Retak Diplomasi karena Eksekusi Mati

Aksi Dukungan Kritik Tonny Abott
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Nadlir

VIVA.co.id - Pemerintah Indonesia kembali menjadwalkan eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba. Kali ini Myuran Sukumaran dan Andrew Chan mendapat giliran. Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menolak grasi yang diajukan dua warga negara Australia tersebut. Kini, duo jaringan narkoba "Bali Nine" ini tinggal menunggu waktu.

Besok, Australia Hadiri Forum Energi Bersih di Bali

Presiden Jokowi menegaskan, pemerintah tidak akan memberi ampun kepada gembong narkoba. Jika tertangkap, para pengedar barang haram ini akan dihukum mati, jangan harap mendapat grasi. Penolakan pemberian grasi dilakukan, karena Indonesia sudah darurat narkoba karena saat ini Indonesia tak hanya sebagai persinggahan, namun juga menjadi produsen narkoba. "Kami ingin memberikan sinyal, jangan main-main dengan Indonesia sekarang,” ujar Jaksa Agung HM Prasetyo beberapa waktu lalu.

Hukuman mati tak hanya diperuntukkan bagi warga negara Indonesia, namun juga berlaku bagi warga negara asing. Ini bukan isapan jempol. Enam terpidana mati kasus narkoba sudah menjemput ajal setelah dieksekusi regu tembak Polri pertengahan bulan lalu. Mereka adalah Tran Thi Bich Hanh, Namaona Denis, Marco Archer Cardoso Mareira, Daniel Enemua, Ang Kim Soei dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia.

Kedubes Australia Terima 15.000 Koin untuk Abbott

Rencananya, eksekusi terhadap Andrew dan Myuran akan dilakukan bulan ini. Namun, karena alasan teknis, eksekusi ditunda. Meski demikian, pemerintah memastikan, eksekusi tetap akan dilaksanakan. Penundaan hanya berlangsung antara tiga pekan hingga satu bulan. "Pak JK menyebut eksekusi mati akan tetap dilakukan. Penundaan ini bukan pembatalan eksekusi," ujar Juru Bicara Wapres, Hussain Abdullah, Jumat, 20 Februari 2015.

Andrew Chan, dan Myuran Sukumaran adalah anggota dari Bali Nine yang tertangkap pada 17 April 2005 di Bali akibat menyelundupkan heroin seberat 8,3 kilogram senilai US$4 juta dari Indonesia ke Australia. Mereka divonis mati pada tahun 2006 silam. Bali Nine adalah sebutan untuk sembilan orang yang tertangkap tersebut. Kesembilan orang ini adalah Andrew Chan yang disebut sebagai "godfather" kelompok ini. Kemudian Myuran Sukumaran, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush dan Martin Stephens.

Kemenlu Anggap Wajar Upaya Australia Batalkan Eksekusi Mati

Australia Meradang

Rencana eksekusi mati terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran memicu protes Pemerintah Australia. Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott menyebut, eksekusi ini sebagai aksi barbar. "Kami membenci hukuman mati dan menganggapnya barbar," ujarnya, Sabtu, 14 Februari 2015.

Reaksi keras juga datang dari Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop. Ia melontarkan pernyataan bernada ancaman. Jika eksekusi mati tetap dilakukan, akan ada aksi boikot dari masyarakat Australia terhadap Indonesia. Ia mengatakan, turis Australia bisa memboikot Indonesia.

Bishop memperingatkan, Indonesia jangan meremehkan kekuatan perasaan publik Australia terkait eksekusi mati terhadap Andrew dan Myuran. Ia mengatakan, eksekusi mati itu bisa mempengaruhi publik Australia untuk tak berlibur ke Indonesia. "Saya pikir orang Australia akan mendemonstrasikan ketidaksetujuan mereka, dengan membuat keputusan tentang ke mana mereka ingin berlibur."

Abbot mengancam akan mencari cara untuk balas dendam. Ia menyatakan akan melakukan tindakan balik terhadap Indonesia sebagai bentuk protes atas eksekusi mati dua warga negaranya tersebut. Ia menyatakan, eksekusi mati Myuran Sukumaran dan Andrew Chan bisa mengusik hubungan baik antara Australia dan Indonesia selama ini.

Ia mengatakan, selama ini Australia sudah berbuat baik kepada Indonesia. Abbot mengklaim, Aussie sering membantu Indonesia. Salah satunya, Australia pernah memberi bantuan cukup besar kepada Indonesia, saat Aceh diterjang tsunami. Negeri Kanguru tersebut memberikan bantuan sebesar AU$1 juta untuk penanganan korban tsunami.

Gerakan koin untuk Australia

Pernyataan Abbot yang mengungkit-ungkit bantuan terhadap korban tsunami Aceh langsung menuai reaksi dan protes keras dari masyarakat di Tanah Air. Omongan Abbot yang dikutip banyak media asing itu membuat rakyat Indonesia gerah. Mereka pun melancarkan gerakan #koinuntukAustralia di media sosial.

Tanda pagar (Tagar) ini telah meramaikan jejaring sosial Twitter sejak 18 Februari lalu. Dalam tagar itu tersemat beberapa foto berupa koin yang dikumpulkan untuk mengganti dana bantuan yang pernah diberikan Australia.

Tweet lain menulis dalam bahasa Inggris mengenai gambar yang mereka posting. Dalam foto itu, sekelompok pemuda memegang uang receh seraya memasukkan ke dalam kardus yang sudah ditulis Koin untuk Australia. “Kami kumpulkan koin, bila perlu kita akan kembalikan uang Australia yang sudah diberi ke kita. Saya rasa seluruh masyarakat Aceh juga berpendapat sama,” ujar Intan, warga Aceh Utara, Sabtu, 21 Februari 2015.

Protes tak hanya dilakukan di dunia maya. Sejumlah orang yang tergabung dalam Koalisi Pro Indonesia menggelar aksi demonstrasi guna menggalang petisi dukungan 'Coin For Australia' untuk memprotes pernyataan Tony Abott yang meminta Indonesia untuk mengingat bantuan Australia saat Tsunami terjadi.

Andi Sinulingga, inisiator dan koordinator aksi mengatakan, aksi tersebut sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah Indonesia agar segera mengeksekusi mati dua gembong narkoba asal Australia tersebut. Dia mengecam keras pernyataan Abbot terkait bantuan korban tsunami Aceh yang ingin ditukar dengan nyawa dua gembong narkoba. "Kalau rakyat kita bersatu, kasih sumbangan maka kita bisa bayar Australia kok. Kita sering dilecehkan," ujarnya di Bundaran HI, Jakarta, Minggu, 22 Februari 2015.

Protes serupa juga datang dari Bandung, Jawa Barat. Sejumlah Ormas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Pasundan ini menggelar aksi mengecam pernyataan Abbot yang mengungkit bantuan kemanusiaan terhadap korban tsunami.

Ketua LSM GMBI Muhammad Faudzan menilai, sikap Abbot yang menolak hukuman mati terhadap dua pengedar narkoba asal negaranya sudah mencampuri urusan negara lain. "Australia telah menghina harga diri dan kedaulatan negara Indonesia," ujarnya , Minggu, 22 Februari 2015.

Koalisi Ormas dan LSM ini mendukung sikap pemerintah yang akan mengeksekusi duo Bali Nine itu. Mereka mendesak agar eksekusi dipercepat. Pasalnya, ulah mereka telah menghancurkan generasi muda Indonesia. Mereka menilai, narkoba lebih berbahaya dibanding terorisme. Senada dengan Andi, mereka juga mendesak agar pemerintah mengembalikan bantuan Australia.

Brasil Tolak Dubes RI

Tak hanya Australia yang meradang, Brasil juga masih menyimpan marah. Presiden Brasil Dilma Roussef menunda menerima surat kepercayaan yang dibawa Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto. Penolakan itu terjadi pada Jumat lalu, saat Toto di Istana Presiden Brasil.

Toto berada di Istana Presiden guna menyerahkan surat kepercayaan dari Pemerintah Indonesia. Selain Toto, terdapat beberapa Dubes dari negara lain, antara lain Dubes Venezuela, Maria Lourdes Urbaneja, Dubes Panama, Edwin Emilio Vergara dan Dubes Salvador, Diana Marcela Vanegas. Namun, Toto tiba-tiba diinformasikan bahwa Presiden Rousseff tak bersedia menerima surat kepercayaan tersebut.

Akibat kasus ini, Pemerintah Indonesia telah memanggil Toto kembali ke Tanah Air. Direktur Jenderal Amerika dan Eropa, Dian Triansyah Djani mengatakan, kehadiran Toto atas undangan Presiden Brasil, Dilma Roussef.

"Namun, setelah berada di Istana tiba-tiba beliau diinformasikan penyerahan surat kepercayaan ditunda. Mereka mengatakan ingin menunggu klarifikasi eksekusi mati dari Pemerintah Indonesia," kata Trian dalam program Apa Kabar Indonesia Akhir Pekan di tvOne, Sabtu, 21 Februari 2015.

Trian mengatakan, Toto akan berada di Jakarta hingga waktu yang tidak ditentukan. Ia menilai, langkah Brasil tak bersahabat dan melanggar norma etika diplomatik. Dalam hubungan diplomatik, semua negara seharusnya mengacu kepada Konvensi Wina yang menyatakan, semua diplomat atau Dubes harus diperlakukan dengan hormat dan bermartabat. Sebab, mereka merupakan perwakilan dari pemerintah suatu negara.

Selain meminta Toto kembali, Kemlu juga memanggil Dubes Brasil untuk Indonesia, Paulo Alberto da Siveira Soares. "Kepada Dubes Brasil, kami menyampaikan nota protes keras yang berisi apa yang telah mereka lakukan kepada Dubes kami telah melanggar semua prinsip di antara kedua negara."

Presiden Brasil, Dilma Rousseff, membenarkan telah menolak surat kepercayaan Duta Besar RI, Toto Riyanto.  Namun, Rousseff berdalih. Ia tak menolak surat kepercayaan, hanya menunda. "Kami yakin situasi terus berkembang untuk memperjelas mengenai kondisi hubungan kami dengan Indonesia," ujarnya seperti dikutip dari Fox News, Jumat, 20 Februari 2015.

Saat ini, satu warga Brasil lainnya, Rodrigo Muxfeldt Gularte terancam eksekusi mati dalam waktu dekat. Sama seperti sebelumnya, Rousseff juga telah mengirim surat pengampunan kepada Presiden Jokowi. Pemerintah Brasil meminta, agar eksekusi terhadap Gularte dibatalkan.

Turut melaporkan Asep/Bandung


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya