Rupiah Terperosok, Terburuk Sejak 2008

Ilustrasi uang rupiah
Sumber :
  • iStock

VIVAnews - Sejak menyentuh level terendahnya pada 26 November 2008 di Rp12.400 per dolar Amerika Serikat (AS), laju rupiah semakin tak berdaya menahan gempuran mata uang negeri Paman Sam tersebut. Bahkan, pada perdagangan hari ini, Senin 15 Desember 2014, rupiah terus terperosok hingga menembus level Rp12.599.

Berdasarkan pantauan dari data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah pekan lalu, sempat memberi harapan dengan bertahan selama dua hari perdagangan berturut-turut, yaitu pada 10-11 Desember 2014 di level Rp12.336. Meski masih betah di kisaran Rp12.300-an, tetapi mampu sedikit bernapas lega setelah naik tipis 11 poin dari hari sebelumnya yang sebesar Rp12.347.

Sayangnya, rupiah bukannya menunjukkan tren membaik, justru terjatuh ke level Rp12.432 (12 Desember). Sekarang, pasar pun semakin dikagetkan dengan penegasan rupiah yang terus mencatat rapor merahnya hingga nyaris menyentuh level Rp12.600, atau tergelincir lebih jauh sebesar 167 poin (1,34 persen).

Pergerakan rupiah yang terdepresiasi ke level Rp12.599 tersebut, menjadi salah satu rekor terburuk sepanjang sejarah. Tercatat, masa terkelam rupiah terjadi pada 22 Januari 1998 dengan mencapai angka terendahnya sebesar Rp17.000. 

Krisis 1998

Apa yang terjadi saat ini, seakan mengembalikan memori gelap pada kondisi perekonomian yang pernah terjadi di Tanah Air periode 1998 dan 2008. Kondisi yang nyaris mirip, karena Indonesia pada tahun-tahun tersebut, juga mengalami krisis ekonomi akibat anjloknya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan terjun bebasnya pergerakan rupiah.

Pada hari ini, indeks saham di bursa terus melanjutkan koreksinya sebesar 52 poin atau 1,01 persen ke level 5.108,43.

Seperti diketahui, tahun 1998 menjadi tragedi terparah. Banyak kalangan menilai sebagai peristiwa paling tragis dalam sejarah perekonomian Indonesia. Selama periode sembilan bulan pertama di 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling buruk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997, berkembang memburuk dalam waktu cepat. 

Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, khususnya dunia usaha. Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah.

Situasi menjadi seperti lepas kendali. Krisis ekonomi Indonesia akhirnya tercatat sebagai yang terendah di Asia Tenggara waktu itu.

Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar Baht di Thailand pada 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi. Kemudian, berlanjut lagi krisis sosial sampai ke krisis politik.

Pada awal tahun 1998, tepatnya tanggal 22 Januari, rupiah terjun bebas ke Rp17.000 per dolar AS. Pelemahan tersebut jauh sekali dibandingkan pada akhir 1997 di mana nilai tukar rupiah hanya bergerak di kisaran Rp4.850 per dolar AS.

Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dolar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.

Krisis 2008

Berbeda dengan krisis ekonomi 1998, krisis ekonomi 2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain, karena AS merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Penurunan daya beli masyarakat di AS menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun.

Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit neraca pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun 2008.

Selain itu, nilai tukar rupiah memang bergerak relatif stabil sampai pertengahan September 2008. Terutama, disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta kebijakan makro ekonomi hati-hati.

Akan tetapi, sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs rupiah melemah menjadi Rp11.711 per dolar AS pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya berada di posisi Rp10.048.

Health Ministry Warns Dengue Fever to Bali Tourists

Mata uang sampah

Ironis, saat ini, rupiah malah masuk sebagai salah satu mata uang sampah di dunia karena nilai tukarnya yang terus merosot. Data dari The Richest menunjukkan, ada 15 mata uang dengan nilai tukar yang paling rendah terhadap dolar AS dan rupiah menempati posisi keempat di dunia.

Adapun negara dengan mata uang sampah nomor satu dunia adalah Iran dengan mata uangnya rial. Disusul oleh mata uang dong dari Vietnam dan mata uang dobra dari Sao Tome yang menempati peringkat kedua dan ketiga, persis di atas Indonesia dengan rupiahnya.

Sebagai informasi, Majalah The Economist menyebutkan bahwa masalah indonesia adalah infrastruktur yang jelek, pemerintahan yang birokratis dan korupsi yang menggurita. Kondisi inilah yang membuat nilai tukar rupiah sangat rendah terhadap dolar AS.

Tekanan luar dan dalam

Guncangan yang sedang menerpa rupiah bisa dikatakan tidak lagi dari satu sisi. Kini, rupiah harus bisa menerima kenyataan pahit, adanya tekanan luar dan dalam memaksa mata uang Garuda ini terhimpit, tak kuasa untuk melompat naik.

Dari faktor luar, makin positifnya dolar seiring indikasi membaiknya siklus ekonomi AS menambah tekanan bertubi-tubi terhadap rupiah. Investor pun kencang berburu dolar karena tingkat kepercayaan yang makin menebal atas investasi yang lebih menjanjikan.

"Ini bagian risiko logis dari perbaikan ekonomi AS, sehingga tidak hanya rupiah tetapi juga berimbas pada mata uang negara-negara emerging markets (negara-negera berkembang) lainnya," ujar Arman Boy Manullang, Pengamat Pasar Uang kepada VIVAnews melalui pesan singkatnya.

Arman mengungkapkan, dari pasar dalam negeri juga tampaknya kebutuhan terhadap dolar meningkat, menyusul kebutuhan dolar jelang akhir tahun, seperti pembayaran bunga dan cicilan utang, terutama dalam pasar obligasi. Ini, katanya, mengakibatkan supply dolar di pasar semakin menipis.

Dari sisi Bank Indonesia (BI), lanjutnya, belum juga melakukan intervensi yang agresif di pasar. "Mungkin, menurut hitungan BI, posisi rupiah terhadap dolar yang sekarang masih belum terlalu membahayakan perekonomian dalam negeri sehingga belum perlu mengguyur cadangan devisa dolar ke pasar," tuturnya.

Sesungguhnya posisi jumlah cadangan devisa Indonesia saat ini sangat cukup untuk melakukan intervensi pasar.

Seperti mengutip dari laman Kementerian Keuangan, cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2014 mencapai US$111,1 miliar. Mengalami sedikit penurunan dari posisi akhir Oktober 2014 sebesar US$112 miliar.

Berdasarkan catatan BI, posisi cadangan devisa itu dapat membiayai 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional, yaitu sekitar 3 bulan impor. BI menilai, level cadangan devisa itu mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

Di sisi lain, pada pekan ini, para pelaku pasar masih bersikap wait and see karena menantikan hasil pertemuan The Fed, terkait arah kebijakan Fed Fund Rate atau suku bunga lanjutan.

Pasar mengamati keputusan The Fed, apakah akan segera naik atau masih lama. Kenaikan Fed Fund Rate akan mengancam mata uang emerging market, karena penguatan dolar AS akan menimbulkan sentimen ‘risk aversion’ atau alih risiko terhadap pasar keuangan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Jelang FOMC meeting, mata uang dolar AS cenderung menguat terhadap mata uang emerging market. Oleh karena itu, tekanan terhadap rupiah menjadi semakin deras.

Kepala Riset PT Woori Korindo Securities, Reza Priyambada menjelaskan bahwa penilaian Bank Dunia yang memangkas outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia juga membawa mimpi buruk bagi rupiah.

Sebagai informasi, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan hanya mencapai 5,2 persen. Masih di bawah proyeksi sebelumnya yang dirilis Juli 2014 sebesar 5,6 persen.

Bank Dunia juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 5,1 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,2 persen. "Selain melemahnya ekspor, pertumbuhan terpangkas akibat melemahnya pertumbuhan investasi," terang Reza.

Selain itu, katanya, berlanjutnya aksi profit taking (ambil untung) yang didukung oleh tetap tingginya suku bunga acuan (BI Rate) di 7,75 persen menjadi penyebab lainnya dari terpuruknya rupiah.

NasDem Sebut Surya Paloh Restui Jika Anies Ingin Maju di Pilkada DKI 2024

Target rupiah

Kondisi rupiah yang sedang mengalami over shoot saat ini, menggambarkan angka realistis yang bisa menjadi target bidikan berikunya adalah di kisaran Rp12.700-Rp13.000, setidaknya hingga menutup tahun 2014.

Pengamat Pasar Uang, Telisa Aulia Falianty mengungkapkan, pemerintah harus segera merealisasikan untuk meningkatkan daya saing ekspor karena risiko capital outflow yang sedang meningkat. Kemudian, lanjutnya, meski membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan rupiah ke titik keseimbangannya maka tetap waspadai dengan adanya risiko bank.

"OJK (Otoritas Jasa Keuangan) harus menjaga bank-bank agar tidak kolaps. Kita sudah kehilangan daya beli di pasar internasional dengan terdepresianya rupiah terus menerus seperti ini," katanya kepada VIVAnews, melalui sambungan telepon.

Telisa pun menambahkan, hampir tidak ada sektor yang diuntungkan dengan kondisi pelemahan rupiah. "Memang eksportir, khususnya eksportir komoditas merasa diuntungkan tapi kenyataannya, seperti Tiongkok dan Jepang yang juga sedang menurun jadi belum tentu juga merasa untung. Pastinya, yang punya utang luar negeri dalam bentuk valas dan tidak dihedging akan terkena dampak buruknya," sambungnya.

"Tadinya diperkirakan, dengan BI menahan suku bunganya maka maksimal rupiah akan tertahan di Rp12.500. Tapi, malah sudah lebih rendah lagi sehingga berharap rupiah akan mentok di level Rp13.000 sampai akhir tahun ini," tambahnya. (adi)

BACA JUGA:

Ramalan Zodiak Selasa 16 April 2024: Scorpio Bertemu Kenalan Lama, Ada Masalah Serius untuk Aquarius

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya