Menyelamatkan WNI dari Perang Besar di Yaman

Udara Yaman Dikuasai Arab Saudi, Evakuasi WNI Terkendala
Sumber :
  • Pusat Penerangan TNI
VIVA.co.id
Gejolak Yaman, Kelompok Houthi Tewaskan 1.000 Anak
- Pesawat TNI Angkatan Udara yang membawa 91 warga Indonesia dari Salalah, Oman, akhirnya mendarat dengan mulus di landasan pacu Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, pada Senin, 13 April 2015 pukul 09.43 WIB. Puluhan WNI bisa menarik nafas lega, karena berhasil menjejak Tanah Air dengan selamat usai melalui perjalanan yang tidak mudah dari Yaman.

Salat Idul Adha Dibom, Puluhan Tewas

Ini kali pertama pesawat TNI AU jenis Boeing A 7305 mengangkut WNI dari Oman menuju ke Tanah Air.
Temui Raja Saudi, Jokowi Akan Tagih Perbaikan KBRI Yaman


Menteri Luar Negeri RI, Retno LP Marsudi yang ditemui di Bandara Halim mengatakan butuh waktu 11 hari untuk membawa WNI dari Yaman menuju ke Indonesia. Perang yang tengah berkecamuk di Yaman menjadi penyebab lamanya perjalanan. Sebab, pemerintah wajib untuk mencari jalur yang aman dan cepat.

Maka, dengan kepulangan 91 WNI itu, total warga Indonesia yang telah tiba di Tanah Air dari Yaman mencapai 1.002 orang. Sementara, di kota Pelabuhan, Aden, Pemerintah Indonesia juga membuat kemajuan yang besar.

Sekitar pukul 07.34 waktu setempat, Senin kemarin, sebanyak 112 WNI berhasil dievakuasi dari kota Aden menuju ke Djibouti. Kelegaan langsung menyelimuti pikiran Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal.

Kepada VIVA.co.id yang menghubunginya pada Senin siang kemarin, Iqbal tak henti mengucap rasa syukur.

"Alhamdulilah, saya baru saja dikabari oleh tim percepatan evakuasi WNI, mereka telah berhasil mengevakuasi 112 WNI dan 69 warga asing dari kota Aden. Kini mereka telah berada di dalam kapal dan berlayar menuju ke Djibouti," kata Iqbal.

Tak heran jika Iqbal merasakan kelegaan yang luar biasa. Sebab, kontak senjata terjadi hampir setiap hari di kota Aden.

Sebelumnya, Indonesia pernah mengirimkan satu kapal dan telah mendekat ke pelabuhan Aden. Namun, kapal itu terpaksa melepas sauh dan kembali ke Djibouti, karena ratusan WNI masih belum diizinkan untuk meninggalkan asrama di Aden.

Kapal dari negara lain pun mencoba merapat ke pelabuhan. Namun, tetap gagal, karena nakhoda kapal khawatir akan menjadi sasaran tembak antara pasukan pemerintah Yaman dengan kelompok Houthi.


Sementara, keberhasilan Indonesia kali ini turut dibantu  tim Palang Merah Internasional (ICRC). Iqbal menjelaskan, ICRC lah yang melakukan pendekatan kepada militer Arab Saudi dan kelompok pemberontak Houthi agar diberikan jeda waktu kemanusiaan.


"Jadi, ICRC berkomunikasi selama berhari-hari dan meminta adanya jam yang disepakati (agar tidak ada serangan). Hasilnya, pada Minggu kemarin sekitar pukul 09.30 waktu setempat, ratusan orang itu menumpang empat bus dan didampingi satu mobil Land Cruiser serta mobil ambulans," kata dia.


Berdasarkan kesepakatan dengan ICRC, maka ketika rombongan lewat, baik Saudi maupun Houthi tidak boleh melakukan kontak senjata. Maka, 112 WNI dan 69 warga asing berhasil diantar hingga ke pelabuhan dan kini berada di dalam kapal.


Iqbal menjelaskan, total WNI yang sudah berhasil dievakuasi ke luar dari Yaman, namun belum tiba di Indonesia mencapai 1.907 orang. Angka itu diperoleh sejak evakuasi Desember 2014 lalu.


Dia memprediksi sudah tak ada lagi WNI di kota Aden. Kendati begitu,
contact person
orang Indonesia memutuskan untuk tetap berada di Aden, sebagai tindakan antisipatif, seandainya masih terdapat WNI.


Perang Besar


Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri RI, total terdapat 4.159 WNI bermukim di Yaman. Sebanyak 2.686 orang merupakan mahasiswa, 1.488 orang pekerja profesional di bidang minyak dan gas serta staf KBRI yang mencapai 45 orang.


Tindak kekerasan di Yaman sebenarnya sudah lama berlangsung. Bahkan, di tahun 2011 lalu, sempat muncul kekisruhan ketika presiden terpilih Ali Abullah Saleh digulingkan oleh Houthi dan mereka menaikkan Wakil Presiden Abedrabbo Mansour Hadi. Hadi sukses menjadi orang nomor satu di Yaman.


Namun, Houthi ternyata masih belum puas dengan kepemimpinan Hadi yang dinilai korup. Kantor berita Jerman,
Deutsche Welle
pekan lalu melansir, puncaknya terjadi ketika Hadi mengumumkan rancangan konstitusi baru untuk pembentukan enam kawasan federasi Yaman.


Langkah tersebut dipandang oleh kelompok syiah, Houthi sebagai upaya untuk melemahkan mereka. Namun, Hadi tetap ngotot dengan rencananya tersebut sehingga memicu pemberontakan yang dilakukan Houthi. Kini, Houthi memiliki misi baru, memggulingkan Hadi dan membentuk pemerintahan baru yang mereka inginkan.


Menurut pengamat Timur Tengah dari Purusha Research Cooperative, Mohammad Riza Widyarsa, yang dihubungi
VIVA.co.id
pada Senin malam, 13 April 2015, skala pemberontakan ini sangat masif. Hampir di semua area terjadi peperangan antara pasukan loyalis pemerintahan resmi Yaman dengan Houthi.


"Eskalasi peperangan kali ini jauh lebih besar jika dibandingkan tahun 2011 lalu. Saat itu, peperangan hanya terkonsentrasi di ibukota Sana'a dan Istana Kepresidenan, sehingga memaksa Ali Abdullah Saleh untuk mundur dari jabatannya. Sementara, sekarang hampir semua wilayah utara, barat dan selatan Yaman tengah berperang," papar Riza.


Justru, WNI, kata Riza, banyak terkonsentrasi di wilayah selatan, seperti di kota Hadramaut. Hal ini lantaran WNI lulusan pesantren di Yaman dianggap memiliki kualitas setara dengan lulusan santri dari Saudi atau Mesir.


Sementara, Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu, Lalu Muhammad Iqbal, menjelaskan sejak Februari lalu, Yaman telah dikategorikan masuk keadaan darurat satu.


"Artinya, seluruh skenario dan opsi yang ada harus digunakan. Semua pihak yang berada di Jakarta harus ikut terlibat dalam proses evakuasi," kata Iqbal.


Oleh sebab itu, dibentuk lah tim percepatan evakuasi WNI yang terdiri dari unsur Polri, TNI AU, Kemlu dan Badan Intelijen Nasional (BIN) yang dikirim ke Yaman dan Oman untuk mengevakuasi WNI sejak tanggal 1 April lalu. Selain itu lima Kedutaan Besar di lima wilayah ikut dilibatkan.




Namun, tidak semua WNI bersedia dievakuasi. Sebagian dari mereka masih merasa situasi di Yaman belum begitu genting, sehingga mereka menolak untuk dievakuasi.


Iqbal menjelaskan, masih ada sekitar 800 WNI yang hingga saat ini masih enggan untuk dievakuasi. Berdasarkan data yang ada di catatannya, mereka kebanyakan bermukim di bagian timur Yaman, yakni kota Tarim dan Mukalla.


"Tim evakuasi sudah menemui mereka dan membuka pendaftaran seluas-luasnya. Pendaftaran sudah dibuka lebih dari seminggu dan hingga kini belum ada yang mendaftar," kata Iqbal.


Dia menambahkan, pemerintah tidak bisa memaksa para WNI untuk pulang. Mereka hanya bisa menghimbau dan memfasilitasi kepulangannya ke Tanah Air.


Kendati begitu, Pemerintah Indonesia tidak patah arang. Juru bicara Kemlu RI, Arrmanatha Christiawan Nasir, mengatakan pemerintah memiliki strategi khusus.


Tim percepatan evakuasi WNI ikut mendekati beberapa habib di perguruan tinggi dan pesantren di kota Tarim, Yaman. Hal ini supaya pihak pesantren ikut mendorong supaya WNI bersedia pulang ke Indonesia.


"Pada intinya, habib mendukung Pemerintah Indonesia untuk melakukan evakuasi, dalam kaitan ini mereka mencari jalan keluar terhadap kekhawatiran WNI kita yang sedang menempuh studi di sana," ujar Tata, pekan lalu.


Dia menambahkan, pihak pesantren turut menawarkan opsi bagi para pelajar yang tengah menimba ilmu di kota Hadramaut, mereka tak perlu mengulang studi selama satu tahun saat dievakuasi ke Indonesia lalu kembali ke Yaman.


"Namun, apabila kondisi memburuk, maka mereka akan mencari solusi, apakah bisa mengikuti ujian di Indonesia," ujar diplomat yang pernah ditugaskan di Jenewa, Swiss, itu.


Tata berharap WNI bersedia dievakuasi, karena situasi di Yaman sangat tidak menentu.


Bujukan juga disampaikan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Melalui keterangan tertulis yang diterima
VIVA.co.id
, Lukman mengimbau agar seluruh WNI yang masih bermukim di Yaman untuk segera kembali ke Indonesia. Bahkan, WNI di sana juga diminta agar tidak ikut berperang dengan membela salah satu kelompok yang tengah bertikai.


"Peperangan itu lebih karena perkara politik berebut pengaruh dan kuasa. Masih banyak medan jihad di Tanah Air yang lebih substansial dan dibutuhkan bagi kemaslahatan sesama," ujar Lukman.


Terlebih, Lukman melanjutkan, bertindak di negeri orang, apalagi dengan cara kekerasan hingga terjadi jatuhnya korban, bukan bagian dari jihad.


"Berjihadlah di Tanah Air dengan membangun peradaban demi wujudkan kesejahteraan bagi sesama," imbuh dia.


Perlu Dialog


Lama atau tidaknya WNI berada di Tanah Air sangat tergantung dari situasi keamanan di Yaman. Bisa jadi, butuh waktu lama untuk kembali ke Yaman, jika peperangan masih juga meletus.


Menurut Riza, jika ingin konflik peperangan di Yaman mereda, maka semua pihak yang bertikai harus duduk dan berdialog. Bukan dengan mengangkat senjata hingga kemenangan diraih oleh salah satu pihak.


Bahkan, pengamat lulusan Program Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia itu menyarankan agar perundingan turut melibatkan dua kekuatan regional di kawasan yakni Arab Saudi dan Iran.


"Kalau umpamanya dua kekuatan regional ini tidak bertemu dan menunjukkan itikad baik untuk berunding di masa krisis Yaman, maka tidak ada akhir untuk konflik tersebut. Sebab, dunia sudah tahu, dalam konflik itu masing-masing negara mendukung pihak yang mana," kata Riza.


Dia menambahkan, secara psikologis akan lebih baik jika Iran dan Arab Saudi untuk berunding, karena kedua negara bisa mendorong kelompok-kelompok di Yaman mencari perdamaian.


"Cara itu jauh lebih efektif ketimbang hanya menghadirkan beberapa kubu yang tengah bertikai di Yaman namun, Iran dan Arab Saudi absen di meja perundingan. Justru, jika mereka absen, terbuka celah untuk kembali pecah peperangan," imbuh Riza.


Namun, harapan melihat keduanya duduk di satu meja sulit terealiasasi. Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Saud al-Faisal, pada Minggu kemarin justru menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap seruan Iran untuk gencatan senjata.


Padahal sudah lebih dari dua pekan serangan udara yang Saudi lancarkan telah menewaskan lebih dari 500 orang.


"Bagaimana mungkin Iran meminta kami untuk menghentikan peperangan di Yaman. Justru, kami datang ke Yaman untuk membantu pemerintahan yang sah dan Iran tidak berwenang di Yaman," tutur al-Faisal ketika memberikan keterangan pers bersama Menlu Prancis, Laurent Fabius di ibukota Riyadh seperti dikutip kantor berita
Reuters
.


Saudi justru berharap Iran tidak ikut campur dalam konflik di Yaman. Resolusi di PBB yang diajukan oleh Rusia untuk meminta jeda kemanusiaan di Yaman pun diabaikan.


Pada akhir pekan kemarin, anggota Dewan Keamanan PBB malah sibuk melakukan pemungutan suara untuk resolusi berisi permintaan agar memasukkan putra mantan Presiden Yaman, Ahmed Saleh ke dalam daftar hitam. Selain itu, di dalam resolusi juga tertera embargo senjata kepada kelompok pemberontak Houthi.


Justru, melihat hal tersebut, Riza khawatir peperangan yang terlalu lama di Yaman justru bisa mengubah negara itu layaknya Suriah kedua atau Somalia yang seolah tidak memiliki pemerintah. 


"Karena ini yang ditakutkan banyak orang. Sebab, Yaman memiliki jalur penting bagi ribuan kapal yang melintas setiap tahunnya melalui Teluk Arab," kata dia. (umi)


![vivamore="
Baca Juga
:"]





[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya