"Terdepak" dari Bursa, Akankah AirAsia Senasib Malaysia Airlines?

AirAsia Airbus A320
Sumber :
  • REUTERS/Enny Nuraheni/Files

VIVAnews - Keselamatan merupakan ruh dalam bisnis transportasi. Tak peduli di darat, laut maupun udara. Jangankan sengaja mengabaikan keselamatan, kejadian kecelakaan yang di luar kuasa manusia pun bisa memicu ketidakpercayaan orang terhadap operator transportasi.

Ujung-ujungnya, performa bisnis bakal meredup lantaran sepinya pelanggan. "Hukuman" tak berhenti sampai di situ. Bagi perusahaan yang mengumpulkan modal publik, jelas bakal menerima sanksi lebih keras. Investor bakal ramai-ramai menjual saham.

Adalah maskapai penerbangan yang paling sensitif soal laku bisnis tersebut. "Faktor keselamatan penumpang menjadi hal mutlak yang harus dipenuhi. Syarat ini, tidak bisa tidak, harus dipenuhi maskapai. Maskapai penerbangan itu fully required (terhadap aturan-aturan)," ujar Arista Atmadjati, pakar penerbangan dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, saat dihubungi VIVAnews, Senin 29 Desember 2014.

Begitu ada pesawat mengalami kecelakaan, yang langsung terlihat adalah pembatalan penumpang dan merosotnya harga saham pada papan bursa.

Kasus maskapai asal Malaysia, barangkali bisa dijadikan contoh. Saham Malaysia Airlines (MAS) langsung turun setelah pesawatnya mengalami dua kecelakaan besar sepanjang tahun 2014 ini. Bahkan maskapai milik BUMN Malaysia, Khazanah Nasional Bhd ini bakal de-listing pada 31 Desember 2014 nanti.

Akan halnya saham AirAsia, yang salah satu pesawatnya, QZ 8501, hilang kontak saat terbang dari Surabaya menuju Singapura, Minggu 28 Desember 2014.

Momen Fortuner Korekan Balap Dipermalukan Mobil Listrik Standar

Performa saham perusahaan yang dirintis Tony Fernandes itu anjlok hingga 8,50 persen pada perdagangan sehari setelah hilangnya pesawat QZ8501 tujuan Surabaya-Singapura.

Para analis mengatakan, insiden QZ8501 milik AirAsia Indonesia dapat menyebabkan beberapa wisatawan meningkatkan kewaspadaan untuk terbang bersama AirAsia grup. Jelas, ini berpengaruh pada prospek bisnis serta laba pada tahun mendatang.

"Pada 2015, saya mengharapkan hasil, untuk setidaknya bertahan (pada capaian tahun ini) secara year-on-year," kata Daniel Wong, analis Hong Leong Investment Bank, di Kuala Lumpur, dikutip Reuters.

Saham AirAsia pada penutupan perdagangan di Kuala Lumpur, jatuh 8,5 persen. Itu merupakan penurunan harian terbesar sejak 22 September 2011. Bahkan, saham sempat turun sebanyak 12,9 persen pada pembukaan di patokan indeks Kuala Lumpur.

Seperti diketahui, Minggu 28 Desember 2014, AirAsia Indonesia mengkonfirmasi pesawat QZ8501 telah hilang kontak pada pukul 06.17 WIB. Pesawat membawa 155 penumpang, terdiri dari 137 orang dewasa, 17 anak-anak, dan 1 bayi, selain 2 pilot, 4 kru kabin dan 1 teknisi.

Sementara itu, dari Bangkok, saham AirAsia Aviation, perusahaan induk untuk Thai AirAsia, turun 3,6 persen pada perdagangan Senin. Grup AirAsia memegang 45 persen saham di Thai AirAsia.

Pelajaran Malaysia Airlines


Tetapi, para analis pasar modal menilai kejatuhan harga saham AirAsia itu merupakan hal yang wajar. Kebanyakan dari mereka beranggapan kalau harga saham akan kembali pulih. Lantarannya, fundamental AirAsia dinilai cukup kuat.

"Kecuali ada kejadian kedua dalam waktu dekat," ujar sebuah riset yang dikeluarkan bank CIMB.

Barangkali, prediksi tersebut didasarkan pada pengalaman maskapai asal Malaysia lainnya. Bisnis Malaysia Airlines System BHD (MAS) sempat diterjang badai. Dua tragedi pesawat menimpa MAS sepanjang satu tahun ini, yang berujung pada ditariknya (de-listing) saham MAS dari perdagangan bursa.

Sekadar menyegarkan ingatan, pesawat MAS yang memiliki nomor penerbangan MH370 hilang pada Sabtu, 8 Maret 2014. MH370 yang menerbangi rute Kuala Lumpur-Beijing berubah arah, bukan ke Beijing tapi ke Samudra Hindia.

Hingga sekarang, keberadaan pesawat tersebut masih jadi misteri. Banyak spekulasi terkait hilangnya MH370. Namun, Kepala polisi Malaysia, Khalid Abu Bakar, pernah menegaskan kalau tak satu pun dari 239 penumpang yang terlibat dalam pembajakan, sabotase, atau memiliki masalah psikologis yang mungkin menjadi penyebab hilangnya MH370.

Melansir laman BBC, Khalid Abu Bakar mengatakan penyelidikan untuk mengungkap perubahan rute MH370 masih terfokus ke awak pesawat, terutama ke kedua pilot.

Tetapi, apa pun alasan tragedi tersebut, dunia bisnis tak mau tahu. Pada perdagangan Senin, 10 Maret 2014, saham MAS turun hingga 4 persen, ke level RM0,205. Grafik perdagangan saham MAS terus menurun hingga akhir bulan. Pada 28 Maret 2014, sahamnya menjadi RM0,200.

Pesawat Malaysia Airlines di Bandara KLIA, Sepang
Rajin Menabung, Tukang Parkir di Jombang Naik Haji Tahun Ini


Ironisnya, MAS kembali terpukul tatkala MH17 ditembak jatuh oleh milisi pro-Rusia di Ukraina, pada 17 Juli 2014. Pesawat Boeing 777 yang membawa 298 penumpang dari Amsterdam, Belanda tujuan Kuala Lumpur itu hancur lantaran dihantam misil yang ditembakkan dari darat.

Pasar merespon kejadian ini dengan melepas saham MAS. Sehari sebelum insiden tersebut (16 Juli 2014), saham MAS dibanderol RM0,220 atau meningkat 4,55 persen pada perdagangan hari itu. Namun, saat MH17 ditembak jatuh, saham langsung terkoreksi turun 2,17 persen menjadi RM0,225.

Sehari berikutnya, penurunan lebih parah, menjadi RM0,200 atau turun 11,11 persen dengan volume saham diperdagangkan mencapai 4.710.924 lembar.

Awal bulan Desember, Khazanah Nasional Bhd, pemilik mayoritas MAS, mengumumkan rencana delisting. Perusahaan men-suspend perdagangan saham mulai Senin, 15 Desember lalu. Pada penutupan perdagangan terakhirnya, saham MAS dipatok turun 1,85 persen ke level RM0,265.

Mengutip laman New Straits Times, MAS bakal keluar dari Bursa Malaysia Securities mulai 31 Desember 2014.

AirAsia Kuat?


Para analis lagi-lagi tak yakin kalau AirAsia bakal mengalami nasib serupa MAS. Penurunan saham AirAsia, hanya merupakan dampak psikologis sesaat.

"Tidak diragukan lagi, akan ada ketakutan jangka pendek pada permintaan (tiket), tapi perjalanan udara akan bangkit kembali," kata K Ajith, Direktur transportasi Asia di UOB, Kay Hian, dikutip CNBC.

Para pengguna jasa penerbangan, Arista menimpali, bakal memiliki sedikit phobia. "Terutama untuk naik pesawat jenis LCC (low cost carrier)," ujar dia.

Malah, Hafriz Hezry, analis AmResearch, mengharapkan saham akan kembali pulih dalam beberapa hari, setelah reaksi awal pasar atas berita hilangnya QZ8510.

Para analis percaya faktor fundamental AirAsia cukup kuat. Sehingga, dampak kecelakaan ini tak akan bertahan lama. Sebab, menurut mereka, AirAsia tergolong punya performa pelayanan yang cukup bagus.

Sebelum Minggu kelabu kemarin, AirAsia tercatat sebagai kelompok penerbangan yang nyaris tanpa cacat. Setidaknya, bila dibandingkan dengan MAS atau maskapai asal Indonesia seperti Lion Air dan Garuda Indonesia. Maskapai penerbangan itu pernah kehilangan beberapa pesawat dalam satu dekade terahir.

"Tony Fernandes dan AirAsia sangat dihargai oleh industri penerbangan. Maskapai ini sangat sukses dan memiliki catatan keamanan yang sangat baik," kata John Strickland, Direktur JLS Consulting, konsultan yang berbasis di London, dikutip Reuters.

AirAsia Grup, yang mencakup afiliasi di Thailand, Filipina dan India, telah menjadi pesaing utama untuk operator regional seperti Malaysia Airlines, Singapore Airlines dan Qantas.

CEO AirAsia Tony Fernandes
Viral Kiper Jepang Menangis di Tengah Laga Final Piala Asia U-23

QZ8510 itu, mungkin bakal memukul reputasi AirAsia secara grup, kata Hezry. Tetapi, dampaknya pada pendapatan AirAsia hanya kecil. Sebab, masih kata Hezry, keuntungan dari unit Indonesia tidak akan dimasukkan dalam penghasilan. Sebab, menurut dia, Indonesia AirAsia masih membukukan kerugian, meski dirahasiakan.


"Penurunan hari ini hanya reaksi sesaat, reputasi perusahaan cukup diperhitungkan oleh investor, saya kira insiden ini tidak akan berpengaruh banyak pada pendapatan dan
yield
perusahaan," timpal Gema Goeyardi, Presiden Direktur PT Astronacci Indonesia.


Apalagi, kerugian atas kehilangan pesawat juga telah ditanggung oleh asuransi. "Kami mengkonfirmasi bahwa Allianz Global Corporate & Speciality UK (AGCS) adalah reaasuransi utama untuk AirAsia, untuk lambung pesawat," ujar juru bicara Allianz dalam sebuah pernyataan email kepada
Reuters
.


Allianz enggan merilis berapa besar klaim yang bakal timbul atas kecelakaan itu. Namun,
Reuters
mengkalkulasi, angkanya bakal di kisaran US$100 juta. Menurut kesepakatan penerbangan internasional bernama Montreal Convention, perusahaan diwajibkan membayar hingga US$165 ribu per penumpang. Bila jumlah penumpanngya 162 orang, maka klaim yang dibayar ke penumpang sebesar US$27 juta.


Maka dari itu, Gema tak ragu-ragu untuk merekomendasikan saham AirAsia. Dia justru menyarankan agar investor mengoleksi saham maskapai
budget
rendah itu. "Ini jadi kesempatan bagi investor untuk beli," katanya mantap. (umi)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya