Bencana Hukum Paska Putusan Praperadilan Budi Gunawan

Komjen Budi Gunawan usai menjalani fit and proper test di Gedung DPR.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA.co.id - Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan disambut sorak gembira seratusan lebih anggota polisi yang berjaga di depan Gedung PN Jakarta Selatan, Senin, 16 Februari 2015. Majelis hakim baru saja mengabulkan gugatan Komisaris Jenderal Budi Gunawan atas penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ratusan anggota polisi itu sedianya bertugas menjaga jalannya persidangan. Mereka ikut bersorak melebur bersama ratusan demonstran pendukung Budi yang sudah memadati PN Jakarta Selatan sejak pagi. Para polisi muda itu ikut berjoget, larut terbawa euforia pasca dikabulkannya gugatan mantan Kapolda Bali itu oleh pengadilan.

Sarpin Rizaldi, hakim tunggal yang memimpin jalannya sidang putusan praperadilan mengabulkan sebagian permohonan Budi Gunawan dan menolak untuk seluruhnya keberatan pihak termohon, yakni KPK. Hakim menyatakan, penyidikan KPK atas perkara korupsi Budi Gunawan tidak sah.

"Menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon (Budi Gunawan) oleh termohon (KPK) adalah tidak sah," kata Hakim sarpin di Pengadilan negeri Jakarta Selatan, Senin 16 Januari 2015.

Hakim berpendapat, KPK tidak bisa mengusut kasus yang menjerat Budi Gunawan. Karena sebagaimana Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, kasus korupsi yang menjerat Budi Gunawan tidak masuk dalam kewenangan KPK.

Dalam pertimbangannya, Hakim Sarpin mengatakan, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan nomor 03/01/01/2015 pada 12 Januari 2015, Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai kepala biro pengembangan karir (Karo Binkar) Deputi SSDM Polri. Peristiwa pidana itu dilakukan dalam rentang tahun 2003-2006.

Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri, jabatan Karo Binkar merupakan jabatan administrasi atau pelaksana staf yang berada di bawah deputi Kapolri. Jabatan Karo Binkar setingkat pejabat eselon II dan bukan penegak hukum.
"Tidak termasuk dalam golongan penyelengggara negara karena tidak masuk eselon 1," kata Hakim Sarpin.

Kapolri Akan Pensiun, Jokowi Diminta Cermat Pilih Pengganti

Menurut dia, peristiwa pidana yang dilakukan Budi Gunawan saat itu tidak termasuk dalam subjek kewenangan KPK. Dimana salah satu kewenangan KPK diatur dalam UU antara lain adalah penyelenggara negara atau penegak hukum.

Lagi pula selama persidangan berlangsung, terang hakim, pihak KPK tidak dapat menyampaikan dokumen atau bukti yang menjelaskan bahwa Budi Gunawan masuk dalam kualifikasi penegak hukum atau penyelenggara negara.

Padahal saksi penyelidik KPK di persidangan sebelumnya mengakui pada proses penyelidikan sudah dibahas kapasitas Budi Gunawan dalam kasus ini.

"Dengan demikian pengadilan berkesimpulan bahwa termohon tidak dapat membuktikan pemohon saat menjadi Karo Binkar sebagai penegak hukum atau penyelenggara negara," paparnya.

Selain itu, Hakim Sarpin juga menilai sangkaan pasal yang digunanan KPK kepada Budi Gunawan adalah pasal terkait penyalahgunaan wewenang, yakni Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, tidak mengatur soal kerugian negara.

Komjen BG: Pak Kapolri Masih Lama Pensiun

Sementara objek kewenangan KPK sebagaimana Pasal 11 UU KPK, lembaga antikorupsi itu berwenang menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau penegak hukum yang menimbulkan kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.

Di samping itu, Hakim Sarpin menilai polemik Budi Gunawan baru terjadi ketika dia menjadi calon tunggal Kapolri, yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka sehari sebelum menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Sebelumnya, masyarakat tidak banyak yang mengenal siapa Budi Gunawan.

"Sehingga kualifikasi mendapat perhatian keresahan masyarakat tidak terpenuhi," tutur hakim.

Berdasarkan pertimbangan diatas, Hakim Sarpin Rizaldi menyatakan penetapan Budi Gunawan berdasarkan Sprindik nomor 03/01/01/2015, tanggal 12 Januari 2015, sebagai tersangka oleh KPK tidak sah. Hakim kemudian menyatakan penyidikan kasus Budi Gunawan tidak memiliki kekuatan hukum tetap.

Meski tidak semua permohonan Budi Gunawan dikabulkan, Hakim Sarpin menolak permohonan kuasa hukum Budi Gunawan yang meminta seluruh berkas terkait tersangka termasuk laporan hasil analisis, diserahkan kepada penyidik asal, yang dalam hal ini Polri.

Selain itu, hakim Sarpin juga menolak permintaan ganti kerugian satu juta rupiah yang diajukan oleh kubu Budi Gunawan.

Kapolri Badrodin: Semua Perintah Saya, Bukan Budi Gunawan

Reaksi KPK

Kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Catharina M Girsang menerima apapun keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan Budi Gunawan atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK.

"Intinya KPK tentu sudah mempersiapkan putusan apapun dengan hal-hal apapun," kata Catharina saat ditemui usai sidang putusan.

Catharina mengaku segera melaporkan putusan pengadilan ini ke pimpinan KPK. Tim kuasa hukum akan membicarakan langkah-langkah hukum yang bisa ditempuh selanjutnya. Terlepas dari hal itu, Catharina menilai putusan ini akan berdampak serius dalam penegakkan hukum.

"Yang pasti setelah ini, semua yang menjadi tersangka baik di Polri, Kejaksaan atau KPK akan mengajukan praperadilan," ujar Catharina.

Dalam putusannya, Catharina menilai hakim tidak konsisten dalam penerapan hukum. "Ada suatu prosedur hukum yang keluar dari jalurnya, pakai asas legalitas dalam KUHP bukan KUHAP. Ini yang kami agak bingung," tegasnya.

Sementara itu, Deputi Pencegahan KPK, Johan Budi mengatakan, pimpinan KPK bersama biro hukum dan penyidik langsung bergerak cepat dengan menggelar rapat membahas sikap yang akan diambil terkaitr putusan praperadilan Budi Gunawan.

Menurut Johan, ada dua hal yang dibahas dalam rapat pimpinan dengan tim KPK. Pertama, KPK sebagai penegak hukum menghormati apapun putusan praperadilan, dan kedua, KPK belum memutuskan apapun sebelum menunggu salinan putusan secara lengkap.

Salinan putusan itu lanjut Johan, akan dikaji oleh biro hukum KPK sebagai dasar pertimbangan sikap KPK selanjutnya terhadap isi putusan itu.

"KPK butuh mempelajari putusan secara lengkap dan belum ada langkah apapun sebelum membaca putusan hasil praperadilan," ujar Johan di Gedung KPK, Jakarta.

Johan tidak menampik ketika disinggung apakah salah satu opsi yang dibahas adalah mengenai rencana Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu. "Yang ada, apakah akan PK atau tidak tapi kita akan pelajari dulu putusan praperadilan," kata Johan.

Reaksi sebaliknya ditunjukkan kuasa hukum Budi Gunawan, Maqdir Ismail yang meminta agar KPK segera mematuhi putusan pengadilan untuk menghentikan proses penyidikan terhadap Budi Gunawan.

Maqdir mengakui, Undang-Undang KPK memang tidak membolehkan KPK mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan). Tapi sebagai penegak hukum, tegas dia, KPK wajib mengikuti perintah Undang-Undang dan hakim telah menyatakan proses penyidikan Budi Gunawan di KPK tidak sah.

"Secara otomatis, KPK harus menghentikan penyidikan. Tidak ada  alasan apapun lagi," ujar Maqdir.

Maqdir menegaskan, tidak ada alasan bagi KPK untuk terus melanjutkan proses penyidikan terhadap kliennya. Putusan pengadilan, kata dia, mengikat dan harus segera dilaksanakan oleh KPK.

Alasan hakim Sarpin, kata Maqdir, sudah jelas. Bahwa kliennya bukan penyelenggara negara, bukan penegak hukum, dan tidak ada kerugian negara, pada saat KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka gratifikasi.

"Perkara ini juga awalnya tidak ada perhatian masyarakat. Baru ada perhatian masyarakat setelah Komjen Budi ditetapkan sebagai Kapolri. Tak lama ditetapkan sebagai tersangka. Kita baru ribut di situ," ujar Maqdir.

Oleh karena itu, KPK harus segera mengeksekusi putusan hakim. Lalu, bagaimana jika KPK tetap menjalankan proses hukum terhadap Komjen Budi Gunawan?

"Saya kira harus kami hadapi. Saya kira kita serahkan ke masyarakat, siapa yang mau menang-menangan, siapa yang mau berkuasa. Menurut hemat saya, mereka harus menghentikan seluruh proses hukum Pak Budi Gunawan," ujar Maqdir.

Tanggapan Budi Gunawan

Putusan sidang praperadilan ini diakui Komjen Budi Gunawan sebagai pertanda bahwa kebenaran dan keadilan yang hakiki telah ditemukan dalam sidang praperadilan. "Saya mengucapkan syukur kepada Allah," kata Budi dalam perbicangan bersama tvOne.

Budi menegaskan, poin penting dalam putusan praperadilan adalah mengabulkan gugatannya yang menyatakan Sprindik tentang penetapan dia sebagai tersangka oleh KPK tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Di samping itu peristiwa pidana yang disangkakan kepada dia juga tidak berdasar hukum. Dengan kata lain, KPK tidak punya wewenang melakukan penyidikan terhadap dia, dan penyidikan KPK terhadap Budi Gunawan tidak sah dan tidak punya kekuatan hukum.

"Yang perlu dijelaskan, tidak pernah ada itu tindak pidana korupsi sebagaimana dipersangkakan oleh KPK. Ini yang perlu dijelaskan supaya masyarakat jelas," terang Budi.

"Saya sangat berharap harkat dan hak martabat saya dipulihkan kembali itu yang terpenting," tegasnya.

Sebagai tindak lanjut darin putusan ini, Budi Gunawan langsung menemui Presiden Jokowi di Istana Bogor. Dalam pertemuan yang juga dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Budi melaporkan hasil sidang putusan praperadilan kasusnya di PN Jakarta Selatan.

"Kedua, beliau (Jokowi) sampaikan selamat, dan nanti (putusan praperadilan) akan dijadikan sebagai masukan beliau dalam mempertimbangkan. Dalam waktu dekat ada yang mau beliau putuskan," paparnya.

Budi mengklaim putusan praperadilan kasusnya akan dijadikan instrumen utama Presiden Jokowi dalam mengambil keputusan calon Kapolri. Dia mengaku pasrah apapun keputusan Presiden nantinya soal posisi orang nomor satu di Polri.

"Jabatan Kapolri bukan diatas segala-galanya. Karena jabatan itu dalam agama saya adalah amanah, setiap saat bisa diambil kapan saja. Kami tidak berandai-andai, apapun yang beliau (Jokowi) putuskan kami siap," ujar Budi.

Mantan Kapolda Bali itu menegaskan bahwa putusan praperadilan ini pada dasarnya bukan untuk kepentingannya dia seorang. Lebih dari itu, putusan ini untuk perkembangan hukum ke depan. "Sebagai anggota Polri, saya tidak bisa berdiam diri ada kesewenang-wenangan. Biar saya orang terakhir yang mengalami seperti ini, jangan ada lagi," tegas dia lagi.

Harus Dilantik

Pasca putusan ini, Anggota DPR ramai-ramai mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Desakan ini berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan praperadilan status tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK.

"Silakan Presiden atau pihak mana pun mengambil langkah. Kalau tidak sesuai hukum, maka Komisi III akan mengambil langkah-langkah yang sesuai hukum," kata Ketua Komisi III, Azis Syamsuddin, di gedung DPR, Jakarta.

Sikap ini dilandasi surat Presiden Joko Widodo per tanggal 9 Januari 2015. Inti surat itu menerangkan, pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri untuk secepatnya diproses, dan memberhentikan Jenderal Sutarman sebagai Kapolri.

Menurut Azis, dengan begitu maka sudah seharusnya Komjen Budi Gunawan dilantik sebagai Kapolri.

"Secara hukum bahwa saudara Budi Gunawan dengan surat Presiden itu sudah mendapat persetujuan DPR. Kalau tidak melantik atas surat yang dikirim saudara Presiden, maka tidak sesuai aturan hukum yang berlaku," jelas Azis.

Untuk itu, Komisi akan melakukan rapat pleno untuk mengajukan surat ke Presiden Joko Widodo agar melantik Budi Gunawan. Surat itu nantinya akan disampaikan melalui pimpinan DPR.

Senada dengan Aziz, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon juga meminta agar putusan praperadilan yang memenangkan gugatan Komjen Budi Gunawan dibaca Presiden Jokowi untuk tidak menunda lagi pelantikan Budi sebagai Kapolri.

"Sehingga tidak ada yang perlu ditunggu lagi oleh Jokowi untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri," kata Fadli Zon.

Menurut Wakil Ketum Partai Gerindra ini, putusan sidang praperadilan yang diajukan oleh Komjen Budi Gunawan, harus menjadi titik akhir masalah penundaan pelantikan Kapolri oleh Presiden.

"Kita harus hormati hasil dari proses hukum yang sudah dijalankan. Apapun putusannya setiap pihak yang berkonflik harus menghormatinya. Oleh karenanya, keputusan yang telah ditetapkan juga harus dijalankan dengan baik," ujar Fadli Zon.

Meski gugatan Budi Gunawan diterima, Mabes Polri mengaku tidak ikut campur dalam pelantikan calon Kapolri. Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum), Komisaris Besar Rikwanto, Polri tidak masuk dalam ranah mendesak pelantikan Komjen Budi Gunawan.

"Polri tidak ikut campur, karena itu wewenang Presiden Joko Widodo," kata Rikwanto di kantornya, Jakarta.


Anggota Tim Sembilan, Bambang Widodo Umar mengaku tetap merekomendasikan Presiden Jokowi untuk tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, walaupun gugatan praperadilan dikabulkan.
"Rekomendasi kita tetap. Kita menyatakan tetap tidak dilantik," kata anggota Tim Sembilan, Bambang Widodo Umar.

Bambang menilai, langkah itu demi menjaga marwah dan kehormatan kepolisian dan lembaga hukum lain di Indonesia. Sebab, seorang calon kapolri terjerat kasus hukum di KPK.

"Kalau Polri dan Kejaksaan Agung yang ada di bawah presiden tidak dibenahi kemungkinan (ada masalah) begini terus," ujarnya.

Isyarat Jokowi tidak akan melantik Budi Gunawan juga diyakini Ketua Tim Sembilan Syafii Maarif. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini yakin Jokowi tidak akan melantik Budi Gunawan meskipun gugatannya dikabulkan.

"Intuisi saya mengatakan, BG tidak akan dilantik," terang Syafii kepada VIVA.co.id.

Efek Domino

Mantan Ketua Mahkamah Agung, Arifin menilai pertimbangan putusan hakim praperadilan Budi Gunawan, Sarpin Rizaldi aneh dan mengada-ada.

"Memperluas kewenangan praperadilan dengan alasan tidak diatur, itu kan ngaco. Praperadilan sudah diatur dengan jelas kewenangannya," ujar Tumpa saat berbincang dengan VIVA.co.id.

Tumpa menjelaskan, praperadilan diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di pasal itu, hanya ada lima kewenangan praperadilan, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan permintaan ganti rugi.

Menurut Tumpa, ada tiga proses untuk menghentikan seseorang menjadi tersangka. Pertama, ada Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena kurangnya bukti.

Kedua, perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan. Ketiga, setelah melalui proses di pengadilan. Jika pengadilan menyatakan bebas, maka orang itu bebas.

"Jadi dia menabrak kewenangan. Itu bukan kewenangan praperadilan, itu kewenangan pengadilan. Pertimbangan hakim itu ngaco," kata Tumpa.

Dia mengaku khawatir terhadap putusan hakim praperadilan Sarpin Rizaldi. Sebab ke depannya, putusan ini akan berdampak signifikan terhadap sistem hukum di Indonesia. 

"Kalau semua yang dijadikan tersangka bisa praperadilan, tidak ada lagi perkara. Semua berhenti di praperadilan. Tidak ada pengadilan," ujar Tumpa.

Tumpa mengaku bingung dengan putusan hakim Sarpin. "Jadi, pertimbangan itu mengada-ada untuk mencapai sesuatu tujuan yang ingin dicapai guna mengabulkan pengajuan permohonan. Saya tidak tahu latar belakang tujuannya, saya tidak tahu. Tapi, dia menabrak kewenangan. Itu bukan kewenangan praperadilan," ujar Tumpa.

Saat ini terang dia, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh KPK terkait putusan hakim Sarpin. Sebab, putusan hakim praperadilan berkekuatan hukum tetap.

Lalu, bagaimana dengan langkah KPK yang akan menempuh Peninjauan Kembali (PK) terkait putusan ini?  "Dari segi hukum, PK itu tidak ada. Itu, kacaunya di situ terkait putusan ini," terang dia.

Saat ini, menurut Tumpa, tinggal inisiatif dari hakim Mahkamah Agung. Apakah akan berinisiatif menggunakan fungsi pengawasannya atau tidak terkait putusan yang dibuat hakim Sarpin. Jika dalam prosesnya putusan itu menyimpang, kata Tumpa, MA bisa membatalkan putusan itu.

"MA bisa menggunakan fungsi pengawasan. Dengan fungsi itu, MA bisa meluruskan apa yang menyimpang," kata Tumpa.

Sementara itu, Komisi Yudisial, kata Tumpa, bisa menggunakan kewenangannya untuk melihat apakah ada pelanggaran etik terhadap hakim Sarpin. "Jadi, kalau KY mendapatkan ada faktor X, sehingga hakim memutuskan demikian, maka KY bisa masuk. KY dari segi teknis, dari segi hukumnya MA," ujar Tumpa.

Sebelumnya Juru Bicara Serikat Pengacara Rakyat, Habiburokhman, dalam keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Minggu 15 Februari 2015, mengakui jika putusan praperadilan dikabulkan hakim, maka hal ini akan menjadi ujian terberat bagi KPK sepanjang sejarah.

"Terus terang kali ini kami khawatir KPK bisa kalah di praperadilan, dan itu bisa berarti “kiamat kecil” bagi gerakan pemberantasan korupsi," ujar Habiburokhman.

Habiburokhman mengatakan, kasus praperadilan BG adalah salah satu tonggak penting bagi eksistensi KPK. Kekalahan KPK di praperadilan kasus BG sangat mungkin akan membawa efek domino terhadap pelemahan KPK. Karena secara politik posisi KPK rapuh dan para komisionernya diserang persoalan hukum bertubi-tubi. Selengkapnya simak: (umi)

Baca juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya