Respons Dunia atas Tragedi Ketiga Pesawat Malaysia

Aktivitas di Kantor Air Asia Terminal 3
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews
Pemerintah Harus Antisipasi Kebijakan Ekonomi-Politik Imbas Perang Iran-Israel
- Ada sedikitnya tiga hal yang menjadi pusat perhatian berbagai media internasional, saat pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 dilaporkan hilang, pada Minggu, 28 Desember 2014. Tiga hal itu yaitu Malaysia, MH370, dan Indonesia.

Prediksi Premier League: Fulham vs Liverpool

AirAsia adalah perusahaan penerbangan yang berbasis di Malaysia. Hilangnya pesawat Airbus 320-200 merupakan tragedi ketiga yang melibatkan maskapai dan pesawat asal Malaysia, sepanjang 2014. Meskipun, melibatkan dua maskapai penerbangan yang berbeda.
Ditanya Kontrak STY, Erick Thohir Sebut Sepakbola Indonesia di Jalur yang Tepat


Dua tragedi sebelumnya melibatkan pesawat milik Malaysia Airlines, yaitu pesawat bernomor penerbangan MH370 yang hilang dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Beijing, pada 8 Maret. Lalu, MH17 yang ditembak jatuh di Ukraina, pada 17 Juli.

Peristiwa hilangnya pesawat AirAsia, dengan cepat dikaitkan dengan tragedi MH370 yang belum juga ditemukan. Berbulan-bulan pencarian yang masif, bahkan belum memberikan satu atau sedikit pun petunjuk tentang keberadaan pesawat, yang diduga jatuh di Samudra Hindia.

Teori konspirasi yang muncul, sejak beberapa jam setelah hilangnya MH370, bertahan hingga saat ini. Sebagian meyakini, adanya konspirasi sebagai penjelasan paling dapat diterima, terkait misteri hilangnya MH370.

Kemudian Indonesia, yang dikaitkan dengan buruknya catatan keselamatan penerbangan di negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa itu. Termasuk kemampuan untuk melakukan pencarian, dengan minimnya perlengkapan teknologi tinggi yang dimiliki.

Teknologi Pencarian

Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya FHB Soelistyo, Senin, 29 Desember, mengatakan bahwa saat ini terdapat kendala dalam pencarian pesawat, terkait dengan kebutuhan beberapa alat penunjang yang tidak dimiliki Indonesia.


"Kita butuh dua alat, yakni marine detector, digunakan untuk mendeteksi pesawat yang diduga jatuh ke air dan satu lagi untuk menindaklanjuti lokasi dengan evakuasi dengan submersible capsule," ujar Soelistyo.


Basarnas disebutnya memiliki peralatan itu, namun dengan teknologi yang tidak cukup mumpuni untuk mencakup wilayah pencarian. Oleh karena itu, Indonesia berencana meminjamnya dari negara asing yang sudah menawarkannya.


"Melalui Kemenlu RI kita sudah bicarakan, dan kami berencana meminjam kedua alat itu ke negara lain," katanya. Perangkat detektor pinjaman itu, menurut dia, dapat menentukan lokasi hilangnya pesawat dengan lebih spesifik.


Sementara itu, submersible capsule digunakan, saat titik lokasi pencarian atau tanda-tanda pesawat milik AirAsia QZ8501 sudah ditemukan di bawah laut. Perangkat berbentuk kapsul itu dapat diturunkan hingga ke dasar laut.


Beberapa negara telah menawarkan bantuan saat ini, seperti Singapura dan Australia dengan pesawat dan perangkat penangkap sinyal dari kotak hitam. Sementara itu, untuk kapsul penyelam baru dimiliki Amerika Serikat (AS) dan Prancis.


Catatan Keamanan


Sedikitnya 30 persen kecelakaan pesawat di seluruh dunia, disebabkan oleh cuaca buruk. Daily Mail dalam laporannya, Minggu, menyebut fakta itu diabaikan dengan tidak adanya sistem deteksi di banyak bandara Indonesia.


Hampir 650 jiwa tewas dalam sedikitnya delapan tragedi penerbangan di Indonesia, selama dua dekade terakhir. Sebagian besar diyakini akibat kesalahan manusia. Indonesia disebut tidak memiliki cukup tenaga berkualitas, baik itu pilot, maupun mekanik.


Hal itu mengkhawatirkan, mengingat peningkatan permintaan kebutuhan penerbangan saat ini. Pusat Penerbangan Asia-Pasifik mencatat peningkatan sebesar 20 persen dalam jumlah kursi, antara 2012-2013.


Total ada 5,6 juta penumpang penerbangan di Asia Pasifik, dan dipastikan bakal meningkat. Jurnal Penerbangan Orient menyebut 70 persen rute tersibuk dunia, melakukan perjalanan melalui Asia Tenggara.


Willem Neimeijer, pendiri kelompok usaha Khiri Travel, mengatakan peningkatan perjalanan udara berarti meningkatnya risiko kecelakaan. "Indonesia harus meningkatkan infrastruktur udara," kata Niemeijer. Pada 2014 saja, ada lima insiden kecelakaan pesawat di Asia Tenggara.


Bahkan ada sedikitnya satu insiden penerbangan di Indonesia, selama tiga tahun berturut. Sebelum pesawat AirAsia, ada Boeing 737-800 milik Lion Air yang tergelincir dari landasan saat akan mendarat, pada April 2013 di Bali.


Pada Mei 2012, pesawat Sukhoi Superjet-100 jatuh saat demonstrasi penerbangan, menewaskan 45 orang. Lantas pada Januari 2007, Boeing 737 milik Adam Air hilang dalam penerbangan dari Surabaya ke Manado, dengan korban 102 orang.


September 2005, kecelakaan pesawat Mandala Airlines menewasksan 149 orang. Lantas Desember 1997, 104 orang tewas dalam kecelakaan pesawat SilkAir yang jatuh ke Sungai Musi, pada penerbangan dari Jakarta ke Singapura.


Beberapa bulan sebelumnya, pesawat Garuda Indonesia jatuh menewaskan 234 orang, September 1997. Januari 1995 pesawat Merpati Nusantara Airlines hilang, 14 diduga tewas, dan pesawat tidak pernah ditemukan.


MH370


"Hilangnya pesawat AirAsia dalam penerbangan antara Indonesia dan Singapura, mau tidak mau, memicu perbandingan dengan kasus tidak terpecahkan hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH370," tulis laman Telegraph, Minggu.


MH370 hilang tanpa jejak bersama 239 penumpang dan kru pesawat. Mantan Direktur Maskapai Prancis, Marc Dugain, menuding adanya konspirasi dalam tragedi MH370, yang diduga dibajak atau ditembak jatuh oleh AS.


Dikutip laman Huffingtonpost, Marc Dugain menduga pesawat Boeing dengan nomor penerbangan MH370 dibajak, dan terbang mengarah ke Pulau Diego Garcia di Samudra Hindia, yang merupakan instalasi militer rahasia AS.


Berdasarkan paten yang didaftarkan oleh Boeing, disebutkan bahwa semua pesawat mereka dilengkapi dengan perangkat pengendali jarak jauh, yang dimaksudkan untuk mencegah pesawat dibajak dan digunakan untuk serangan terorisme.


Seperti pesawat AirAsia, MH370 juga didahului dengan terputusnya kontak antara pesawat dan pusat kendali lalu lintas udara (ATC), serta tidak ada sinyal darurat yang dikirimkan sebagai tanda adanya masalah, hingga pesawat hilang dari radar.


Pakar penerbangan, Peter Stuart Smith, yang dikutip dalam laporan Mirror, menyebut aneh bahwa QZ8501 tidak melakukan kontak dengan ATC.  "Bahkan jika kita berasumsi bahwa pesawat menghadapi cuaca sangat buruk, dan pecah di udara," katanya.


"Jelas prioritas utama pilot adalah menerbangkan pesawat, tapi mengirim sebuah pesan pada ATC tentang apa yang terjadi, hanya beberapa detik untuk mengirimkan sinyal pada kotak SSR, yang akan memperingatkan ATC bahwa ada masalah," tambahnya.


Walau begitu, pakar penerbangan lainnya, Neil Hansford, menyebut tidak ada komplikasi serumit MH370, dalam kasus hilangnya QZ8501, di mana otoritas Indonesia mengatakan yakin mendapat sinyal terakhir lokasi hilangnya pesawat.


"Belum ada komplikasi MH370 (untuk QZ8501). Mereka tahu yang ini, dan jika mereka tidak dapat menemukannya, maka kita memiliki persoalan," kata Hansford.


Lebih Mudah


Jurnalis penerbangan CNN, Paul Goelz, menilai ada perbedaan antara MH370 dan QZ8501. Di mana pada kasus MH370, transponder untuk mengidentifikasi keberadaan pesawat tampak sengaja dimatikan. Sementara itu, pada kasus AirAsia hal itu tidak terjadi.


Samudra Hindia di mana MH370 diyakini tenggelam, merupakan wilayah perairan dalam dan terkesan misterius. Dasar laut di wilayah itu tidak pernah dipetakan di beberapa tempat, sehingga sulit untuk melakukan pencarian.


Sementara itu, Laut Jawa tempat pesawat AirAsia diduga hilang, adalah lautan yang lebih dangkal dengan kedalaman diperkirakan hanya sekitar 150 kaki, dibandingkan dengan Samudra Hindia yang memiliki kedalaman antara 10.000-20.000 kaki.


Kondisi itu diyakini lebih mudah menemukan pencarian puing-puing di Laut Jawa. "Kita tidak akan melihat upaya proses pencarian seperti yang terjadi dalam kasus Malaysia Airlines MH370," kata mantan Direktur Kantor Administrasi Penerbangan Federal untuk Penyelidikan Kecelakaan, Steven Wallace.


Lebih lanjut, Goelz menyebut keberadaan pesawat sudah dapat diprediksi. Berbeda dengan kasus hilangnya MH370, yang disertai tidak jelasnya informasi. Di mana para pejabat berwenang menyampaikan pernyataan yang saling bertolak belakang.


Sementara itu, dalam kasus AirAsia, pemerintah Indonesia dan maskapai terlihat menggunakan pendekatan yang lebih sesuai. CEO AirAsia Tony Fernandes bahkan turun langsung, dan aktif melakukan berkomunikasi dengan publik melalui media sosial.


Menurut analis penerbangan, Will Ripley, cara Fernandes mengatasi krisis sangat meyakinkan. "Otoritas dan maskapai berkoordinasi dengan baik. Mereka juga menempatkan keluarga penumpang sebagai prioritas utama dalam situasi yang buruk ini," kata Ripley.


Dukungan bagi publik, di antaranya dengan transparansi informasi, sangat dibutuhkan keluarga korban saat ini. Mereka sangat berharap, kasus AirAsia tidak akan menjadi misteri seperti MH370. (art)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya