KPK Vs Polri, Jokowi Cuma 'Mengawasi dan Mengawal'

Presiden Joko Widodo bersama para pakar hukum di Istana Merdeka
Sumber :
  • ANTARA FOTO/SEPTRES/Intan

VIVA.co.id - Ini hari-hari yang penuh ujian bagi Presiden Joko Widodo terkait penegakan hukum, apakah dia memang konsisten dengan janjinya menegakkan pemerintahan yang bersih dan menjalankan amanat konstitusi, sekaligus tidak tunduk kepada kepentingan sempit segelintir elite yang sudah mensponsori dia menuju RI1?

Dua Mantan Pimpinan KPK Harusnya Sampai Pengadilan

Pertanyaan ini yang harus cepat dijawab oleh presiden saat publik selama berhari-hari disuguhi benturan yang mencekam antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Walau ada pejabat hukum yang berkali-kali menegaskan bahwa ini bukan konflik KPK versus Polri, publik dan media massa melihat bahwa situasi belakangan ini jelas sudah bisa dikatakan konflik.

(Baca juga FOKUS VIVA: )

Tak Lagi jadi Pimpinan KPK, Ini Aktivitas Bambang Widjojanto

Benturan ini membuat rakyat ragu, bagaimana bisa Jokowi mewujudkan janjinya menegakkan pemerintahan yang bersih dan menjalankan amanat konstitusi? Bila terus dibiarkan, konflik antar-lembaga penegak hukum ini bisa berbahaya bagi bangsa.

Kini Jokowi coba menyelesaikan konflik itu, yang seharusnya bisa dia selesaikan andaikan tidak ngotot menyodorkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri ke DPR.

Respons Istana Soal Deponering AS dan BW

Pada Minggu malam, 25 Januari 2015, Jokowi mengundang para pakar maupun mantan pejabat penegak hukum yang masih dihormati publik ke Istana Merdeka. Mereka adalah mantan Wakapolri Oegroseno, Pakar Hukum UI Hikmahanto Juwana, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiediqie, Pengamat Hukum Bambang Widodo Umar, mantan Pimpinan KPK Ery Riyana Harjapamengkas dan Tumpak Hatorangan. Satu tokoh yang berhalangan datang adalah Syafi'i Maarif.

Berbeda dengan pertemuan di Istana Bogor Jumat pekan lalu, kali ini sama sekali tidak tampak para menteri di bidang hukum dan keamanan serta pejabat Polri dan KPK aktif. Tampak Jokowi ingin meminta secara langsung pendapat para tokoh yang dipandang independen itu soal kekisruhan KPK versus Polri.

Dari kedatangan mereka pula, Jokowi disinyalir akan membentuk tim independen demi mengatasi konflik itu. Tujuh tokoh itu pula yang kemungkinan masuk dalam tim independen tersebut.

Usai bertemu dengan mereka, kepada para wartawan di Istana, Jokowi melontarkan pernyataan sumir bahwa "jangan ada kriminalisasi." Belakangan, Jimly meluruskan bahwa yang dimaksud Jokowi adalah jangan ada kriminalisasi baik atas KPK maupun Polri.

Jokowi juga meminta bahwa bila proses hukum yang melibatkan personil di KPK maupun Polri, maka harus dibuat terang-benderang dan harus transparan, agar proses hukumnya berjalan baik.

Dia juga menyatakan agar tidak ada intervensi dari pihak mana pun. "Tetapi, saya akan tetap mengawasi dan mengawal," lanjut Jokowi.

Bagaimana dia mengawasi dan mengawal, patut ditunggu. Jokowi pun hanya mengimbau agar KPK-Polri harus bekerja sama dalam pemberantasan korupsi dan melakukan proses hukum di dalamnya secara transparan.

Sayangnya, saat ditanya wartawan soal isu bahwa Komjen Budi tetap akan dilantik sebagai Kapolri pada Senin 26 Januari 2015, Jokowi menolak beri klarifikasi. Beberapa hari lalu, Jokowi menyatakan bahwa pelantikan Budi ditunda hingga proses hukumnya di KPK, yang menjadikan dia tersangka kasus gratifikasi, sepenuhnya tuntas.

Bulan Cobaan

Januari 2015 memang juga menjadi bulan cobaan bagi KPK. Lembaga itu didera masalah bertubi-tubi. Tiga dari lima pimpinan KPK hendak dipreteli. Masalahnya beda-beda, mulai yang hanya seputar etika/moral sampai hukum.

Rekam jejak mereka ditelusuri dan ditemukan satu per satu kasus. Mulanya muncul foto mesra sang Ketua, Abraham Samad, dengan Putri Indonesia 2014, Elvira Devinamira, yang beredar sehari setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, calon Kepala Polri, sebagai tersangka korupsi.

Foto itu segera dipastikan hasil rekayasa alias palsu. Tapi publik meyakini itu bagian dari serangan balik terhadap KPK. Tak diketahui jelas identitas perekayasa foto itu namun masyarakat segera mengaitkannya dengan langkah KPK yang terlalu berani mengusik Budi Gunawan sehingga pelantikannya sebagai Kepala Polri ditunda oleh Presiden Joko Widodo.

Setelah foto itu dipastikan palsu, Abraham Samad dituding terlibat skandal politik. Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, membeberkan kisah Abraham yang aktif melobi partainya agar bisa menjadi calon wakil presiden pendamping Joko Widodo dalam Pemilu Presiden tahun 2014.

Abraham, menurut Hasto, belakangan kesal karena lobinya gagal dan Joko Widodo akhirnya berpasangan dengan Jusuf Kalla. Dia menilai Budi Gunawan-lah yang menjadi sebab kegagalan itu.

KPK, melalui Deputi Pencegahan Johan Budi SP, membantah cerita Hasto. Abraham, kata Johan, secara tegas menyebut kisah Hasto adalah fitnah belaka. Johan menantang Hasto untuk menunjukkan bukti-buktinya.

Sehari setelah kisah skandal itu dibeberkan, sang Wakil Ketua, Bambang Widjojanto, ditangkap aparat Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri. Bambang diperiksa atas tuduhan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam sengketa Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, tahun 2010. Bambang, yang ketika itu sebagai pengacara salah satu calon, dituduh memerintahkan seorang saksi agar memberikan keterangan palsu dalam sidang di Mahkamah Konstitusi.

Tentu saja Bambang menolak tuduhan itu karena sengketa pemilukada itu sudah selesai di Mahkamah Konstitusi. Tapi dia sudah berstatus tersangka dan wajib menjalani proses hukum sampai pengadilan memutuskan dia bersalah atau tidak.

Deraan kepada KPK tak berhenti di Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Pimpinan lain KPK, yakni Adnan Pandu Praja, pun mengalami hal serupa Bambang. Dia dilaporkan ke Mabes Polri dengan tuduhan perampokan perusahaan dan kepemilikan saham secara ilegal di PT Desy Timber di Berau, Kalimantan Timur, tahun 2006.

Menurut Mukhlis Ramlan, kuasa hukum PT Desy Timber, kasus itu terjadi pada 2006 dan sudah dilaporkan sejak 2008 ke Polres Berau, Kalimantan Timur. Namun kasus itu tidak pernah mendapat tanggapan. Maka, PT Desy Timber memutuskan untuk melaporkan kasus itu kepada Bareskrim Polri pada Sabtu, 24 Januari 2015.

Dilucuti

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menilai itu sebagai upaya merontokkan satu per satu kekuatan KPK. Tujuannya bukan lagi melemahkan KPK melainkan menghancurkan lembaga itu.

Abraham memang telah membantah kisah skandal yang dibeberkan Hasto. Tapi Hasto belum menunjukkan buktinya. Kalau dia memiliki bukti kuat tentang skandal itu, Abraham dapat disidang di Komite Etik KPK. Sedikit atau banyak, konsentrasinya terganggu dalam menjalankan tugas sebagai pimpinan KPK.

Bambang Widjojanto telah berstatus tersangka dan harus menjalani proses hukum sampai pengadilan memutuskan. Dia otomatis berhenti sebagai pimpinan KPK manakala telah berstatus terdakwa. Tapi dia telah mempertimbangkan untuk mundur dari jabatannya.

"Saya pertimbangkan mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK sehingga nanti pimpinan KPK yang mempertimbangkan dan mengajukan ke Presiden," kata Bambang di kediamannya di kawasan Depok, Jawa Barat, Sabtu, 24 Januari 2015.

Adnan Pandu Praja juga akan bernasib serupa Bambang. Dia memang baru dilaporkan ke Polisi. Tapi itu berarti selangkah lagi Adnan berstatus tersangka dan wajib menjalani proses hukum sampai pengadilan mengetuk palu vonis.

Tindakan paling minimal kepada Bambang maupun Adnan adalah diberhentikan sementara sampai kasusnya berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seorang pimpinan KPK diberhentikan sementara manakala berstatus sebagai tersangka.

Perkiraan terburuknya adalah Abraham, Bambang dan Adnan diberhentikan sementara dari jabatannya masing-masing. Itu artinya pimpinan KPK tersisa satu orang, yakni Zulkarnain. Sebab Busyro Muqoddas lebih dahulu telah berakhir masa jabatannya pada 16 Desember 2014.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan menunda pengangkatan pimpinan KPK pengganti Busyro hingga pemilihan pimpinan KPK secara serempak pada Desember 2015. Penundaan itu diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR pada15 Januari 2015.

Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin, yang membacakan laporan pada sidang paripurna DPR menjelaskan bahwa Dewan telah menerima dua nama calon pimpinan KPK dari pemerintah, yakni Busyro Muqoddas dan Robby Arya Brata.

Fraksi Partai Demokrat sempat menolak keputusan itu karena akan memengaruhi KPK dalam membuat keputusan. Menurut Demokrat, Undang-Undang KPK mensyaratkan adanya lima pimpinan KPK yang harus dipenuhi. Jika jumlah ini tidak terpenuhi, bisa memengaruhi pengambilan keputusan hukum.

Sayangnya protes itu diabaikan. Situasinya kala itu KPK bakal baik-baik saja meski dengan empat pimpinan, yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain. Sekarang kondisinya bahkan nyaris tersisa satu pimpinan. Satu per satu pimpinan KPK dilucuti dengan berbagai macam kasus, meski bukan mustahil Zulkarnain diperkarakan juga.

"Semua orang bisa memanfaatkan momentum (ketegangan KPK dengan Polri) untuk memperkarakan pimpinan KPK. Saya lihat ini sudah bukan upaya pelemahan lagi, tapi menuju ke upaya pembubaran," ujar Jimly saat dihubungi VIVA.co.id, Minggu, 25 Januari 2015.

"Kalau hanya ada satu orang pimpinan, tentu KPK tidak akan bisa bekerja. Saya khawatir bila ini dibiarkan terus, sama saja artinya KPK pada akhirnya bubar," Jimly menambahkan.

Perppu atau SP3

Presiden Jokowi telah memanggil pimpinan KPK dan Polri di Istana Presiden, Bogor, pada 23 Januari 2015. Dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno, dan Jaksa Agung HM Prasetyo. Topik utamanya adalah seputar penangkapan Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Mabes Polri.

"Tadi saya sampaikan, terutama kepada ketua KPK dan Wakapolri, sebagai Kepala Negara, saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan UU yang ada," kata Presiden.

"Tadi juga saya meminta sebagai Kepala Negara agar institusi Polri dan KPK tidak terjadi gesekan dalam menjalankan tugas masing-masing. Kita juga berharap semua, terutama media, untuk menyampaikan hal-hal yang objektif. Saya kira itulah yang bisa saya sampaikan," Presiden menambahkan.

Pernyataan singkat Kepala Negara dinilai banyak kalangan tak meredakan ketegangan antara KPK dengan Polri. Sebagian kalangan menilai Jokowi seharusnya berbuat lebih dari itu sesungguhnya ketegangan itu dapat mengganggu kinerja KPK dan Polri. Sebagian yang lain menganggap konflik itu dapat meluas dan memengaruhi stabilitas nasional.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, mengusulkan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) yang mengatur perlindungan atau imunitas para Pimpinan KPK.

Denny mengatakan bahwa hal itu dibutuhkan karena KPK, khususnya pimpinan KPK, tengah mengalami kriminalisasi. "Perppu untuk menatur imunitas bagi pimpinan selama mereka menjabat," kata Denny, di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu, 24 Januari 2015.

Menurut Denny, dengan adanya Perppu itu, pimpinan KPK tidak dapat diproses untuk mencegah kriminalisasi yang merupakan modus para koruptor. Kalau para pimpinan KPK itu tak lagi menjabat, hak imunitas otomatis gugur dan mereka dapat diproses hukum sebagaimana warga negara pada umumnya.

Dia menolak anggapan Perppu itu dapat disalahgunakan oknum tertentu di KPK untuk berlindung dari jerat hukum. “Itu justru bisa menguatkan KPK yang tugas-tugasnya berat," katanya.

Direktur The Wahid Institute, Zanubah Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, juga menilai bahwa Presiden perlu mengeluarkan Peraturan mengenai perlindungan bagi pimpinan KPK. Alasannya, “KPK adalah institusi yang terlalu penting untuk jadi korban kriminalisasi," ujar putri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Yenny menyebutkan, peraturan itu tidak akan membuat pimpinan KPK menjadi kebal hukum selamanya. Nantinya pimpinan KPK yang terjerat suatu kasus akan diusut setelah mereka tidak menjabat. "Karena pimpinan KPK sudah menunjukkan komitmen dalam menjalankan tugasnya," tutup Yenny.

Usulan itu belum direspons Presiden. Tapi, sebagaimana dikatakan Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, Presiden sedang menyiapkan beberapa langkah untuk memastikan upaya pemberantasan korupsi tetap berjalan meski pucuk pimpinan KPK terjerat kasus hukum.

Pilihan pertama adalah Presiden akan menginstruksikan Kepolisian untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Bambang Widjojanto. Opsi kedua ialah memberhentikan sementara Bambang agar dia menjalani proses hukum, lalu menetapkan pelaksana tugas pimpinan KPK untuk menggantikan posisi Bambang.

Pada intinya, kata Andi, segala proses hukum yang sedang berlangsung, dilakukan sesuai perundang-undangan yang berlaku. Maka, apa pun kebijakan yang akan diputuskan Presiden tidak menyimpang dari aturan hukum. (ren)



Baca berita lain:



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya