Menagih Janji Pemerintah Bangkitkan Film Lokal

Joko Anwar dan sineas film
Sumber :
  • Nuvola Gloria/ VIVA

VIVA.co.id - Guna memeringati Hari Film Nasional yang jatuh setiap 30 Maret, Presiden Jokowi memberi apresiasi dengan cara mengajak nonton bareng, sejumlah menteri dan sineas Tanah Air, pada Senin malam, 30 Maret 2015, di Istana Negara.

Terlihat, ada beberapa nama insan sinema yang hadir ke Istana, di antaranya Dian Sastro, Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Reza Rahardian, Ari Sihasale, Nia Sihasale, dan Olga Lydia. Mereka hadir memenuhi undangan Kepala Negara, untuk menyaksikan film Cahaya dari Timur: Beta Maluku, yang kemarin menjadi Film Bioskop Terbaik di FFI 2014.

Hari Film Nasional sendiri, diperingati setiap tanggal 30 Maret, karena tepat 65 tahun lalu, tepatnya pada tahun1950 ini adalah momen pengambilan gambar pertama, film Darah dan Doa yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Ini adalah film lokal pertama, yang bercirikan Indonesia.

Selain itu, film ini juga karya visual pertama yang benar-benar disutradarai orang Indonesia asli, dan juga diproduksi perusahaan film milik pribumi, Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia), di mana Usmar Ismail tercatat sebagai pendirinya.

Kini untuk memeringati har bersejarah itu, banyak acara yang berhubungan dengan dunia sinema digelar. Di antaranya, promo beli satu dapat satu, setiap pembelian karcis film lokal, khusus di tanggal 30 Maret.

Cerita Sang Artis Soal Film Laskar di Tapal Batas

Film-film lama yang pernah tayang oun, kembali diputar untuk menarik animo masyarakat agar mau datang ke bioskop. Di antaranya film 7 Hari 24 Jam, Arisan! 2, Bajaj Bajuri The Movie,dan Di Balik 98.

Lalu ada pula pegelaran Film Anak Negeri, di Galeri Indonesia Kaya, pada Minggu, 29 Maret 2015. Ini adalah apresiasi terhadap karya sinema anak bangsa, dengan cara memutar tiga film pilihan: Lima Elang yang disutradarai Rudi Soedjarwo, Biola Tak Berdawai, milik Sekar Ayu Asmara, dan Selamat Pagi, Malam, yang digarap Lucky Kuswandi.

Namun pertanyaannya, apakah peringatan Hari Film Nasional cukup selelai sampai dalam seremonial nonton bersama, atau dengan diskon tiket bioskop murah semata? Tentu jawabnya tidak, karena seharusnya momen ini, dijadikan tonggak sejarah bagi kemajuan dunia perfilman nasional ke depan.

Sulit bersaing dengan film asing

Namun persoalan membuat film lokal bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, bukan perkara mudah. Paling tidak hal ini diakui oleh Damien Dematra, sutradara film Si Anak Kampoeng yang beberapa waktu lalu diganjar penghargaan internasional, San Francisco Film Awards.

Ia katakan, ada banyak hal yang menyebabkan film lokal terasa kurang bertaji di beranda rumahnya sendiri. “Ya gimana mau maju, kalau film kita dijegal dan dijagal di negaranya sendiri? Contohnya sebentar lagi Furious 7 (film yang dibintangi Vin Diesel) akan tayang.

Kalau ini diadu sama film lokal, tentu tidak adil. Sama saja seperti mengadu mobnas dengan Ferrari yang dijual dengan harga sama. Bagaimana mau bersaing?” ujar sutradara film Obama Anak Menteng itu.

Menurut seniman gondrong ini, selama harga karcis film lokal dan film impor sama, karya visual kita sulit bersaing. Ia katakan, dengan kondisi ekonomi seperti sekarang, orang bisa datang ke bisokop seminggu sekali saja itu sudah bagus.

Nah, ketika mereka datang ke kasir, dilihatnya ada film Hollywood yang dibuat dengan harga triliunan rupiah, lalu dibandingkan dengan film lokal yang mungkin dibuat dengan dana miliaran rupiah, padahal harga tiketnya sama, tentu saja mereka akan memilih film asing.

“Jadi masalah film lokal kita ini bukan di soal pajak, tapi tentang kebijakan menaikkan harga film asing. Kalau misalnya film asing beda Rp30 ribu saja dari film lokal, saya yakin kok, akan ada banyak orang nonton film kita. Tapi kalau begini terus, ya lama-lama film lokal bisa almarhum. Ibaratnya, kita di rumah sendiri, tapi tidak dikasi piring, jadi untuk makan saja susah,” ujar Damian yang juga seorang pelukis.
 
Momen untuk introspeksi

Hal senada juga dirasakan produser film senior, Raam Punjabi, pemilik Multivision. Pebisnis di bidang sinema itu mengatakan, perkembangan film lokal masih jauh dari harapan. Karena meski secara kualitas ada peningkatan, namun dilihat dari sisi bisnis masih terkesan jalan di tempat.

Ia pun ingin menjadikan momen peringatan Hari Film Nasional, untuk kita berbenah diri, saling instrospeksi, dan berfokus dalam memecahkan kendala yang ada. Raam katakan, pekerjaan rumah dalam membuat film bagus itu ada dua, yakni bagaimana cara meningkatkan kualitas teknis, dan juga kualitas komersil.

“Jadi jangan hanya fokus meningkatkan kualitas teknis, namun juga yang harus dipikirkan menjaga kualitas komersil. Sebuah film baik itu yang kontennya kuat, dia menghibur namun juga memberi nilai,” ujar pria yang dijuluki Raja Sinetron di era 90-an ini.

Tentang fenomena ada film lokal yang mendunia, seperti The Raid, Raam mengaku ikut bangga. Namun ia merasa, konten budaya lokalnya masih belum terlalu diangkat. Namun begitu, ia sangat mendukung dengan film-film Indonesia, yang kini mulai mendapat tempat di mata asing.

Meski berharap keseimbangan, berharap pemilik bioskop juga mendukung diputarnya film-film lokal, namun Raam juga tak mau, kalau sampai pihak bioskop berkorban, berkorban menaikkan film lokal, meski kualiatasnya buruk. “Buat apa kalau begitu, karena justru hal ini yang membuat kepercayaan masyarakat pada film lokal menurun,” ujarnya.
 
Hiburan untuk orang atas

Sementara itu, aktor muda Haykal Kamil, pemain film Perempuan Berkalung Sorban dan Menebus Impian punya komentar sendiri, tentang alasan kenapa film lokal sulit berkembang. Salah satunya, karena apresiasi masyarakatnya kurang terhadap film lokal. Mereka sudah buru-buru apriori kalau diajak menyaksikan film buatan anak negeri.
 
“Contohnya saat kemarin kami (Dapur Film) membuat film Hijab. Banyak orang yang belum nonton, tapi sudah buru-buru berkomentar miring dan menjelek-jelekkan. Buat kita yang bikin, kan jadi aneh? Mereka belum nonton, tapi kok sudah bisa komentar sadis ini-itu?” ujar anak muda, yang menjadi produser di film bergenre drama komedi itu.

Haykal katakan, dari sisi komersial, meskipun ini karya seni, namun faktanya membuat film tak lepas dari unsur bisnis. Kalau hanya sedikit orang yang mengapresiasi, ya lama-lama bisnis ini bisa rontok.

Ia katakan, sebelum film ini rilis, sebagai produser ia diwawancara banyak jurnalis asing seperti dari BBC dan CNN. Sebuah tanda bahwa wartawan asing menyorot karya film lokal yang bagus. Namun sayang, begitu filmnya dirilis, penjualan tiketnya hanya di sekitar angka 123 ribu saja.

Yan Widjaya, pengamat film mengatakan, rasa nasionalisme bangsa kita untuk mencintai film lokal memang masih kurang. Beda dengan penonton di India, China, atau Thailand. Hal ini lalu diperparah dengan kurangnya jumlah layar bioskop di Tanah Air.

“Dulu kita punya 3000 layar bioskop, sekarang hanya sekitar 770. Itu pun dengan harga tiket Rp25 ribu ke atas, harga yang cukup mahal untuk masyarakat kelas bawah. Beda sama dulu tahun 80-an, bioskop masih terjangkau untuk rakyat. Makanya, waktu itu film lokal kita hidup. Beda sama sekarang, nonton di bioskop seperti jadi hiburan untuk orang kelas atas saja,” ujar mantan wartawan film itu.

Menurut Yan, masalah lain yang menjadi kendala dunia perfilman lokal, kurangnya  ikon yang melekat di benak masyarakat. “Dulu kalau kita bicara soal film komedi, maka ada Warkop DKI. Kalau mau nonton film musik, ada figur Rhoma Irama, lalu kalau film horor, ada Suzanna. Nah, sekarang di film lokal kita sudah tidak ada simbol figur kuat seperti itu lagi,” ujarnya.

Harapan untuk masa depan


Dengan datangnya momen peringatan Hari Film Nasional 2015, pengamat film itu berharap, ke depan ada kemajuan di film lokal yang dapat terasa.

“Bayangkan saja, saya ambil contoh film Cinderella yang kemarin diputar di 285 layar bioskop, sedangkan ada film lokal, yang hanya dipasang di 6 layar. Lalu karena dinilai tak laku, diturunkan. Harapan saya, semoga ke depan, pemerintah dan pengusaha bioskop bisa menambah layar bioskop sampai 5000. Kalau sudah demikian, saya yakin pasar film lokal akan kian hebat,” ujar Yan. 

Sementara Damien Dematra berharap, mulai sekarang pemerintah jangan lagi berwacana. “Buktikan dong, kan dulu saat kampanye Pak Jokowi bilang, bahwa industri kreatif akan didukung 100 persen. Ia bahkan pernah bilang, kalau tidak terjadi perubahan berarti di film lokal, laporkan ke saya, akan saya push menteri bersangkutan. Nah, sekarang ini momen yang tepat buat Pak Jokowo buktikan,” ujarnya.

Tak mau terjebak dalam perayaan seremonial semata, Raam Punjabi pun mengungkapkan, bahwa buatnya, setiap hari harusnya dijadikan perayaan Hari Film Nasional. Jika hal itu terwujud, barulah film Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.

BJ Habibie Ingin Tonton Film Terbaru Reza Rahadian

“Jadi tidak boleh hanya diingat saat tanggal 30 Maret saja. Kalau kita sayang film Indonesia, maka idealnya setiap hari dijadikan momen untuk meningkatkan kualitas film lokal,” tutup pria itu.

![vivamore="
Di Film My Stupid Boss, Reza Rahadian Jadi Gemuk
Baca Juga :"]




[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya