Lagi, Obral Remisi Terpidana Korupsi

Kemenkum HAM Bentuk Tim Khusus Verifikasi Munas Golkar
Sumber :
  • VIVAnews/Ahmad Rizaluddin

VIVA.co.id - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly kembali membuat kontroversi. Belum selesai perkara intervensi internal partai-partai politik khususnya Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, menteri asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu membuat aksi terbaru yang tak kalah dampaknya dalam memicu polemik di ranah publik.

Yasonna berjanji akan memberikan remisi atau pengurangan masa hukuman bagi para terpidana korupsi alias koruptor. Padahal, koruptor adalah pencuri uang negara, dan tentu saja menyengsarakan hidup rakyat banyak.

Korupsi termasuk tindak pidana khusus, setara dengan terorisme dan kejahatan narkoba. Bukan sekedar kriminal umum. Ketiganya masuk pada kategori extra ordinary crime. Lantas, apakah layak mendapatkan remisi?

Berdasarkan undang-undang, pemberian remisi terhadap terpidana memang tidak dilarang. Semua diatur misalnya pada Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999, Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999.

Lalu, Peraturan Pemerintah (PP) No. 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 34 peraturan tersebut menyatakan setiap narapidana berhak mendapatkan remisi jika mereka memenuhi syarat yaitu berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun enam bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian remisi, dan telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan Lembaga Pemsyarakatan (Lapas) dengan predikat baik. Kemudian yang bersangkutan juga telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan.

Namun, peraturan yang ketika itu ditandatangani oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, berusaha memperketat pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat terpidana kasus korupsi, tindak pidana pencucian uang, narkoba, terorisme, dan kejahatan berat lainnya. Sehingga, tidak ada lagi remisi yang diobral untuk terpidana kasus korupsi dan kejahatan besar lain.

Aturan Remisi Koruptor Direvisi, KPK Sebut Langkah Mundur

Peraturan itu merupakan perubahan atas peraturan sebelumnya, PP No. 28 Tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Penjara.

Yasonna Laoly mengaku akan tetap memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi, selama memenuhi persyaratan perundang-undangan. Dia menegaskan bahwa koruptor juga memiliki hak secara hukum.

"Napi koruptor mempunyai hak yang sama dengan narapidana lainnya," kata Yasonna saat didapuk sebagai keynote speaker pada seminar nasional di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, menjelang akhir pekan lalu.

Mantan anggota Komisi II DPR itu mengatakan, selama ini remisi bagi terpidana kasus korupsi kerap dikaitkan dengan whistleblower (pelapor tindak pidana), jika seorang koruptor bukan whistleblower, tidak patut diberi remisi.

"Ini kan persoalan. Seorang koruptor jika bukan whistleblower tentu hakim akan memberikan pemberatan hukuman kepadanya. Hukumannya ditentukan oleh pengadilan," ujarnya.

Menurut dia, ketika seorang terpidana kasus korupsi hartanya sudah disita negara, sudah membayar denda, memperoleh hukuman dan berkelakuan baik, berhak mendapat remisi sesuai ketentuan perundang-undangan.

"Jangan seolah tidak memberikan harapan hidup kepada seseorang," tegasnya lagi.

Dalam kesempatan itu, Menteri Yasonna juga menyinggung soal banyaknya tuduhan yang mengatakan remisi yang diberikan Kemenkumham kepada terpidana kasus korupsi sama artinya Kemenkumham melindungi dan pro terhadap koruptor.
 
"Tudingan ini menyakitkan, kami beralasan melakukan itu. Koruptor juga sama seperti narapidana lainnya, jika layak dan memenuhi persyaratan untuk mendapat remisi, hak mereka akan diberikan," terang Yasonna.

KPK Menentang

Pelaksana tugas (Plt) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi SP, langsung merespons langkah Yasonna yang berniat mengobral remisi kepada para napi koruptor.

Ubah Syarat Remisi, Pemerintah Dituding Manjakan Koruptor

Johan mengkritik. Alasannya, bila diterapkan, maka itu berarti kemunduran bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Kami di KPK berharap, agar tidak dipermudah pemberian remisi, tetapi diperketat," kata Johan di Istana Negara Jakarta, Senin 16 Maret 2015.

Kebijakan menkumham ini, sekaligus membatalkan PP 99/ 2012 terkait pengetatan remisi koruptor, narkoba dan terorisme. Menurut Johan, kalau PP itu dihapus, dipastikan remisi akan gampang diobral oleh Kementerian Hukum dan HAM.

"Ini akan bertabrakan dengan semangat pemberantasan korupsi, di mana salah satu tujuannya efek jera," kata Johan.

Dengan keinginan mengobral remisi kepada koruptor ini, Johan mengaku kecewa. "Dalam hidup ini biasalah kecewa," ucap dia.

Untuk membatalkan rencana obral remisi bagi perampok uang negara itu, KPK, bahkan tak kebertan jika harus beradu argumen dengan Yasonna. Mantan Juru Bicara KPK itu mengatakan, lembaganya tak ragu jika harus berdebat terkait perkara tersebut.

"Kami siap kalau diminta masukan. Ini memang domainnya di Kemenkumham. Kalau KPK diajak diskusi, kenapa tidak," ujar Johan lagi.

Johan menegaskan, KPK tetap keberatan terhadap kebijakan Yasonna yang akan mengobral remisi untuk para koruptor. Salah satunya dengan meniadakan PP 99/2012 tentang pengetatan pemberian remisi korupsi, narkoba dan terorisme.

Maling Ayam

ICW: Sektor Pendidikan Harus Tanggung Jawab Soal Korupsi

Indonesia Corruption Watch secara tegas menolak rencana Yasonna memberikan remisi atau kelonggaran bagi para koruptor. Mereka mempertanyakan dasar hukum dari yang bersangkutan.

"Kritik yang kami sampaikan jauh-jauh hari sebelum kabinet Jokowi-JK terbentuk," kata peneliti hukum ICW, Lalola Easter kepada VIVA.co.id, Senin 16 Maret 2015.

Lola menuturkan, pada 2013, saat Menkumham masih dijabat oleh Amir Syamsuddin, pernah mengeluarkan surat edaran soal pembatasan pelaksanaan PP 99/2012 yang justru memperketat pemberian remisi bagi terpidana korupsi, terorisme, narkotika. Begitu kabinet baru terbentuk, ICW segera meminta surat tersebut dicabut.

"Januari kemarin, kami meminta Pak Yasonna selaku Menkumham mencabut surat edaran tersebut. Harapannya berani ternyata tidak dilakukan," ujarnya.

Sebab itu, pada Januari tersebut, mereka mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung, agar meninjau substansi surat edaran tersebut. Lola menegaskan, instansinya sepakat pada PP 99/2012 yang memberikan ketetatan kasus korupsi.

"Ketika sebelum PP ada yang dibutuhkan remisi ada dua, perbuatan baik, dan sudah menjalani 1/3 masa hukuman. Begitu terbit pengetatan, tambah dua syarat, yang bersangkutan harus menjadi justice collaborator, dan membayar lunas korupsi maupun denda. Ini sudah baik, tetapi ternyata toh penerapannya tidak maskimal karena ada surat edaran itu," jelasnya.

Jika saat ini, Yasonna berniat berniat memperlonggar batasan tersebut, Lola menilai pemerintah tidak serius memberantas korupsi. Padahal, berdasarkan data ICW, tren vonis korupsi selama 2014, rata-rata pemidanaan terdakwa hanya 2,8 bulan dengan tren tuntutan hanya 3,11 bulan.

"Peradilan sudah longgar, mau dilonggarkan lagi ya sulit. Bicara pemberantasan korupsi itu di mana?" cetusnya.

Lola menyatakan, pemberantasan korupsi tindak pidana korupsi merupakan pidana luar biasa. Untuk itu, pendekatannya juga harus luar baisa.

"Kalau pendekatannya umum, ya nggak jalan. Misalnya, dasar remisinya terpidana sudah berkelakuan baik, itu ukurannya apa? Sangat subjektif. Di sini permainan berjalan, bisa saja kongkalikong, pat gulipat, suap menyuap," ungkapnya.

Dia menegaskan bahwa Indonesia sudah darurat korupsi. Ironis jika pidana korupsi disamakan dengan pidana umum.

"Adagium lebih baik jadi koruptor daripada maling ayam, kejadian. Ini tidak adil buat pidana umum. Kok bisa mereka disamakan dengan garong uang rakyat. Pemerintah punya pemahaman ini nggak sih?" jelasnya.

Lola menambahkan, ICW minggu depan akan mengundang Yasonna untuk berdiskusi mengenai persoalan remisi tersebut. Meskipun, dia belum tahu di mana lokasi diskusi itu akan digelar.

"Seolah-olah ada informasi kami tidak mau datang pada acara menkumham. Nanti akan ada forum, tempat kita berdiskusi dengan kepala dingin. Kami harap, Pak Yasonna datang langsung dan tidak diwakilkan," ucapnya.

Hampir senada dengan Johan dan ICW, anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto tak begitu sependapat dengan rencana Menkumham, Yasonna Laoly memberikan remisi terhadap para koruptor dengan merevisi PP 99/ 2012. Menurutnya, langkah itu tak perlu dilakukan karena dalam PP yang akan direvisi sebenanya sudah diatur semua termasuk pemberian remisi bagi para koruptor.

"Sebetulnya, dalam Konteks PP 99 tahun 2012 tidak ada penghilangan hak narapidana. Semua haknya diatur. Hanya saja khusus remisi kejahatan khusus atau extra ordinary crime seperti korupsi, narkoba, teroris dan kejahatan trans nasional lainnya diatur dengan tambahan syarat tertentu," kata Didik di Gedung DPR, Jakarta, Senin 16 Maret 2015.

Ia menambahkan PP 99/ 2012 sudah memberikan pengaturan yang proporsional. Remisi untuk kejahatan tersebut tetap diatur, hanya saja karena kejahatan tersebut sifatnya sangat khusus dan dampaknya juga cukup besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Wajar kalau pengaturannya lebih dikhususkan, atau diperketat melalui syarat-syarat. Memaknai PP 99 tahun 2012 harusnya secara utuh, sehingga semangat yang ingin ditegakkan dalam PP tersebut bisa sepenuhnya dijalankan," katanya.

Politisi Partai Demokrat ini meminta pemerintah, dalam hal ini menkumham melihat kembali PP 99/ 2012 dengan baik. Jangan sampai upaya resmisi bagi kejahatan berat diberikan dengan begitu mudah.

"Setahu saya justru revisi yang ingin dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan remisi kepada koruptor tanpa ada pembedaan dengan narapidana yang lain," katanya.

Berbeda dengan KPK dan Didik, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, justru mendukung upaya Yasonna dalam memberikan remisi pada para koruptor. Menurut Fadli, remisi yang diberikan tidak akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Penghilangan remisi justru bisa menjadi pelanggaran HAM.

"Ya kita mendukung. Saya kira, remisi tidak akan menjadi pelemahan pemberantasan korusi," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Senin 16 Maret 2015.

Fadli menjelaskan, remisi merupakan hak bagi semua narapidana. Tanpa melihat jenis kejahatan yang dilakukan seperti korupsi, terorisme, narkoba dan yang lainya. Bila ingin terlihat lebih tegas pengadilan harus memberatkan hukumanya bukan dengan menghilangkan haknya.

"Kalau mau diberatkan ya diberatkan hukumannya. Kalau remisi itu hak narapidana secara keseluruhan. Justru jangan didiskriminasi ini menyangkut HAM," katanya.

Politisi Gerindra meminta PP 99/ 2012 yang selama ini berlaku jangan sampai diskriminatif. PP harus disesuaikan dengan hak paranarapidana.

"Mereka sudah mendapatkan hukuman. Menjalani hukuman, kalau mereka berbuat baik dan kemudian dianggap perlu remisi ya hak mereka untuk mendapat remisi harus diberikan. Kalau koruptor hukumannya yang harus diperberat," katanya.

Bukan Bodoh

Menanggapi berbagai tudingan negatif, Menteri Yasonna menyatakan bahwa pemberian remisi pada koruptor bukanlah langkah bodoh. Semua berdasarkan aturan hukum yang ada. "Halah, itu nggak begitu," kata dia.

Yasona mengaku setuju pada hukuman berat bagi koruptor. Tetapi, bukan pada remisi oleh Kemenkum HAM melainkan diperbaiki pada ujung sistem peradilan pidana, yaitu vonis hakim.

"Pada waktu dia (KPK) menuntut, sudah dihitung ini orang tidak whistleblower, tidak koperatif, tidak mau membongkar korupsi, tambah dong hukumannya. Dituntut yang seharusnya lima tahun, tidak kooperatif dituntut tujuh, delapan, sepuluh tahun. Itu tugas di situ," jelasnya.

Setelah KPK melakukan penuntutan itu, tugas hakim yang melihat fakta persidangan. Hakim sudah pasti punya gambaran berapa lama hukuman yang akan diberikan.

"Setelah didengarnya, hakimlah yang memutuskan hukuman itu. Tentu dalam benaknya hitung-hitungannya tahu, ini pasti ada remisi jadi sudah selesai di sini," kata Yasonna.

Yasonna menjelaskan, setelah vonis adalah tugas Kemenkum HAM yang melakukan pembinaan. "Masuk ke instansi lain untuk memperbaiki, karena di extraordinary crime (kejahatan luar biasa) kita sepakati bahwa dia tidak boleh sama kriterianya dengan tindak pidana biasa," ujarnya.

Dia melihat yang terjadi sekarang ini, karena si terpidana korupsi bukan wistle blower, lalu minta izin ke KPK untuk remisi akhirnya tidak diberikan. Padahal, berdasarkan catatan, ketika yang bersangkutan menjalani hukuman perilakunya sudah baik, bertobat, sembayang dengan baik.

"Tugas jaksa dan tugas KPK menuntut (bukan menghalangi remisi)," kata Yasonna.

Untuk membahas masalah remisi itu secara ilmiah, Yasonna juga mengaku sudah mengundang KPK. Namun, KPK tidak datang, termasuk LSM anti korupsi, Indonesia Corruption Watch.

"KPK diundang, menit terakhir pagi katanya tidak datang. Saya bisa buktikan," kata Yasona, di Istana Negara Jakarta, Senin 16 Maret 2015.

Yasona mengatakan, undangan itu sudah di KPK. Termasuk ke ICW yang saat kajian ilmiah beberapa hari lalu, juga tidak datang. "Kalau itu tidak diserahkan ke komisioner, i don't know. Tetapi, itu ke bagian hukumnya (KPK)," ujar Yasona.

Klaim pria asal Tapanuli Tengah, Sumatera Utara tersebut dibantah oleh Plt Pimpinan KPK, Johan Budi. Johan memastikan, KPK tidak pernah mendapat undangan itu.

"Kami belum dapat, katanya diundang tapi belum ada. Katanya diundang, tetapi kami belum terima," katanya.

Johan menyatakan, ketidakhadiran KPK bukan karena tidak mau. Tetapi, karena tak ada undangan. Menurut dia, KPK siap mengirim tim jika diundang.

"Kami bisa kirim tim juga kalau diundang untuk diskusi. Tetapi, semangatnya tentu harus bagaimana tujuan kita pada pemberantasan korupsi adalah menimbulkan efek jera," papar dia.

Bantah Obral

Keinginan Yasonna menghapus pengetatan remisi terhadap terpidana korupsi ternyata tidak berjalan mulus. Dia mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk KPK.

Bahkan, Yasonna disebut sebagai pengobral remisi koruptor. Namun, dia menolak predikat sebagai menteri yang mengobral remisi terhadap terpidana korupsi.

"Berbicara begini saja langsung dianggap Pak Laoly mau bagi-bagi remisi. Evaluasi keputusan saya sejak jadi menteri, ada nggak yang begitu-begitu (obral remisi)?" kata Yasonna.

Dia mengaku mengambil keputusan untuk memberi remisi sangat sulit. Untuk itu, dia meminta semua instansi bisa duduk bersama. Laoly beralasan, kebijakan ini bukan didasari sebagai seorang politikus.

"Saya ini akademisi, masuk politik saya tidak mau gegabah," kata Yasonna.

Yasonna menilai, publik masih senang melakukan kritik-kritik seperti ini. Tanpa pernah melihat sistem yang kini sudah seharusnya diubah.

"Mungkin momennya orang senang saja, mau ini gitu ya, tanpa melihat sistem kita yang sudah harus di sinkronkan dengan baik," ujar mantan anggota Komisi II DPR.

Yasonna pun kecewa, karena merasa diserang dari belakang. Sejumlah instansi yang dia undang malah tidak datang, tetapi belakangan melontarkan kritik.

"Gue ditembakin dari belakang. Jangan begitu dong, gentleman, kita duduk bersama. Karena ini demi kepentingan kita bersama, demi perbaikan sistem juga," protesnya.

Sementara itu, berdasarkan data, pemberian remisi bagi para koruptor tak hanya terjadi pada masa pemerintahan saat ini saja. Misalkan saja ketika pemerintahan sebelumnya, masa mantan Presiden SBY, kebijakan itu sudah pernah terjadi.

Pada Hari Raya Idul Fitri 2014, sebanyak 31 narapidana khusus, atau napi tindak pidana korupsi yang berada di lembaga pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Jawa Barat mendapat remisi.

Satu di antara 31 napi yang dapat remisi yaitu mantan PNS di Direktorat Jenderal Pajak, . Gayus ketika itu menerima remisi selama satu bulan 15 hari.

Sedikit ke belakang lagi, sejumlah terpidana juga mendapat "berkah" remisi. Mereka antara lain, terpidana korupsi APBD Garut, Agus Supriyadi, terpidana kasus penyuapan terhadap hakim Syarifuddin, Puguh Wirawan yang mendapat potongan hukuman selama empat bulan pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-67 dan Hari Raya Idul Fitri pada Agustus 2012.

Muhammad Iqbal/ Jakarta/asp

Baca Juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya