa kampanye. Membuat perhatian dunia tertuju pada sosok Jokowi yang dinilai fenomenal.


Toh dukungan rakyat yang dinilai dari perolehan suara dalam pemilihan presiden, ternyata tidak cukup untuk membuat Jokowi menjadi pemimpin pertama Indonesia yang lepas dari pengaruh partai dan elit-elit politik dari kubu oposisi maupun pendukungnya.


Keberhasilan koalisi merah putih merebut semua posisi penting di DPR, menjadi peringatan serius bagi koalisi minoritas pendukung pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Jokowi.


Para pendukung Jokowi pun telah menyuarakan kekhawatiran, bahwa prinsip-prinsip yang ingin dijalankan Jokowi mungkin akan menyebabkannya kesulitan dalam mewujudkan agenda reformasi.


Jokowi dan Obama


Jokowi disebut banyak media asing memiliki kesamaan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama. Senyum, popularitas di kalangan orang muda dan reputasi internasional.


Dia juga dihadapkan dengan tantangan yang sama seperti Obama, yaitu kebuntuan politik. Koalisi partai-partai yang membentuk oposisi telah mengendalikan semua posisi kunci di DPR. Jika Jokowi tidak mampu memecah kekuatan oposisi, maka dia akan kesulitan membuat kebijakan.


Saat ini produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya 5,1 persen yang merupakan tingkat terendah dalam lima tahun terakhir. Itu diyakini tidak akan cukup untuk mengakomodasi 15 juta tenaga kerja baru Indonesia hingga 2020.


Seiring meningkatnya upah pekerja di China, banyak perusahaan mulai mencari alternatif yang berarti kesempatan bagi Indonesia untuk menarik banyak investasi. Pertanyaan muncul terkait kemampuan Jokowi mengatasi ancaman dari kubu oposisi.


Bloomberg dalam editorialnya, Minggu 19 Oktober, menyebut Widodo masih bisa berharap sejumlah kebijakan reformasi yang dapat dilakukannya tanpa perlu dukungan dari legislatif. Seperti reformasi birokrasi yang dilakukannya saat menjabat Gubernur DKI Jakarta.


Jokowi disebut dalam posisi lebih beruntung dibandingkan Obama, karena kubu oposisi di Indonesia tidak memiliki kesatuan ideologi seperti halnya Partai Republik di AS. Sebagian besar partai di Indonesia berdasarkan kepentingan pribadi dan bukan kebijakan.


Tantangan Jokowi


Majalah Time menyebut setidaknya ada lima tantangan yang harus dihadapi Presiden Indonesia Joko Widodo (Joko Widodo) yang baru dilantik, yaitu kebuntuan politik, perlambatan ekonomi. ekstrimisme agama, hubungan antar etnis dan birokrasi.


Indonesia memang belum lagi didera serangan terorisme besar sejak 2009, saat beberapa hotel mewah menjadi sasaran aksi bom bunuh diri. Namun hanya butuh satu serangan untuk memperlihatkan sejauh mana hasil yang dicapai kelompok-kelompok radikal di Indonesia.


Di bidang ekonomi, banyak pihak menunggu langkah Jokowi yang berencana mengurangi subsidi BBM. Dia harus melakukannya untuk menghindari defisit anggaran, namun bisa menjadi batu sandungannya jika tidak berhasil meyakinkan publik.


Kenaikan harga BBM selalu memicu aksi protes, bahkan turut berkontribusi pada jatuhnya Presiden Soeharto yang menandai berakhirnya rezim Orde Baru pada 1998. Tapi saat itu krisis keuangan dunia menjadi faktor utama yang membedakan dengan situasi saat ini.


Tapi tanpa adanya stabilitas politik, isu pengurangan subsidi yang dapat berujung pada kenaikan harga-harga kebutuhan sangat mudah digunakan kubu oposisi untuk menjatuhkan popularitas Jokowi.


Pragmatis


Saat masa kampanye, Jokowi dengan percaya diri mengatakan hanya memiliki dukungan 40 persen saat menjabat Walikota Solo, serta 11 persen saja saat jadi Gubernur DKI Jakarta. Dia seakan ingin mengatakan bahwa koalisi minoritas pendukungnya di DPR bisa dengan mudah diselesaikan.


Rangkaian kekalahan yang dialami koalisi pendukungnya di parlemen, sepertinya tidak terlihat sejalan dengan kepercayaan dirinya itu. Analis politik Paul Rowland mengatakan pertemuan Jokowi dengan Prabowo pun belum bisa dilihat sebagai selesainya persoalan.


Menurutnya tetap tidak dapat dipastikan apakah pertemuan Jokowi dan Prabowo akan berarti banyak dalam hubungan antara pemerintah dengan DPR. "Terlalu cepat untuk mengatakan jika rekonsiliasi akan berusia panjang atau secara nyata membantu Jokowi," kata Rowland.


Dua pemimpin Asia, Presiden China Xi Jinping dan PM India Narendra Modi, dikenal sebagai pemimpin pragmatis. Sekalipun memiliki pandangan yang keras dalam masalah nasionalisme, namun mereka menyadari pentingnya berkompromi dengan kekuatan oposisi dengan tetap mengedepankan kepemimpinan yang bersih.


Saat mencalonkan diri, Modi harus menghadapi tantangan dalam memenangkan suara umat Muslim di India tanpa menanggalkan basis nasionalis Hindu. Masalah yang dihadapi Jokowi dan Modi tidak persis sama, tapi intinya adalah kemampuan untuk merangkul semua pihak.


Tidak akan sulit bagi Jokowi untuk membuka diri pada kubu koalisi. "Jokowi harus bisa menarik dukungan lagi untuk menambah kekuatan koalisi pendukungnya, dengan tetap menjaga komitmen reformasi dan pemerintahan yang bersih," kata seorang diplomat asing.


Harapan Pada Jokowi


Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS mengatakan Menteri Luar Negeri John Kerry yang datang ke Jakarta untuk menghadiri pelantikan Jokowi, Senin, memiliki sejumlah agenda untuk dibahas.


Diantaranya konflik maritim di Laut China Selatan, serta menggalang dukungan dari para pemimpin Asia Tenggara dalam upaya menghentikan ISIS di Suriah dan Irak. Pejabat AS lainnya mengatakan Kerry akan mendesak Jokowi melakukan langkah-langkah lebih seperti membekukan aset-aset militan.


Diungkapkan bahwa ada kekhawatiran Jokowi bakal lebih sibuk dengan persoalan dalam negeri, hingga Kerry juga akan mendesak Jokowi untuk terus menjaga peran aktif dalam kebijakan luar negeri di kawasan Asia Tenggara, seperti yang telah dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.


"Sebagai negara demokrasi ketiga dan dengan penduduk muslim terbesar di dunia, peran Indonesia sangat penting. Jokowi dapat melakukan banyak hal dalam kebijakan domestik dengan tetap menjaga peran aktif di kawasan," kata pejabat AS itu.


Indonesia disebut memiliki pengaruh yang penting di antara negara-negara Asia Tenggara, yang dilihat AS sebagai mitra kunci dalam upaya mempertahankan pengaruh di Asia Pasifik seiring meningkatnya kekuatan China.


PM Australia juga hadir dalam pelantikan Jokowi, dalam pernyataannya dia menyebut Indonesia penting bagi Australia. Dia mengisyaratkan keinginan untuk memperbaiki hubungan, setelah ketegangan akibat masalah aksi mata-mata yang dilakukan Australia terhadap Indonesia.


Aaron Connelly dari Lowy Institute, mengatakan Jokowi akan banyak mengandalkan para penasehatnya terutama untuk masalah kebijakan luar negeri. Pada masa kampanye, kata Connelly, Jokowi mengandalkan Rizal Sukma dari CSIS dan purnawirawan Jenderal Luhut Panjaitan.


Connelly mengatakan selama kampanye Jokowi sangat tergantung pada naskah yang disediakan untuknya. "Mereka memberinya catatan untuk dibaca dan dia membaca dengan sepenuhnya percaya pada catatan itu," ucap Connelly.


Profesor Greg Fealy dari Universitas Nasional Australia, mengatakan Australia dapat berharap pendekatan luar negeri yang realistis dan pragmatis dari Jokowi. Namun dia mengingatkan bahwa hubungan luar negeri terlihat tidak akan menjadi prioritas bagi Jokowi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya