Jarimu Harimaumu

ilustrasi-Penjara
Sumber :
  • writetoreel.com

VIVAnews – Saat kampanye Pilpres lalu, seorang tukang sate, berpendidikan rendah, diajak bergabung menjadi buzzer. Ia bertugas menjadi kepanjangan tangan forum yang diikutinya untuk memperburuk image calon presiden.

Prada Ardiansyah, Prajurit TNI yang Tersambar Petir Meninggal Dunia

Dia memiliki ponsel pintar, tahu cara menggunakan media sosial, dan memiliki teman yang ‘mengompori’. Satu kesalahannya, dia tidak tahu etika bersosialisasi di dunia maya. 

Saat pasangan capres itu memenangkan pemilu, tidak lama kemudian bom waktu itu meledak. Kuasa hukum peraih kekuasaan itu menuntut Tukang Sate atas pencemaran nama baik. Pendidikannya yang rendah membuatnya tak tahu Undang-undang ITE, apalagi pasal di dalamya.

Heboh Wali Nagari di Sumbar Digerebek Warga Mesum dengan Sesama Jenis, Kantor Disegel

Dia juga dituntut undang-undang pornografi. Mungkin dia juga tidak pernah kenal apa itu UU Pornografi. Gambar itu ia dapat dari teman di dunia maya, yang mungkin tidak dikenalnya, kemudian diteruskan ke teman lainnya, yang mungkin juga tidak dikenalnya.

Semua menjadi jelas dan terasa akibatnya saat tangan sudah terborgol. Penyesalan kemudian datang saat badan sudah berada di balik jeruji besi. Terbayang 12 tahun masa hidup akan tersia-sia hanya karena postingan iseng yang ternyata bikin apes.

Ekonomi Dunia Bergejolak, BI Buka-bukaan Hasil Stess Test Terbaru Sektor Perbankan

Seandainya Tukang Sate tidak memposting gambar tak layak di Facebook, seandainya pasien rumah sakit tidak mengeluh di email mengenai keburukan pelayanan kesehatan, seandainya hinaan tidak dilampiaskan melalui status update di Twitter. Berhenti menyesali karena yang harus disadari adalah, masyarakat pengguna internet tidak mengetahui etika yang baik saat bersosialisasi di dunia maya.

Sebelum bergabung dalam sebuah komunitas, di setiap forum di internet, atau sebuah situs, pasti memiliki syarat dan ketentuan dalam memosting sesuatu. Mereka memiliki kebijakan berbeda. Namun, beberapa kebijakan yang sama adalah dilarang SARA, Pornografi, ataupun pencemaran nama baik.  Ini yang patut dilihat terlebih dahulu saat pengguna internet.

Sejak kemunculan UU ITE 2008 lalu, kasus pelaporan hukum terkait pencemaran nama baik menjadi hal yang sangat gampang dilakukan.  Menurut data Save Net Voice, setidaknya ada 70 kasus pelaporan terkait UU ITE pasal 27 ayat 3. Dari angka tersebut, sebanyak 34 kasus muncul di tahun 2014 saja. Kebanyakan mereka memposting hal yang disesali kemudian, saat polisi sudah datang menciduk.

Mulai dari Prita Mulyasari yang pada 2009 ditahan hanya karena email keluhan terhadap RS Omni International Tangerang. Lalu ada juga Benny Handoko yang dijerat pasal yang sama hanya karena isi tweetnya yang menyerang seorang politikus. Atau Muhammad Arsyad dari Makassar yang dihukum karena status BBM dianggap menghina. Dalam pasal itu, hukumannya cukup berat, maksimal 6 tahun penjara. Yang paling mengerikan, polisi bisa menahan tersangka langsung. Untuk kepentingan pemeriksaan, polisi bisa menahan hingga 20 hari dan jaksa bisa memberikan waktu perpanjangan hingga 40 hari di dalam tahanan.

‘Buta’ Yang Berujung Bui

Pengamat media sosial yang juga pendiri ICT Watch, Donny BU menganggap jika banyaknya pengguna internet di Indonesia dan semakin canggihnya gadget tidak diimbangi dengan bekal pengetahuan yang mumpuni mengenai pemanfaatan positif internet.

“Di sisi lain, pemerintah mendorong masyarakat agar terus menggunakan internet tapi tidak mendampingi mereka dengan bekal. Ini ngomongin internet literasi. Apa masyarakat sudah benar-benar mengerti pemanfaatan internet yang baik itu seperti apa? Jika dia tidak tahu, maka tergelincirlah,” kata Donny.

Oleh karena itu, papar Donny, sudah seharusnya masyarakat belajar mengenai etika dunia maya. Pasalnya, momok menakutkan pengguna internet adalah pasal 27 ayat 3 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam kasus Tukang Sate ini, menurut Wahyu Djafar, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), sangkaan primernya adalah UU Pornografi. Namun karena kegagalan aparat penegak hukum, semua peristiwa yang terkait sarana elektronik selalu dikaitkan dengan UU ITE.

“Jika dibiarkan seperti ini terus, yang ditakutkan adalah hilangnya kebebasan berekspresi. Masyarakat tidak lagi kritis. Mereka akan berpikir ulang untuk mengkritik,” ujar Wahyu.

Beda Kritik dengan Hinaan

Kebebasan berekspresi sejatinya memang sah-sah saja. Dalam pasal 14 UU no.39 tahun 1994 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Lalu, setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

UU ini diperkuat dengan Deklarasi Universal HAM PBB pasal 19 yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948. Di dalamnya tertera, Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa batasan.

Di situ tertera jelas sekali jika kebebasan berekspresi merupakan ekspresi karena teguh terhadap suatu pendapat, memberikan kritik yang membangun. Sayangnya, yang beredar di status media sosial kebanyakan, alih-alih mengkritik, malah berujung pada penghinaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘menghina’ dan ‘mengkritik’ memiliki arti yang sangat jauh berbeda. Menghina berarti ‘merendahkan, memandang rendah, memburukkan nama baik orang, menyinggung perasaan orang’. Sedangkan Kritik berarti ‘tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya atau pendapat’.

Tips Menghindari Jeratan Hukum

Elsam dan ICT Watch, serta komunitas pengguna internet lain sepakat jika para pengguna internet harus mulai bijak dalam menggunakan fasilitas di dunia maya, entah itu forum, situs maupun sosial media.

“Ketika akan posting sesuatu, berusahalah se-faktual mungkin, se-aktual mungkin. Jadi tidak ada opini seorang individu yang menyerang individu lain. Namun jika kritikan dilancarkan ke pemerintah, misalnya terkait kinerja layanan publik, itu wajar saja untuk opini individu,” tulis Wahyu.

Pendapat yang sama terlontar dari pengamat media sosial Riyogarta. Menurut dia, hal ini menjadi pelajaran bagi semua orang untuk berhati-hati memposting atau membuat status. Ia memberikan tips yang cukup menggelikan namun masuk akal dalam kaidah bahasa.

“Jika kesal sama seseorang, lalu mau menulis di dunia maya, jangan sertakan nama bersangkutan.  Atau yang paling mudah, selalu berikan tanda tanya di belakang  setiap status. Jadi biasakan untuk selalu membuat kalimat tanya. Status itu dipastikan tidak terkesan menghina, tapi merupakan sebuah pertanyaan karena ada tanda tanya yang menyertainya,” papar Riyo.

Lalu bagaimana untuk postingan gambar? Setidaknya yang harus diperhatikan adalah jangan memasang foto pornografi dan menyinggung SARA.

Namun begitu, dia tetap menekankan untuk merevisi kembali UU ITE pasal 27 tersebut. Pasalnya, hukuman yang dijatuhkan sangat berat untuk kasus semacam itu. Sama halnya dengan Riyo, Wahyu pun menyarankan hal yang sama.

“Pasal 27 ayat 3 itu tidak memiliki katup pengaman. Beda dengan KUHP yang mana kritikan tak dianggap mencemarkan nama baik jika untuk kepentingan yang lebih luas. Di ITE, meski untuk kepentingan umum, polisi tetap bisa memproses,” jelas Wahyu.

Menurut Donny, pasal ini seharusnya bisa diperingan dengan mengurangi ancaman hukumannya. Pasalnya, dia menganggap orang semakin sembrono menggunakan pasal ini.

“Pasal ini sebaiknya dikurangi ancaman hukumannya, atau kalau nggak dicabut saja. Lebih baik paling tidak hukumannya dikurangi dibawah 5 tahun,” kata Donny.

Tetap saja, kontrol diri sendiri merupakan jalan terbaik untuk menghindari diri dari jerat hukum ITE. Berkicau di dunia maya, berujung bui di dunia nyata. So, bijak-bijaklah memposting sesuatu di internet. (adi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya