Belum Sampai 3 BuIan, Ini 4 Kebijakan Kontroversial Jokowi

Tanggapan Presiden Tentang Calon Kapolri
Sumber :
  • Antara/Andika Wahyu
VIVAcoid
Presiden Jokowi Santai UU Amnesty Digugat
- Belum satu semester menjadi presiden, Joko Widodo sudah berulang kali mendapat kecaman publik. Hari-hari ini, publik mengecam Jokowi karena memilih orang yang dinilai tidak bersih untuk menduduki posisi strategis dalam penegakan hukum.

Jokowi: Indonesia Bangga Raih Perak Pertama

9 Januari 2015 lalu, Jokowi meneken surat dan kemudian mengirimkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dimintakan persetujuan. Isinya, memberhentikan Kapolri Jenderal Sutarman dan menggantinya dengan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Ahok Ungkap Alasan Jokowi Sindir Keuangan Daerah


Riak kecil penolakan muncul pada malam penyerahan surat itu. Namun, oleh Jokowi tak direspons serius. Hingga tiba-tiba pada Selasa, 12 Januari, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan orang pilihan presiden ketujuh itu sebagai tersangka korupsi.

Kecaman meluas. Mereka mempertanyakan komitmen dan janji-janji kampanye mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Diantara janji yang ditagih itu adalah memilih pejabat berintegritas dalam pemerintahannya.

Nasi sudah menjadi bubur. Jagoan presiden untuk menduduki institusi penegakan hukum itu disangka korupsi dan tetap diluluskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Mau tak mau, Jokowi harus melantiknya.


Kini kritikan publik tertuju kepada Jokowi agar tidak melantik. Sekelompok orang yang mengaku relawan Jokowi saat kampanye pilpres mendatangi KPK menyampaikan aspirasi agar Jokowi tak melantik Budi Gunawan.


Di dunia maya para aktivis twitter mengekspresikan penolakan dengan membuat tagar #ShameOnYouJokowi.


Penelusuran
VIVA.co.id
, kebijakan kontroversial Jokowi yang menuai kecaman publik ternyata bukan ini saja. Apa saja, simak uraiannya berikut ini.


1. Menaikkan harga BBM bersubsidi saat harga minyak dunia turun.


17 November 2014. Presiden Jokowi didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri terkait energi mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi itu di Istana Kepresidenan, Jakarta. Harga premium naik dari Rp6500 menjadi Rp8500 per liter.


Reaksi publik sangat keras menolak kebijakan itu. Demonstrasi berbagai elemen masyarakat terjadi di sejumlah daerah. Aksi demonstrasi tak surut dalam hitungan hari melainkan berminggu-minggu.


Di ranah dunia maya, topik kenaikan harga menjadi bahasan yang cenderung dibicarakan dengan tone negatif. Tagar #SalamGigitJari, #ShameOnYou Jokowi, dan #salam2ribu, merajai topik di twitter.


2. Memilih Jaksa Agung dari partai politik.


20 November 2014. Jokowi melantik politisi Partai Nasdem sebagai jaksa agung. Ketika diumumkan namanya, HM Prasetyo masih duduk sebagai anggota Fraksi Nasdem di DPR sekaligus ketua DPP di partai besutan Surya Paloh itu.


Pilihan Jokowi ini ternyata membuat kecewa kalangan masyarakat sipil yang saat pemilihan presiden mengaku sebagai pendukungnya. Diantaranya adalah Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).


Mereka mengkritik keras kebijakan Jokowi itu. Alasan sejumlah lembaga itu, orang partai politik diragukan dapat bekerja secara objektif dalam penegakan hukum. Sebab, masalah hukum, ekonomi, dan politik, sangat erat saling berkait.


3. Melarang menteri datang ke DPR.


24 November 2014. Jokowi mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dia melarang menteri kabinet mendatangi panggilan DPR.


"Baru sebulan kerja dipanggil-panggil. Apa sih," kata Jokowi kala itu.


Kebijakan Jokowi melarang menterinya dipanggil DPR itu menuai kritik dari sejumlah pakar hukum tata negara. Selain, tentu saja sejumlah anggota DPR.


Dengan melarang menteri menghadiri rapat dengan DPR, Jokowi dinilai melakukan pembangkangan konstitusi. Sebab, sistem kenegaraan kita mengatur bahwa lembaga kepresidenan dan parlemen berkedudukan setara dan harus bersama-sama dalam menyelenggarakan pemerintahan.


Dalam pemerintahan, presiden menjalankan ranah eksekutif sementara parlemen menjalankan fungsi legislatif, termasuk di dalamanya adalah mengawasi kinerja pemerintah dalam menjalankan programnya selain fungsi penganggaran dan legislasi.


4. Tidak menganulir calon kapolri yang menjadi tersangka KPK.


Meski nama Budi Gunawan kerap menjadi sorotan sebelumnya, tetapi penetapannya sebagai tersangka terjadi setelah Jokowi menunjuknya sebagai calon kapolri. Sebenarnya, Jokowi memiliki kesempatan untuk menganulir kebijakannya itu.


Namun, Jokowi memilih untuk tidak melakukannya sehingga DPR tidak memiliki alasan untuk menghentikan proses uji kelayakan. Akhirnya, sidang paripurna DPR pada 15 Januari 2015 mengabulkan usulan Jokowi untuk mengangkat Budi Gunawan menjadi Kapolri.


Persoalan ini masih bergulir. Bola panas itu kini berada di tangan Jokowi. Apakah Jokowi akan tetap melantik ataukah menganulir karena publik yang mengaku sebagai pemilihnya ketika pilpres meneriaki #ShameOnYouJokowi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya