Indonesia Fashion Week, Gerakkan Roda Rp200 Triliun

Pembukaan Indonesia Fashion Week (IFW) 2015
Sumber :
  • ANTARA/Rosa Panggabean

VIVA.co.id - Gemuruh tepuk tangan memenuhi Balai Sidang Senayan, Jakarta, Kamis 26 Februari 2015, kemarin. Para hadirin yang hadir terlihat penuh gaya, para wanita tampil modis mengenakan gaun dan kebaya berwarna-warni, sementara yang pria tampak dandy dengan kemeja necis, batik, serta jaket kasual. 

Ria Miranda Hadirkan Keindahan Pantai di IFW

Di mana-mana, terlihat busana dalam gaya terkini. Terdengar pula bunyi keletak-keletuk sepatu hak tinggi, gemerincing gelang, wangi parfum, serta barisan buket bunga. 

Ada apa gerangan? 

Koleksi Misterius Dian Pelangi di IFW 2016

Sekali lagi, Jakarta menjadi tuan rumah bagi acara pesta mode akbar, Indonesia Fashion Week (IFW). Digagas tahun 2012, IFW punya tujuan ambisius membawa Indonesia menjadi pusat mode, tidak hanya di Asia Tenggara, melainkan dunia. Sejajar dengan 4 kota mode raksana, London, Milan, New York dan Paris. 

Empat tahun sudah, IFW hadir di belantika mode Indonesia. Lalu, sejauh mana sudah kemajuan industri mode Tanah Air di peta mode global? 

IFW 2016, Nunung dan Aming Jadi Model Dadakan

Direktur Indonesia Fashion Week 2015 Dina Midiani mengatakan IFW memang merupakan the biggest fashion movement atau pergerakan mode terbesar di Nusantara. Besar karena melibatkan ratusan brand lokal untuk berlaga dan unjuk gigi di rumah sendiri. 

Tahun ini, IFW 2015 yang digelar hingga Minggu, 1 Maret 2015, menjadi rumah bagi 747 brand lokal dan internasional yang memamerkan produk mereka di area trade show, sementara di panggung mode, ada lebih dari 230 desainer, baik dari negeri sendiri maupun manca negara yang unjuk koleksi. 

Angka itu saja sudah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. "Kalau dilihat dari jumlah partisipan, setiap tahunnya partisipan IFW selalu bertambah," kata Dina kepada VIVA.co.id.

Di samping itu, IFW juga terbilang sukses mengedukasi masyarakat bahwa mode lokal tidak kalah bagus dengan brand-brand asing. Kini, semakin banyak kaum muda yang lebih memilih menggunakan brand lokal, baik untuk busana dan aksesori. Semakin banyak juga desainer muda yang namanya mulai bergaung, tidak hanya di pasar lokal, tapi juga merambah Asia Tenggara bahkan dunia.

Kendati demikian, Dina mengakui menjadikan Indonesia sebagai sebuah pusat mode adalah hal yang sulit dan butuh proses panjang. 

Tahun keempat penyelenggaraan IFW, ujar Dina, industri mode Indonesia sudah mulai bergulir ke arah business-to-business, jalur sebenarnya sebuah industri bisa terus hidup dan berkelanjutan. 

"Di tiga tahun pertama, kita memulai persiapan. Menyiapkan pelaku industri dan memulai untuk menjadi business-to-business. Kita persiapkan brand-brand lokal agar bisa bersaing di pasar internasional," papar Dina.

Tahun ini, IFW sudah menggembleng sekitar 100 brand yang siap berkompetisi secara global, bukan hanya dari segi kreativitas, tapi juga kesiapan produksi, kontinuitas standardisasi, dan kontrol kualitas. Dina menjanjikan dua tahun ke depan IFW sepenuhnya menjadi platform business-to-business.

"Sejak dulu, Indonesia tidak punya masalah dalam hal kreativitas. Hanya saja kita selalu keteteran dalam urusan produksi. Banyak pelaku industri mode yang kewalahan mengatasi pesanan dalam jumlah banyak dari buyer internasional. Itu yang kita persiapkan," jelas desainer yang tergabung dalam Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) ini. 

Oleh karena itulah, IFW hadir sebagai sebuah kendaraan. Roda yang akan mengantar para pelaku industri membangun sebuah kekuatan untuk bisa bersaing di liga mode internasional. Empat tahun tentu saja tidak cukup. Itu sebabnya, Dina mengatakan Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah untuk mengejar target kiblat mode dunia di 2025.

Toh bukan berarti IFW tidak punya prestasi sama sekali. Malah, gaung IFW sudah terdengar hingga Paris dan Milan, yang membuat kedua kota mode internasional itu mengirimkan wakilnya ke Jakarta minggu ini. Tidak hanya Paris dan Milan, beberapa negara seperti Jepang, Korea, India dan Australia, juga mengirimkan wakilnya untuk berpartisipasi di atas panggung.

"Kita juga mengundang buyer mancanegara yang ada di daftar Kementerian Perdagangan," kata Dina. 

Industri 200 triliun

Dilihat dari segi ekonomi, mode adalah industri yang besar. Nilainya mencapai Rp200 triliun atau sekitar 30 persen dari total industri kreatif. Mode juga menyerap 4 juta tenaga kerja dan punya nilai ekspor sekitar Rp100 triliun. 

Menteri Pariwisata Arief Yahya optimistis industri mode bisa terus dikembangkan dan menjadi ujung tombak promosi Indonesia, tidak hanya dari sisi ekonomi tapi juga pariwisata. 

"Ke depannya, ini masih bisa terus dikembangkan. Jadi, industri fashion harus kita bangun bersama-sama karena saya yakin industri fashion kita bisa unggul di seluruh dunia. Oleh karenanya, Kementerian Pariwisata akan mendukung dan yakin kalau IFW bisa menarik 100 ribu wisatawan,” ujar Arief, dalam pembukaan IFW 2015 di Balai Sidang Senayan, Jakarta. 

Di kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel juga percaya mode Indonesia bisa mendunia. Menurutnya, kekayaan budaya Indonesia yang dipamerkan seperti songket, tenun, dan kerajinan daerah lain merupakan modal besar bagi Indonesia untuk bisa menguasai pasar global melalui produk-produk dalam negeri.

"Kekayaan kita harus bisa menjadi tempat membangun semangat industri fashion kita. Jadi tuan rumah di negara sendiri dan juga global," paparnya. 

Dina Midiani pun tidak ketinggalan menuturkan bahwa IFW menekankan pada aspek bisnis dan inovasi, bukan melulu peragaan busana. Di dalam pekan mode yang terintegrasi dengan pameran dagang itu juga digelar seminar, talk show, workshop serta pojok konsultasi untuk menginspirasi dan memajukan para pelaku mode. 

Adapun guna memajukan geliat industri busana muslim, IFW menyediakan program inkubasi pengembangan bisnis khusus busana muslim yang disponsori Kementerian Perdagangan lewat coaching dan branding.

“Dukungan Kementerian Perdagangan untuk mengangkat fashion muslim Indonesia menjadi mode muslim dunia. Melalui program The Indonesia Brands dengan cara memasarkan dan mempromosikan brand mode muslim Indonesia di tingkat internasional kemudian mempertemukan fashion designer dengan buyer dan distributor dari manca negara,” ujar  Direktur Jendral Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Sulistyawati.

Lokal yang mengglobal

Lebih dari sekedar pekan mode yang menyampaikan referensi tren mode terkini, IFW sebenarnya adalah sebuah gerakan. Memajukan industri lokal agar bisa bersaing di panggung dunia, sekaligus mengajak seluruh masyarakat menghargai produksi negeri sendiri. 

"Kita menamakannya sebagai local movement, sebuah kesadaran menghargai produk dalam negeri, tapi bukan berarti anti produk luar," terang Dina Midiani. 

Local movement itu juga diharapkan dapat memacu percepatan produksi dan promosi produk Indonesia ke pasar internasional. Di antaranya kampanye gaya lokal Sarong is The New Denim, ada juga dalam program Kelompok Kerja Kreatif dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) untuk meningkatkan kualitas produk nasional yang siap ekspor dan dapat diterima oleh dunia internasional.

IFW juga secara konsisten terus memberikan referensi acuan tren mode tahunan yang berdasarkan konten lokal sebagai inspirasi namun tetap mengacu pada kecenderungan global. 

Tersandung harga

Secara umum, industri mode Indonesia memang maju pesat dibanding 10 tahun terakhir. Brand baru bermunculan, bisnis garmen menggeliat, bahkan tak jarang desainer Indonesia yang berhasil mendirikan brand di luar negeri. 

Tapi toh, semua itu tidak serta merta membuat Indonesia sejajar dengan Paris. "Masih banyak proses yang harus kita jalani," terang Dina. 

Problem lainnya yang juga diungkapkan Dina adalah masih kuatnya citra brand asing di mata konsumen lokal serta masalah harga. 

"Konsumen sekarang sudah mengakui bahwa kreativitas dan desain produk Indonesia tidak kalah dari luar negeri, tapi mereka masih terbentur harga. Produk lokal dianggap mahal, akibatnya konsumen tetap memilih brand asing yang harganya dianggap lebih terjangkau," ucap Dina.

Hal tersebut, menurut Dina, lagi-lagi berkaitan dengan mata rantai industri mode yang panjang dan ketidakmampuan industri lokal menekan ongkos produksi. Dina mengungkapkan, rata-rata desainer dan pelaku mode masih berbentuk industri rumah tangga, yang butuh biaya tinggi. 

"Ujung-ujungnya itu dibebankan pada konsumen," katanya. 

Solusinya, kata Dina, adalah dengan sinergi. Pelaku mode tidak mungkin jalan sendiri-sendiri. Harus ada kesesuaian konsep dan arah melangkah dengan banyak pihak, termasuk pemerintah dam swasta. 

"Pasar harus dibuat lebih murah," tegasnya. 

Dari sisi kerjasama, Dina membenarkan pemerintah sudah memberi dukungan, tapi belum sepenuhnya. Dukungan yang sekarang ada, masih terkotak-kotak. Hal itu, diperparah dengan pucuk pimpinan kementerian yang terus berganti. 

Meskipun begitu, segenap anggota APPMI yang menjadi penyelenggara IFW masih mengemban misi mulia membawa Indonesia menjadi kiblat mode dunia di 2025. Sayangnya, visi dan misi saja tidak cukup. Butuh kerja nyata guna mencapai ambisi tersebut. 

Di mata dunia, Indonesia juga masih dilihat sebagai konsumen potensial, bukan produsen. Hal itulah yang harus diubah jika ingin target 2025 terpenuhi. "Indonesia belum menawarkan ide kreatif, kita hanya menawarkan tenaga kerja, mengerjakan permintaan dan desain dari brand internasional. Dari segi ekonomi kreatif, kita belum maju," papar Dina.

Pun demikian, bisa dikatakan Indonesia sudah satu langkah lebih dekat mencapai mimpi, meski masih tersandung. 

"Yang paling penting adalah sinergi dengan banyak pihak, sehingga daya dobraknya bisa besar," kata Dina.

![vivamore="
Baca Juga
:"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya