Isu Merger Bank Syariah di Tengah Aset yang Lesu

Bank Syariah
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Gaung perbankan syariah makin bergema. Sepanjang hampir 16 tahun ini, bank syariah telah tumbuh 500-an persen. Saat ini, setidaknya ada 2.950 jaringan kantor perbankan syariah di Indonesia.

Namun, perkembangan jumlah bank syariah tersebut, belum dibarengi dengan perkembangan aset. Jumlah aset bank syariah kurang dari lima persen dari total aset perbankan konvensional. Isu merger, atau peleburan bank syariah kepunyaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun mencuat.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Oktober 2014, jumlah industri Bank Umum Syariah (BUS) tercatat sebanyak 12 bank. Sementara itu, jumlah Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 22 bank. Ditambah lagi, 163 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).

Cukup fantastis memang, mengingat umur industri keuangan syariah yang baru belasan tahun. Bank syariah pertama kali hadir di Indonesia pada 1991, melalui Bank Muamalat Indonesia (BMI). Delapan tahun kemudian, disusul Bank Syariah Mandiri, hingga sekarang berkembang menjadi 197 bank syariah (BUS, UUS, dan BPRS).

Meski begitu, aset bank syariah belum juga menggembirakan. Menurut catatan Bank Indonesia, hingga Oktober 2014, total aset perbankan syariah baik BUS maupun UUS hanya Rp260,36 triliun. Itu artinya, aset bank syariah baru 4,78 persen dari total aset perbankan konvensional yang bernilai Rp5.445,65 triliun.

Sedangkan total aset, khusus BUS dan UUS sebesar Rp260,366 triliun, pembiayaan Rp196,491 triliun, dan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah sebesar Rp207,121 triliun.

Merger Bank Syariah, Pemerintah Wajib Turun Tangan

MEA, atau aset jumbo?

Dengan total aset seperti itu, perbankan syariah dinilai kurang kompetetitif kalau berjalan sendiri-sendiri. Apalagi, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata. Karena itu, beberapa kalangan seperti Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) meminta negara melebur bank syariah milik pemerintah.

"Kalau Asbisindo, kami memerlukan bank syariah menjadi anchor industri syariah untuk bersaing dalam MEA," kata Sekjen Asbisindo, Achmad K Permana, kepada Arie Dwi Budiawati, jurnalis VIVA.co.id, Rabu 11 Maret 2015.

Saat ini, pemerintah melalui Kementerian BUMN tengah mengkaji wacana merger tersebut. Rencananya, BUS dan UUS seperti PT Bank BNI Syariah (BNI Syariah), PT Bank Syariah Mandiri (BSM), PT Bank BRISyariah (BRISyariah), dan UUS PT Bank Tabungan Negara Syariah (BTN Syariah) akan dilebur.

Menteri BUMN, Rini Soemarno pernah mengatakan kalau Indonesia belum memiliki bank syariah yang besar. Padahal, jumlah penduduk muslim di Indonesia cukup banyak. Karenanya, perlu adanya penyatuan bank syariah milik BUMN.

"Mungkin kalau syariah, belum bisa memastikan bagaimana strukturnya. Tetapi, kemungkinan besar yang terbaik itu merger, bukan holding," kata Menteri Rini, beberapa waktu lalu.

Kajian ini pun pernah didiskusikan dengan OJK, yang juga mengusulkan hal serupa. Meski begitu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad, menampik kalau merger itu bertujuan untuk meraup aset jumbo.

Fokus merger, kata dia, untuk penyehatan permodalan bank syariah pelat merah tersebut. "Tidak kejar aset, yang penting bank sehat dulu," ujar Muliaman.

Sekretaris Jenderal Masyarakat Ekonomi Syariah, M. Syakir Sula membenarkan fakta tersebut. Menurutnya, saat ini, umumnya bank syariah masih dalam kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 1 dan BUKU 2.

Karena itu, dia berpesan, bila merger benar-benar terjadi, pemerintah hendaknya memberi suntikan modal. Tujuannya,  untuk memperbesar aset bank tersebut sehingga modal bank syariah bisa naik ke BUKU 3.

"Belum ada bank syariah yang masuk ke BUKU 3. Kalau dikasih modal Rp5 triliun, atau Rp10 triliun, itu oke. Size-nya bisa naik signifikan," kata Syakir kepada VIVA.co.id.

Siapa jadi leader?

Yang mungkin muncul persoalan ketika merger adalah siapa yang jadi pemimpin (leader)? Sebab, dengan berbagai capaian masing-masing perusahaan besar kemungkinan muncul ego sektoral.

Kalau menunjuk siapa paling layak, bisa saja dengan mengacu pada aset. "Paramaternya kan bank yang besar. Masa yang kecil yang jadi leader? Pemikirannya, bank yang besar yang leader. Perbedaan (asetnya) besar lho BSM dengan bank syariah yang lain," kata Syakir.

Namun, bagaimana dengan penyatuan kultur perusahaan? Sebab, meski sama-sama BUMN, bukan tidak mungkin bank-bank syariah itu punya budaya perusahaan yang berlainan. Meski tidak bertolak belakang, internalisasi corporate culture itu membutuhkan waktu dan utamanya "kerendah-hatian" dari masing-masing manajemen.

Syakir mengingatkan, merger bank syariah perlu waktu satu sampai dua tahun untuk masa konsolidasi. "Kalau merger dilakukan tahun ini, jangan diharapkan tahun depan bisa tumbuh. Perlu waktu," kata dia.

Ihwal itu, memang disadari benar oleh Asbisindo. Menurut Sekjen Asbisindo, Achmad K Permana, setelah dilebur, bank syariah yang di-merger, tidak serta-merta bisa mendongkrak pangsa pasarnya.

"Diperkirakan stagnan untuk sementara waktu karena konsolidasi dulu," kata dia.

Regulasi perbankan syariah

Namun, bila benar keinginan pemerintah bisa bersaing di era MEA, Syakir mengatakan merger bukanlah jalan satu-satunya. Pemerintah harus membuat regulasi perbankan syariah.

"Pemerintah ingin me-merger bank syariah untuk menghadapi pasar bebas ASEAN. Kalau itu poinnya, itu bukan satu-satunya jalan. Saya mendengar Bappenas menyiapkan komite keuangan syariah. Kalau itu betul, langkah Bappenas yang harus direalisasikan dan didorong. Tidak hanya merger, tetapi kebijakan strategis yang lain," ujar dia.

Misalnya, pemberian insentif pajak kepada investor yang ingin menanamkan modalnya di sektor syariah. Syakir meminta pemerintah untuk tidak menyamakan regulasi bank syariah dengan bank konvensional.

"Kalau disamakan, tidak fair. Tidak ada keberpihakan dengan bank syariah," kata dia.

Syakir mencontohkan, saat pemerintah menggelontorkan Rp650 triliun untuk dana penyehatan perbankan pada masa krisis 1998 silam. Dana sebesar itu, adalah bentuk keberpihakan pemerintah kepada perbankan.

"Itu, kan, uang rakyat. Lalu, mengapa syariah tidak diberikan insentif dan tidak ada keberpihakan? Padahal, bank syariah belum pernah mengalami krisis," kata dia.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk dorong bank konvensional swasta yang punya bank syariah, agar bisa mempercepat pertumbuhan bank syariah mereka. Hal ini juga berpengaruh untuk memperbesar pangsa pasar bank syariah di dalam perbankan.

Menurutnya, pertumbuhan bank syariah dalam lima tahun terakhir hanya 40 persen. Sedangkan tahun lalu, bank syariah tumbuh 15 persen. Angka itu, menurut taksiran Syakir, kurang mencukupi untuk mempercepat perkembangan bank syariah.

Menurut dia, bila bank syariah hanya tumbuh di kisaran 50 persen, itu hanya berpengaruh kecil terhadap pangsa pasar. "Kalau tumbuh 50 persen, pengaruhnya terhadap market share perbankan cukup kecil, paling hanya nol koma. Soalnya, 95 persen market share perbankan itu ada di bank konvensional," kata dia.

Untuk itu, dia berharap pemerintah dapat mendorong pertumbuhan bank syariah. Tidak saja milik BUMN, tetapi bank syariah milik swasta juga wajib didorong. "Regulator perlu mendorong, agar anak usaha bank konvensional, dikasih target tumbuh 20 persen selama sepuluh tahun ke depan," ujarnya. (asp)

BI Ingin Jadikan Indonesia Poros Ekonomi Syariah



![vivamore="Baca Juga :"]

[/vivamore]
Belajar Menabung dengan Tabungan Simpel
 Foto ilustrasi.

Bank Syariah Mandiri Genjot Dana Murah

Sasarannya nasabah institusi, namun akan meningkatkan dana ritel.

img_title
VIVA.co.id
3 Maret 2016