Adu Kuat Lembaga Keuangan Dunia

Penandatanganan kesepakatan Asian Infrastructure Investment Bank
Sumber :
  • Xinhua

VIVA.co.id - Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) barangkali tak terlalu riuh di Indonesia. Namun, di kalangan perbankan internasional, pendanaan investasi infrastruktur di Asia itu cukup merebut perhatian.

Perang urat syaraf kekuatan ekonomi dunia mulai tampak. Amerika, Jepang, dan Tiongkok siap unjuk kekuatan di sektor keuangan. Indonesia seperti ingin turut ambil peran lebih di AIIB.

"Saya lihat Tiongkok ingin mendapatkan hegemoni," ujar pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih menyebut pendirian AIIB, kepada VIVA.co.id, Senin 23 Maret 2015.

Hingga hari ini, setidaknya ada 30-an negara yang menyatakan kesediaan menjadi pendiri AIIB. Bahkan, negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Italia, dan Luksemburg telah menyatakan keinginannya untuk menjadi anggota pendiri.

Yang terbaru, India, Indonesia, dan Selandia Baru telah menyatakan persetujuan. Pendiri AIIB diyakini bakal mencapai 35 negara.

"Menurut tenggat waktu (deadline), kami percaya 35 negara, bahkan lebih, akan menjadi anggota pendiri bank ini," ujar Jin Liqun, Pemimpin (interim) AIIB, dikutip The Straits Times.

Jepang dan AS ogah

Meski puluhan negara siap bergabung, Amerika dan Jepang sama sekali tidak tertarik dengan AIIB. Mereka justru menyangsikan sumber dana dari AIIB tersebut.

Menteri Keuangan Jepang, Taro Aso, mengaku negaranya masih mengambil pertimbangan untuk bergabung.

Jepang, kata Aso, masih meragukan kredibilitas AIIB dalam memberikan sumber pendanaan pinjaman. Bahkan, Aso mendesak negara-negara lain untuk berpikir dua kali sebelum bergabung di AIIB.

"Kami telah meminta untuk menjamin keberlanjutan utang, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Kami bisa (mempertimbangkan untuk bergabung) jika ada jaminan soal itu," kata dikutip Reuters.

Sebagai leader (pemegang saham utama), Tiongkok akan menanamkan sekitar US$50 miliar atau sekitar Rp603,25 triliun ke AIIB. Melihat dana tersebut, mestinya Jepang tidak perlu menggunakan alasan kekhawatiran akan likuiditas pendanaan AIIB.

Belum lagi, setoran dana dari negara-negara anggota AIIB lainnya. Cukup kecil kemungkinan AIIB kekeringan dana.

Sikap Pasar Modal dan Rupiah Soal Aksi Damai 4 November



Meski begitu, toh Jepang tidak juga tertarik. Hal yang sama juga terjadi pada Korea Selatan. Negara yang secara geografis cukup berdekatan itu, terlihat enggan bersatu.

Donald Kirk, jurnalis senior Forbes menyebut Korea mendapat tekanan dari Amerika Serikat (AS). "Korea Selatan seperti menelan pil pahit kalau bergabung dengan AIIB," tulis Kirk.

Maklum, Korea Selatan dan AS cukup erat berhubungan. Negeri Paman Sam mengklaim, AIIB bakal merusak otoritas International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), dan organisasi keuangan lainnya.

AS juga menyebut AIIB bakal mengurangi fungsi kerja sama trans pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) yang pernah dipromosikan Washington untuk memangkas hambatan perdagangan.

AIIB bukan saingan ADB

Para ahli keuangan yang ditanyai Reuters tidak heran kalau AS dan Jepang enggan bergabung dengan AIIB. Bank tersebut jelas-jelas akan menyaingi ADB, yang sumber pendanaannya berasal dari AS dan Jepang.

"Institusi yang berbasis di Manila itu (ADB) didominasi oleh Jepang dan AS," kata analis yang tak ingin disebut namanya. Dana AS dan Jepang di ADB ada di kisaran US$164 miliar.

Presiden ADB, Takehiko Nakao, tidak secara gamblang menyambut AIIB akan menjadi rivalnya. "Saya mengerti, tapi saya tidak menerima itu," katanya, beberapa saat setelah AIIB dideklarasikan pada akhir Oktober 2014.

ADB didirikan pada 1966, menawarkan pinjaman dengan bunga rendah pada negara-negara berpendapatan menengah ke bawah.

Pada akhir 2013, pinjaman negara-negara ke ADB mencapai US$21,02 miliar atau lebih dari Rp253 triliun. Tiongkok memiliki 6,5 persen saham di ADB, sedangkan Jepang dan AS masing-masing 15,6 persen.

Indonesia ingin tuan rumah

Meski Indonesia dalam "cengkeraman" ADB dan Bank Dunia, toh nyatanya Indonesia cukup berani mengambil sikap. Tak saja bersedia menjadi negara anggota pendiri, Indonesia menawarkan diri menjadi tuan rumah AIIB.

Di sela acara Credit Suisse Asian Investment Conference di Hong Kong, Senin 23 Maret 2015, Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan maksud tersebut.

Pernyataan menteri keuangan jelas cukup mencengangkan. Sebab, ADB dan Bank Dunia jelas punya kekuatan untuk menekan Indonesia.



Perlu diketahui, Indonesia punya utang cukup banyak ke institusi keuangan internasional. Ke ADB, misalnya. Sepanjang 2014, ADB mengucurkan pinjaman US$500 juta ke Indonesia.

Ketika berkunjung ke Jakarta pada Januari lalu, Presiden ADB, Takehiko Nakao, mengatakan, tahun ini akan mengucurkan pinjaman hingga US$1,5 miliar atau sekitar Rp16 triliun pada Indonesia.

Meski begitu, Indonesia tetap pada pendiriannya untuk turut bergabung di AIIB. "Itu merupakan aspirasi kami, kantor pusat AIIB ada di Jakarta. Tetapi, untuk mewujudkannya, tentu saja kami harus bersaing dengan Beijing," ujar Bambang di Hong Kong yang dikutip Reuters.

Ekonom Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih agaknya menyesalkan dengan keputusan Indonesia. Menurut dia, Indonesia tidak perlu ikut-ikutan. Dia menyarankan agar RI meminjam secara bilateral. Atau bisa saja memanfaatkan lembaga pendanaan multilateral yang telah ada.

"Sudah, deh, pinjam secara bilateral. Tidak perlu buat yang lain-lain. Kan, sudah ada ADB, Bank Dunia, dan lain-lain," kata Lana.

Lana juga meragukan kesanggupan Tiongkok untuk menyediakan dana sangat besar guna menopang AIIB. "Pertanyaannya, bank itu bisa sustain nggak? Bisa berkelanjutan? Tiongkok mau tidak, menyetor dana terus," kata dia.

Momen lepaskan dolar

Senada dengan pemerintah, Bank Indonesia (BI) mengirim sinyal positif atas keputusan Indonesia bergabung dengan AIIB. BI cukup gembira bila ada institusi keuangan yang membawa investor masuk ke Indonesia.

"Tentu kami senang kalau ada investor masuk membawa dana untuk mendukung perekonomian Indonesia," kata Direktur Departemen Komunikasi BI, Peter Jacob, ketika dihubungi VIVA.co.id.

Dengan adanya AIIB, diharapkan transaksi keuangan antarnegara bisa menggunakan mata uang lokal. Kondisi ini perlahan-lahan akan melepaskan rupiah dari kedigdayaan dolar AS.

Yang bisa dilakukan BI, kata Peter, adalah mendorong agar transaksi Tiongkok-Indonesia tidak menggunakan dolar AS, tapi lebih menggunakan mata uang rupiah atau yuan.

"Kalau BI, yang bisa kami dorong adalah bagaimana perdagangan Indonesia dengan Tiongkok menggunakan level currency untuk mengurangi tekanan (dolar AS) terhadap nilai tukar rupiah," kata dia. (art)

![vivamore="Baca Juga :"]

Dolar Masih Lemah, Rupiah Melaju di Jalur Hijau
[/vivamore]
Uang rupiah.

Rupiah Melemah, Tertekan Gejolak Ekonomi Global

Aksi damai 4 November tidak terlalu pengaruhi pergerakan rupiah.

img_title
VIVA.co.id
4 November 2016