Menanti Nama Baru Jenderal Calon Trunojoyo Satu

Presiden Jokowi.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA.co.id - Presiden Joko Widodo memutuskan membatalkan melantik Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Informasinya memang bukan langsung dari Kepala Negara melainkan bermula dari Ketua Tim Sembilan, Ahmad Syafii Maarif.

Ceritanya, Buya Syafii (panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif) ditelepon Presiden pada Selasa, 3 Februari 2015. Presiden mengatakan kepada Buya Syafii bahwa dia memutuskan membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri.

Keputusan itu semula direncanakan diumumkan setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak atau menerima gugatan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan pekan depan. Sayangnya informasi itu lebih dini beredar dan diketahui media massa. Singkat kata, kabar itu bocor.

Buya Syafii tak menjelaskan sengaja membocorkan atau tidak. Dia hanya menceritakan bahwa saat Presiden meneleponnya, Kepala Negara tak menyebut waktu pasti pengumuman pembatalan pelantikan Budi Gunawan. Lalu dia menyarankan bahwa lebih cepat tentu lebih baik.

Imam Prasodjo, anggota Tim Sembilan, bahkan langsung menentukan waktu, yakni sebelum Presiden bertolak ke Malaysia pada Kamis, 5 Februari 2015. Dia berargumentasi bahwa tak ada alasan lagi bagi Presiden untuk mengulur waktu karena Jokowi telah menerima saran dan masukan dari berbagai penjuru dan kalangan. Kalau soal itu diumumkan seusai lawatan ke luar negeri, katanya, Presiden dianggap berupaya menghindari tanggung jawab.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno, mengaku kecewa informasi itu bocor ke publik sebelum Jokowi mengumumkan sendiri. “Harusnya disampaikan ke Presiden, bukan ke umum (masyarakat luas),” katanya di Jakarta, Rabu, 4 Februari 2016.

Sejauh ini tak ada pernyataan langsung dari Jokowi: membenarkan atau membantah informasi bahwa dia telah memutuskan membatalkan mengukuhkan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Presiden hanya cuma berjanji menyelesaikan seluruh persoalan yang berkaitan dengan ketegangan antara KPK dengan Polri, termasuk pro dan kontra pencalonan Budi Gunawan, sepulang dari kunjungan ke Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina.

“Senin sudah kembali, kok," kata Jokowi memberikan ancar-ancar.

Presiden juga tak menerangkan dengan lugas alasan mengapa harus menunggu sepulang dari lawatan ke empat negara itu. Dia cuma berujar, “... memang harus ada yang saya rampungkan terlebih dahulu.”

Tak terang makna urusan yang harus lebih dahulu diselesaikan. Tapi Jokowi mengakui telah diam-diam bertemu Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuagan (PDIP), Megawati Sukarnoputri, di Istana pada Selasa, 3 Februari 2015. PDIP maupun Megawati disebut sebagai pengusul utama Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri. Budi Gunawan pun bekas ajudan Presiden Megawati tahun 2001 sampai 2004.

Jokowi juga tak memungkiri pertemuan dengan Megawati itu membahas persoalan KPK versus Polri, yang berkaitan pula dengan pencalonan Budi Gunawan sebagai pemimpin tertinggi Polri. "Ya, saya enggak perlu tutup-tutupi, (membicarakan) masalah Kapolri-KPK," katanya di Jakarta, Rabu, 4 Februari 2015.

Menolak mundur

Sekretaris Kabinet, Andi Widjojanto, belakangan membeberkan bahwa sesungguhnya Jokowi telah berkali-kali meminta Budi Gunawan mengundurkan diri sebagai calon Kepala Polri. Presiden memintanya bahkan segera setelah KPK mengumumkan status tersangka kepada Budi.

KPK Periksa Keponakan Surya Paloh

Jokowi, kata Andi, menyarankan Budi mengundurkan diri sebagai solusi meredakan ketegangan antara KPK dengan Polri sekaligus mengakhiri dilema amanat konstitusi dan hukum serta desakan masyarakat. Soalnya Presiden keliru kalau melantik seorang tersangka menjadi Kepala Polri. Di lain sisi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merestui pencalonan Budi sehingga tak ada alasan untuk membatalkan. Di saat yang sama, desakan masyarakat begitu kuat agar Presiden melantik calon lain.

“Setidaknya apa yang sudah dikatakan oleh Mensesneg itu sebetulnya opsi ideal yang dibayangkan dari kami," kata Andi. Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, sebelumnya sudah terang-terangan meminta Budi Gunawan mundur. Namun saran dan permintaan itu ditolak Budi Gunawan. Dia tidak akan mundur jika proses praperadilan belum selesai.

Pelaksana Tugas Kepala Polri, Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti, kembali menegaskan bahwa Budi Gunawan menolak mengundurkan diri. Alasannya jelas, yaitu menunggu putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas gugatan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan.

Menurut Badrodin, Budi Gunawan menginginkan semua proses terlebih dahulu dijalani sehingga tak ada mekanisme yang dipangkas. Lagi pula, proses peradilan itu tak lama, kalau dikebut bisa hanya seminggu sudah dapat diputuskan ditolak atau diterima. Setelah hakim memutuskan, barulah keputusan mengundurkan diri atau sebaliknya bisa dibuat.

Badrodin berharap Budi Gunawan dapat membuat keputusan bijaksana setelah putusan praperadilan. "Mudah-mudahan bisa menentukan sikapnya untuk mundur atau tidak."

Menurut Andi, Presiden sesungguhnya menyiapkan beberapa skenario untuk menyelesaikan kerumitan persoalan itu. Di antaranya, Presiden melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri definitif lalu menonaktifkannya.

Skenario lainnya, menunda melantik sampai ada status hukum yang tetap. Opsi lain ialah membatalkan lalu mencalonkan nama baru. Pilihan terakhir adalah status quo alias membiarkan situasi seperti sekarang sambil menunggu kalkulasi baru.

"Kami di tim menyiapkan semua kerangka yang legal dan formal yang dibutuhkan Pak Presiden untuk menjalankan salah satu dari opsi ini. Apa pun yang akan dijalankan Presiden," katanya.

Kandidat

Buya Syafii mengaku sangat memahami betapa rumit persoalan yang berkaitan dengan Budi Gunawan dan KPK versus Polri. Hak Budi Gunawan untuk menolak mengundurkan diri meski beralasan menunggu putusan pengadilan. Presiden pun tak bisa memaksa karena Budi adalah calon tunggal yang diajukan Kepala Negara.

Ditambah proses pencalonan Budi telah melewati mekanisme yang diatur sesuai Undang-Undang. DPR bahkan secara aklamasi meluluskan Budi dalam uji kelayakan dan kepatutan, yang berarti Dewan tak menyoal calon yang diajukan Presiden.

"Bagi saya itu berat sekali. Dilantik, lalu diminta berhenti. Kalau tidak mau berhenti, kan, repot itu. DPR punya apa (kepentingan) sendiri bukan," kata Buya.

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, tak sependapat dengan usulan atau saran agar Budi Gunawan mengundurkan diri. Permintaan mundur kepada Budi Gunawan sama saja dengan Pemerintah meragukan keputusan DPR. Soalnya DPR diminta memberikan pertimbangan oleh Presiden atas usulan calon Kepala Polri. "Kalau tidak ada usulan, tidak ada pertimbangan DPR," ujarnya.

Sayangnya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah menyiapkan beberapa nama untuk menggantikan Budi Gunawan. Empat nama yang semua adalah calon yang diajukan bersama Budi Gunawan sebelumnya. Antara lain, Inspektur Jenderal Polisi Dwi Prayitno (kini menjabat Inspektur Pengawasan Umum), Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti (kini Wakil Kepala Polri sekaligus Pelaksana Tugas Kepala Polri), Komisaris Jenderal Polisi Putu Eko Bayu Seno (kini menjabat Kepala Badan Pemeliharaan Kemananan), dan Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Aliyus (mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal)

Menurut Komisioner Kompolnas, Edi Saputra Hasibuan, pergantian nama calon Kepala Polri sangat mungkin dilakukan Presiden dan tidak ada kendala dalam menjaring nama menggantikan Budi Gunawan.

"Kompolnas telah memberikan sembilan nama, berikutnya lima nama calon Kapolri kepada Presiden sebagai bahan pertimbangan, jadi tidak ada kendala," kata Edi kepada VIVA.co.id.

Presiden, kata Edi, memiliki hak khusus untuk menentukan siapa dari deretan jenderal di Polri yang layak menggantikan Budi Gunawan. Tak hanya empat nama jenderal berbintang tiga yang telah disodorkan Kompolnas kepada Presiden tapi juga jenderal polisi yang masih bintang dua.

"Bintang dua pun bisa saja dipilih, tidak ada yang harus selalu yang berbintang tiga. Nanti, kan, bisa diputuskan Dewan Kebijakan," Edi menambahkan.

Langkah tepat

Buya Syafii menegaskan tak mau terlibat menentukan calon baru Kepala Polri jika Budi Gunawan benar-benar dibatalkan. Itu sepenuhnya hak Presiden dan Kompolnas yang berwenang mengusulkan nama baru. Tim Sembilan pada dasarnya tak memiliki kekuatan hukum melainkan hanya diminta memberikan pertimbangan.

Namun dia mewanti-wanti Kompolnas agar lebih berhati-hati memberikan rekomendasi kepada Presiden tentang calon baru Kepala Polri. "Jangan sampai nanti heboh (bermasalah) lagi seperti saat ini," katanya.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menilai langkah tepat jika Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan. Kalau Presiden memaksakan mengukuhkan Budi, sangat tidak efisien dan menyulitkan kinerja sebagai Kepala Polri.

"Kalau sudah jadi tersangka nanti, kan, pasti jadi terdakwa. Bila diperlukan, bila sudah jadi terdakwa, akan dilakukan penahanan. Ini sangat tidak efektif dan menyulitkan Kapolri," katanya kepada VIVA.co.id.

Dari aspek moral dan hukum, kata Refly, tidak melantik seorang calon Kepala Polri yang menjadi tersangka korupsi sejalan dengan TAP MPR Nomor XI tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999. Substansinya adalah komitmen penyelenggara negara untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Peneliti senior kebijakan publik pada Lingkaran Survei Indonesia, Toto Izul Fatah, mengamini pendapat Refly. Menurutnya, sekaranglah momentum paling tepat bagi Jokowi untuk membuktikan diri sebagai Kepala Negara, bukan lagi petugas partai, yakni PDIP.

Momentum itu ialah Jokowi dengan tegas membatalkan melantik Budi Gunawan sebagai Kepala Polri dan memilih calon lain. Kalau tidak, Jokowi akan tetap dan terus dianggap lebih patuh kepada partai pengusungnya ketimbang memenuhi aspirasi rakyat yang memilihnya.

“Ini momen tepat bagi dia (Jokowi) untuk membuktikan diri bukan petugas partai. Momen seperti ini jarang datang berkali-kali,” kata Toto kepada VIVA.co.id.

Toto, yang juga Direktur Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia (Cikom LSI), mengaku sangat memahami bahwa PDIP sebagai pengusung utama Budi Gunawan pasti bereaksi keras kala Jokowi memilih calon lain untuk menjadi Kepala Polri. Tetapi itu bagian dari risiko yang diambil seorang pemimpin.

Risiko terburuk bagi Jokowi, kata Toto, Megawati marah dan PDIP bisa saja menarik dukungan politiknya. Namun itu tak masalah karena Jokowi dipilih rakyat, bukan PDIP atau partai politik dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Jokowi harus memilih: kehilangan dukungan politik dari partai di KIH atau tak lagi dipercaya publik sebagai pemimpin yang tegas. Kalau Jokowi lebih takut kehilangan dukungan KIH, legitimasinya di mata masyarakat tergerus. (umi)


Baca berita lain:



KPK Setor Uang ke Kas Negara Rp1,1 Miliar dari Eks Pejabat Muara Enim
Ilustrasi Foto Firli Bahuri dan Karyoto (Sumber Majalah Tempo 26 November 2023)

Integritas Firli Bahuri dan Komitmen Penegakan Hukum Irjen Karyoto

Setelah mempertimbangkan semua bukti-bukti pelanggaran etik yang dilakukan Firli saya menyimpulkan Firli memang bukan pribadi yang berintegritas.

img_title
VIVA.co.id
8 Januari 2024