Misi Terselubung Penghapusan PBB dan NJOP

Rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) di Jakarta.
Sumber :
  • Antara/ Muhammad Adimaja

VIVA.co.id - Rencana pemerintah untuk menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) dan nilai jual objek pajak (NJOP) sepertinya tidak main-main. Itu, karena, penghapusan PBB tersebut akan mulai berlaku pada 2016 mendatang untuk rumah sederhana, tempat ibadah dan bangunan yang bersifat sosial.

"Kami akan melakukan pematangan terlebih dahulu. Insya Allah dapat diberlakukan pada 2016 mendatang karena di tahun ini masih belum bisa diterapkan," kata Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan, Senin 2 Februari 2015.

Namun, kabar itu justru memberikan angin segar bagi industri properti di Tanah Air. Setidaknya, keuntungan terbesar akan dirasakan oleh masyarakat luas yang memiliki kebutuhan rumah atau tempat tinggal.

Masalah pajak yang selama ini terus membebani masyarakat pun seakan terlepas dengan adanya penghapusan PBB, khususnya untuk rumah sederhana. Bahkan, kebijakan baru dari pemerintah itu dinilai sebagai pemompa demi tercapainya target pembangunan satu juta unit rumah.

Menurut Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo, kebijakan penghapusan PBB dan NJOP diperkirakan akan menambah 10 persen jumlah masyarakat menengah ke bawah yang membeli rumah.

"Saat ini, kebutuhan rumah di Indonesia mencapai 15 juta unit dan kebutuhan rumah per tahun mencapai 800 ribu unit rumah. Sedangkan, kemampuan pengembang untuk menyediakan rumah hanya 300-400 ribu unit rumah, masih ada kekurangan 400 ribu unit," tuturnya kepada VIVA.co.id melalui sambungan telepon, Selasa 3 Februari 2015.

Di sisi lain, katanya, meski memberikan keuntungan untuk mendorong kepemilikan rumah, tetapi akan mengurangi pendapatan daerah. Terutama, menurutnya, daerah yang mengandalkan pajak dalam pendapatan asli daerah (PAD)nya.

Tunggak PBB, Bebas Denda Hingga Akhir Desember

Sambutan positif juga datang dari pihak pengembang sebagai respons dari rencana pemerintah tersebut, salah satunya, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).  Alasannya, penghapusan PBB dapat meringankan masyarakat, khususnya terhadap keringanan bunga.

VP Corporate Marketing PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), Indra Wijaya Antono kepada VIVA.co.id mengungkapkan jika memang PBB untuk rumah sederhana jadi dihapus maka masyarakat berpenghasilan rendah yang akan sangat diuntungkan. Jadi tidak ada kenaikan PBB tiap tahun, sementara buat pengembang yang paling penting membuat insentif dalam arti mengajak kepada pengembang-pengembang lainnya untuk menyediakan lebih banyak rumah sederhana, terutama mengenai penyediaan lahan

"Tidak ada sisi negatifnya, jelas pemerintah ingin membantu masyarakat untuk dapat memiliki rumah. Dari data per Desember 2014, kebutuhan papan di seluruh Indonesia untuk kekurangannya sebesar 15 juta rumah yang masih perlu disediakan sehingga melalui penghapusan PBB ini diharapkan dapat mengurangi angka tersebut," ungkapnya.

Akan tetapi, dia pun menyarankan sebaiknya pemerintah juga mengajak para pengembang properti, khususnya untuk penyediaan lahan. "Nah, untuk hal ini, bisa melalui REI (Real Estate Indonesia)," katanya.

Biaya IMB Warga Miskin yang Bangun Rumah Didiskon 95%

Kebijakan Dipertanyakan

Meski demikian, rencana ini tentu tak semulus yang dibayangkan untuk dapat benar-benar terealisasi. Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda malah menganggap rencana pemerintah tersebut agak aneh.

"Untuk rumah menengah ke bawah nggak masalah. Malah konsumen dan pengembang sama-sama diuntungkan. Cuma agak aneh, kenapa dihapuskan," ujarnya kepada VIVA.co.id, sore hari ini.
 
Ali menyampaikan, NJOP yang rencananya dihapuskan akan diubah menjadi area zonasi. Artinya, terdapat adanya perbedaan patokan harga yang ditentukan di masing-masing wilayah.

"Kalo NJOP dihilangkan, nanti akan ada apapun namanya yang mirip NJOP yang sifatnya zonasi, layaknya di area ini, pajaknya berapa itu, usulannya," terangnya.

Dia pun menjelaskan, penghapusan NJOP itu bagus. Namun, akan ada perombakan peraturan pajak lainnya karena ada salah satu sub pengenaan pajak yang hilang.

"Apabila sampai dihilangkan, tatanan pajak segala macam, itu berubah semua," ungkapnya. Sebab, lanjutnya, jika NJOP dihilangkan maka tidak ada patokan harga dan target pajak di pemerintah akan menurun untuk yang menganggap rumah sebagai aset pribadi, nilainya akan turun.

Di samping itu, dia menekankan bahwa kalau menggunakan penilai maka harganya bisa bervariasi. "Jika NJOP hilang, kan nanti nggak ada patokan lagi," katanya.

Dan dalam hal ini, Ali menegaskan, itu merupakan kewenangan dari Kementrian Keuangan dan Ditjen Perpajakan beserta Pemda, bukan Kementerian Agraria. "Jangan sampai ini akal-akalan pihak tertentu untuk membuat proyek baru. Ini kan buat proyek secara nasional. Butuh penilaian lagi," tegasnya.



Oleh karena itu, dia menyarankan, sebaiknya peraturan NJOP diperbaiki saja. "Seandainya memang jadi diubah, pasti akan ada peraturan baru yang serupa," jelas Ali.

"Untuk patokan harga mengenai aset pribadi itu kan harus ada. Sampai saat ini, NJOP belum dapat diandalkan. Tapi, itu yang ada. Kalau sebenarnya NJOP dihilangkan, itu kan patokan harga nggak ada, kita buat lagi. Buat apa kita buat sesuatu yang baru. Kalau yang lama pun bisa diperbaiki," tuturnya.

Demikian halnya, ketika VIVA.co.id menanyakan kepada  Pelaksana tugas (Plt), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Andin Hadiyanto yang mengaku  mengaku belum menerima usulan resmi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"Nanti kami lihat usulan resminya. Sekarang, belum tahu seperti apa," ujarnya.

Menurutnya, ada beberapa pertimbangan yang harus dimatangkan, jika ingin mengubah mekanisme penghapusan PBB. Salah satunya, bagaimana kewenangan pemerintah pusat dan daerah.

Jaringan Minimarket ini Buka Jasa Bayar PBB

Dia berpendapat, itu sebagai tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yang tertuang dalam Undang-undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. PBB pedesaan dan perkotaan (PBB-P2) telah dialihkan ke pemerintahan daerah di mana pengalihan tersebut telah selesai dilakukan pada periode 2012 hingga 2014.

"Harus kami dalami dahulu, itu seperti apa. Terus, wewenangnya daerah dan pusat bagaimana," jelasnya.

Dengan pengalihan kebijakan tersebut, jika mekanismenya berubah maka akan mempengaruhi pendapatan asli daerah (PAD) yang selama ini dipungut dari PBB.

Sebagai Informasi, pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 persen. Setelah pengalihan tersebut, semua pendapatan dari pungutan PBB-P2 akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah.



Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan beralasan, perubahan tersebut dilakukan atas dasar keadilan. Menurut Ferry, saat itu, tidak adil jika masyarakat harus membayarkan PBB setiap tahunnya.

"Kalau bayar tiap tahun kesannya, ini tinggal di tanah siapa."ungkapnya.

Kecuali, katanya, kediaman tersebut dijadikan tempat usaha yang menghasilkan pendapatan bagi pemiliknya. "Kalau rumah komersil, dikontrakkan, rumah kos, restoran, hotel, itu ada nilai komersilnya, tanah untuk kebun. Tapi kalau untuk pemukiman, menurut saya, tidak bisa dikenakan karena kan pajak bangunan," tambahnya.

Selain itu menurutnya, karena kewajiban membayar PBB tiap tahunnya, kesempatan masyarakat khususnya yang kurang mampu untuk mendapatkan rumah yang layak semakin kecil.

"Ini sekaligus menjawab kerisauan PBB itu menjadi instrumen alamiah yang memindahkan masyarakat dari rumah-rumah yang relatif bagus kawasannya karena tingginya PBB sehingga tidak sanggup bayar," katanya.

Baca juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya