100 Hari Jadi Gubernur, Nasib Ahok di Ujung Tanduk

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA.co.id - Seratus hari lalu, ratusan massa seragam serba putih  menyemut di ring 1 ibukota. Perlengkapan untuk beraksi dipersiapkan. Mobil pengeras suara mulai dinyalakan. Mereka menyerbu kantor Gubernur DKI Jakarta. Tujuannya menolak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jadi pemimpin baru di ibu kota negara.

BNI Bakal Terbitkan Global Bond US$500 Juta, Jadi Incaran Investor Asing

Saat itu dari luar gedung Balai Kota, Jakarta, suara pekikan Allahu Akbar terdengar lantang. Suasana begitu riuh. Polisi pun mulai berjaga, khawatir aksi yang dipimpin Ketua FPI Rizieq Shihab itu berlangsung anarki.

Aksi yang berlangsung berhari-hari itu tak digubris Ahok. Dia tetap melenggang santai dan menjalankan tugasnya yang ketika itu menjabat sebagai pelaksana tugas Gubernur. Upaya penentangan Ahok ternyata didukung sebagian anggota DPRD DKI. Anggota dewan punya alasan.

Dasarnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Meski aksi penolakan itu santer, namun pada kenyataannya, Ahok tetap dilantik oleh lawan duetnya di pilgub DKI, Joko Widodo yang kini menjabat sebagai Presiden. Ahok bahkan menjadi Gubernur pertama yang dilantik Jokowi pada tanggal 19 November 2014 lalu.

Kebijakan Kontroversial

Bank Muamalat Cetak Laba Rp 14,1 Miliar pada 2023, Aset Tumbuh 9 Persen

Hari ini Kamis, 26 Februari 2015 terhitung sudah 100 hari Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Banyak kebijakan kontroversial yang ia tempuh.

Tak lama setelah dilantik jadi Gubernur, Ahok menyiapkan jurus jitu membenahi Jakarta dan seisinya. Permasalahan yang bersinggungan langsung dengan warga ialah kemacetan.

Lampaui Target Pemerintah, Kredit UMKM BRI Tembus 84,38 Persen

Secara mengejutkan, dia mengumumkan melarang sepeda motor masuk ke jalan utama Jakarta mulai dari Bundaran Hotel Indonesia hingga Jalan Medan Merdeka.

Dia bekerjasama dengan Polda Metro Jaya untuk menindak pengendara motor yang masih nekat melintas. Polisi pun menerapkan denda Rp500 ribu bagi motor yang melanggar. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak 17 Januari 2015.

Di awal tahun baru 2015 ini, Ahok juga membuat kebijakan mengejutkan yakni merotasi ribuan PNS dari tingkatan eselon paling rendah hingga setingkat kepala dinas.

Pemprov DKI mulai melakukan seleksi jabatan sejak bulan September 2014 yang lalu. Seleksi ini dilakukan untuk membersihkan jajarannya dari pejabat-pejabat yang korup serta tidak kompeten.

Pejabat baru hasil seleksi itu merupakan pejabat terbaik. Karena, selain telah lulus seleksi kompetensi dan psikologi, Pemprov DKI juga menilai kinerja pejabat yang bersangkutan saat menduduki posisi jabatan sebelumnya.

Di bawah pemerintahannya, Ahok secara tegas juga memutus kontrak dengan PT Jakarta Monorail terkait pembangunan moda transportasi monorel. Dia bahkan sudah mengirimkan surat pemutusan kontrak itu ke kontraktor langsung.

Menurutnya, aturan pemutusan kontrak yang dirumuskan oleh Pemprov DKI pada tahun 2011 lalu kurang tegas. Hal ini menyebabkan PT JM terus memiliki hak pembangunan proyek.

Mereka bahkan mengklaim kepemilikan tiang pancang yang dibangun di atas tanah milik Pemprov DKI, walaupun perusahaan swasta itu, telah terbukti tidak memiliki modal pembangunan sebesar 30 persen yang dipersyaratkan.

Sementara terkait jalur busway, meski masih wacana, pernyataan orang nomor satu di Jakarta kembali menuai kontroversi. Dia menyebut orang kaya boleh masuk ke jalur khusus bus TransJakarta dengan syarat membayar terlebih dahulu. Nantinya setiap mobil mewah itu akan dipasang alat pembayaran yang setiap masuk jalur busway akan dipotong secara otomatis.

Tak hanya itu, kebijakan penuh kontroversi juga diungkapkan Ahok terkait kenaikan tunjangan fantastis gaji PNS DKI. Tak tanggung-tanggung, pejabat setingkat lurah dan camat mendapat gaji yang cukup tinggi.

Ahok menerapkan sistem penggajian berdasarkan kinerja atau salary based on performance kepada para pegawai negeri sipil ini.

Dengan sistem itu, para PNS di Pemprov DKI bisa membawa besaran take home pay yang 'fantastis' itu setiap bulannya. Pasalnya, selain membawa pulang gaji pokok berdasarkan golongan dan TKD (Tunjangan Kinerja Daerah) yang dihitung berdasarkan prestasi kinerjanya, para PNS tersebut juga masih mendapatkan tunjangan jabatan dan tunjangan transportasi.

Namun upaya Ahok menaikan gaji jajarannya ini disorot Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi. Ahok diminta mempertimbangkan kembali kebijakannya itu. 

Bukan Ahok namanya jika tak mengeluarkan pernyataan yang dianggap di luar nalar. Setelah serangkaian kebijakan kotroversialnya itu, ia kembali membuat pernyataan yang menjadi sorotan. Ahok meminta polisi menempatkan sniper di setiap sudut Jakarta. Ini dilontarkan menanggapi hasil survei Economist Intelligence Unit (EIU) yang menobatkan Jakarta dalam jajaran kota paling tidak aman sedunia. Ini dilihat dari kualitas keamanan di 50 kota di dunia.

Pelibatan sniper itu, kata Ahok, akan disinergikan dengan pemanfaatan ratusan kamera CCTV berdefinisi tinggi yang sepanjang tahun ini akan terus dipasang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di seluruh sudut ibu kota. Namun hal itu tak disanggupi oleh polisi. Menurut Polda Metro Jaya, belum ada urgensinya menurunkan pasukan juru bidik tersebut.

Tak ada habisnya, ketika maraknya peredaran miras oplosan, Ahok malah mengeluarkan pernyataan dengan melegalkan peredaan miras di minimarket - minimarket yang beroperasi selama 24 jam di Jakarta. Tapi ada syarat-syarat tertentu.

Menurut Ahok, tidak ada hal yang membuat Pemprov DKI membatalkan kebijakan melegalkan penjualan miras di minimarket selama ada batasan dan aturan yang jelas.

Minuman keras yang diperbolehkan dijual adalah minuman keras yang memiliki kadar alkohol di bawah 5 persen dan penjualannya pun hanya boleh dilakukan kepada warga yang telah berusia di atas 18 tahun dan dibuktikan dengan KTP-nya.

Ribut berlarut-larut yang melibatkan orang nomor satu di DKI ini juga terjadi saat banjir merendam Istana Negara di awal Februari 2015 lalu.  Ahok langsung menyebut soal sabotase dari PLN.

Dia menuding PLN sengaja memastikan aliran listrik di Waduk Pluit sehingga pompa air tak bisa bekerja seperti biasanya.

Puncaknya, di jelang 100 hari jabatannya, Ahok terlibat 'perang terbuka' dengan DPRD DKI. Pemicunya, ia menuding ada dana siluman dalam APBD 2015 yang diajukan oknum anggota dewan. 

Cari Musuh

Ini bukan kali pertama Ahok tidak akur dan berseberangan dengan jajaran DPRD. Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jhonny Simanjuntak mengatakan, banyak program Ahok yang belum terlaksana dengan baik.

"Daftar keinginan Pak Ahok itu banyak. Tapi kan membuat program bukan daftar keinginan. Misalnya, siapa yang melaksanakan, dananya bagaimana, kapan dilaksanakan, masalah waktunya. Jadi saya lihat, Pak Ahok itu lebih banyak menggunakan waktu untuk berbicara di luar yang tak penting," kata Jhonny saat dihubungi VIVA.co.id.

Jhonny menambahkan, sebagai pimpinan, Ahok harusnya bisa bersinergi dengan jajarannya tentang kebijakan yang akan diterapkan. Sebab sosok gubernur merupakan seorang manajer yang patut dicontoh bawahannya.

"Saya melihat dia kadang enggak ksatria. Contohnya ketika banjir, dia gampang banget bilang ini sabotase lalu menyalahkan PLN. Kalau pemimpin kan enggak begitu. Pertama-tama dia bukan mencari dulu biangnya, tapi sambil dikerjakan begitu, baru dibahas bersama-sama," jelas Jhonny.

DPRD pun memandang kinerja Ahok selama 100 hari ini belum optimal. Dalam bekerja, Ahok lebih banyak mencari musuh daripada merangkul kerabat baru.

"Kasus yang terhangat saat warga mengadu ke Ahok, dia malah ngajak ribut. Artinya 100 hari kerja Ahok itu cuma cari musuh. Di situ keberhasilan dia," katanya.

Untuk memperbaiki citra pemerintah daerah ibukota, Jhonny mengharapkan Ahok bisa memainkan peran sebagai pemimpin seperti pada umumnya dan bisa diikuti semua elemen. Dia juga diharapkan bisa memengaruhi orang dengan cara memperbaiki seni kepemimpinannya.

Nasib di ujung tanduk

Tidak puas dengan kinerja Ahok. Dewan pun bersiap menggelar Sidang Paripurna penggunaan hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Ahok, khususnya menyangkut tudingan Ahok terkait APBD. Sidang Paripurna penggunaan hak angket akan digelar di gedung DPRD DKI, Kamis ini.

DPRD DKI terpaksa menggunakan hak angket untuk menyelesaikan kisruh rancangan APBD DKI 2015 setelah ada ketidaksesuaian isi draf APBD yang diajukan Pemprov DKI ke Kemendagri dengan isi draf hasil kesepakatan bersama DPRD.

"Sudah melalui prosedur di badan musyawarah sehingga sidang paripurna sudah bisa digelar," kata Wakil Ketua DPRD DKI, Muhammad Taufik.

Taufik menjelaskan, dalam rapat paripurna nanti, akan ada yang mengusulkan tentang hak angket lalu dilanjutkan dengan pandangan anggota fraksi kemudian usulan dari panitia hak angket. Setelah itu baru disahkan.

Taufik sendiri telah mengantongi nama-nama panitia yang berjumlah 33 anggota. Ketua panitia hak angket ini sudah diumumkan sejak kemarin.

Pimpinan dewan telah memilih Jhonny Simanjuntak, ketua Fraksi PDIP sebagai ketua hak angket dan Triwisaksana atau yang akrab disapa Sani wakil ketua DPRD dari Fraksi Partai PKS ini ditunjuk sebagai wakil ketua hak angket. Dewa.

Kata Taufik dalam serangan terakhirnya, tak ada pilihan lagi bagi  Ahok selain menghadapi pemakzulan.

Sebab, pengajuan hak angkat sudah tidak mungkin dibatalkan mengingat sudah 97 anggota DPRD DKI yang menandatangani persetujuan untuk penggunaan hak angket.

"Seluruh anggota sudah tanda tangan, termasuk fraksi PKB yang sebelumnya menyatakan netral," ujar Taufik, Rabu kemarin.

Bagaimana Ahok menghadapi pemakzulannya?  Ahok seperti biasanya tidak peduli. Pun soal masa kepemimpinannya yang memasuki 100 hari itu, dia juga tidak mau terlalu memikirkan, dan meminta penilaian langsung dari warga.

"Saya enggak pernah ngitung berapa peringkat kerja saya, biar orang lain yang menilai," Ahok menegaskan. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya