Bersih-bersih Minuman Beralkohol di Minimarket

Ilustrasi minuman beralkohol.
Sumber :
  • iStock

VIVA.co.id - Mulai Jumat 17 April 2015, kebijakan larangan penjualan minuman beralkohol di minimarket efektif diberlakukan. Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Permendagri tersebut melarang penjualan minuman beralkohol golongan A, yakni yang memiliki kadar alkohol di bawah 5 persen. Antara lain, jenis bir dilarang dilakukan di minimarket dan penjualan hanya boleh di supermarket atau hipermarket, namun hanya boleh dikonsumsi di lokasi.

Ketahui Efek Jangka Panjang Minuman Alkohol untuk Kesehatan

"Efektifnya 17 April 2015. Kan, ditandatanganinya Januari tanggal 16 dan selesainya tanggal 16 April," kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Srie Agustina di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis 16 April 2015.

Sementara itu, Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, mengklaim telah membicarakan aturan ini bersama dengan pengusaha minimarket. Bahkan, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan aturan tersebut pada Januari 2015.

Peneliti: Alkohol Penyebab Kanker di Beberapa Bagian Tubuh

Pemerintah pun telah memberikan waktu tiga bulan, dari terbitnya Permendag tersebut, kepada minimarket untuk "bersih-bersih" minuman beralkohol dari rak sajinya.

Selain melindungi kesehatan konsumen, Rachmat menegaskan bahwa minimarket sudah berada di permukiman, serta dekat rumah ibadah dan sekolah. Ini, kata dia, membuat bir dan minuman sejenisnya lebih mudah diakses oleh masyarakat, terutama konsumen berusia di bawah 21 tahun.
DPRD Surabaya Sepakati Larangan Total Minuman Beralkohol

"Minuman beralkohol sangat murah di Indonesia, sehingga bisa dibeli oleh anak-anak. Lebih murah daripada di Malaysia dan Singapura. Ini yang harus kami jaga. Malaysia dan Singapura mengontrol lebih ketat daripada Indonesia," kata dia di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis 16 April 2015.

Selain itu, Rachmat melanjutkan, Kementerian Perdagangan mendapatkan keluhan terhadap minuman keras yang dijual di minimarket. Dia menyampaikan, ada pelanggaran yang dilakukan minimarket ketika aturan sebelumnya tentang penjualan minuman beralkohol di bawah kadar 5 persen diberlakukan. Misalnya, kasir menanyakan kartu identitas pembeli ketika ada konsumen yang membeli minuman beralkohol di minimarket.

"Artinya ada pelanggaran dan tidak menanyakan cukup umur atau tidak. Oleh karena itu, saya bilang sekaligus saja tidak ada minuman beralkohol berkadar di bawah 5 persen yang boleh dijual di minimarket supaya jelas (larangannya)," ungkapnya.


Berlaku di seluruh Indonesia

Aturan ini, kata Rachmat, berlaku di seluruh Indonesia. Kalau ketahuan minimarket yang menjual bir, izin perdagangan minimarket itu akan dicabut. Dia pun mengatakan bahwa pengawasannya akan dilakukan oleh pemerintah daerah.

"Saya sudah berbicara sama Menteri Dalam Negeri (Tjahjo Kumolo) menyampaikan hal ini. Tujuan kami (melarang penjualan minuman beralkohol di minimarket) merupakan bagian dari menjaga generasi muda kita," tuturnya.

Di sisi lain, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan (juklak) penjualan minuman beralkohol golongan A di daerah wisata. Alasannya, karena pengecer tak bisa lagi mendapatkan minuman beralkohol, seperti bir di minimarket.

Menanggapi hal tersebut, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Srie Agustina, mengatakan bahwa menteri perdagangan menerima keluhan-keluhan dari pengecer ketika berdialog. Di Bali, ada sekitar 600 orang pedagang eceran yang mendapatkan minuman alkohol berkadar di bawah 5 persen itu dari minimarket.

"Mereka biasa melayani turis asing untuk minuman beralkohol yang biasanya mereka dapat dari minimarket. Kemudian dijual di Pantai Sanur atau Pantai Kuta. Mereka mempertanyakan, kalau minimarket dilarang, ke mana mereka membelinya," kata Srie.

Pihak kementerian pun angkat bicara dan menyatakan bahwa hanya minimarket yang dilarang berjualan minuman beralkohol golongan A, sedangkan pedagang eceran masih diperbolehkan. Dengan demikian, pedagang bisa mendapatkannya di supermarket atau hypermarket.

Namun, lokasi pasar swalayan itu belum tentu dekat dengan pengecer. Untuk itulah, pemerintah menyusun petunjuk pelaksanaan aturan larangan bir dijual di minimarket.

"Isinya, kalau di daerah yang ada peraturan daerah yang menunjukkan lokasi itu merupakan lokasi wisata, pedagang eceran boleh menjual minuman beralkohol golongan A," ujar Srie.

Akan tetapi, para pedagang tersebut harus tergabung dalam satu wadah kelompok usaha bersama, baik dalam koperasi, BUMN dan BUMD. Pengecer pun harus terdaftar dalam kelompoknya.

"Dalam pelaksanaannya, mereka bisa bekerja sama dengan hotel, bar, restoran, supermarket, atau hypermarket untuk pengadaannya," tuturnya.



Pemerintah daerah pun turut mengawasi pelaksanaan aturan ini. Tim pengawasnya sudah dibentuk dengan pihak-pihak yang masuk ke dalam tim itu adalah bupati, wali kota, dan pemerintah daerah.

"Boleh melibatkan tokoh agama sepanjang diperlukan," terangnya.

Berdasarkan pantauan VIVA.co.id, terlihat pemandangan yang tak biasa di sejumlah minimarket, karena tak ada lagi yang menjual minuman beralkohol tersebut, seperti bir. Sebuah outlet minimarket 7-Eleven di Tugu Tani, Jakarta misalnya, sudah bersih dari bir.

Di satu sisi toko, ada empat lemari pendingin berpintu kaca. Di sana diletakkan minuman-minuman berbagai jenis, mulai dari air mineral hingga minuman berkarbonasi. Tak tampak deretan minuman yang berupa minuman beralkohol.

Seorang karyawati 7-Eleven yang enggan menyebutkan namanya, mengatakan bahwa outlet ini tak lagi menjual minuman beralkohol. Outlet 7-Eleven ini menyetop pesanan minuman beralkohol per Maret.

Karyawati ini menjelaskan, biasanya mereka menaruh minuman beralkohol terpisah dari minuman lainnya. Ada lemari pendingin khusus untuk minuman beralkohol semacam bir.

Selain itu, di pintu kaca lemari, tertulis bahwa bir hanya boleh dibeli oleh konsumen berusia di atas 21 tahun. "Karena di sini bir kurang laku dan ada larangan, kami menyetop penjualan bir," kata dia.

Minimarket bersih-bersih

Terhadap aturan yang diterapkan tersebut, kini telah menimbulkan polemik baru, baik kepada para pengusaha maupun konsumen minuman beralkohol tersebut. Polemik muncul, seiring dengan ada yang mau tidak mau harus menaatinya, tetapi tak sedikit juga yang keberatan dan mengeluhkan tentang aturan itu.

Corporate Communication GM Alfamart, Nur Rachman mengatakan, penarikan minuman beralkohol di toko Alfamart, sudah dilakukan bertahap secara nasional sejak awal April ini.

"Terhitung sejak regulasi itu dikeluarkan pada Januari 2015, perusahaan sudah melakukan stop order ke semua supplier minuman beralkohol. Jadi, selama tiga bulan hingga regulasi berlaku efektif, penjualan di toko hanya untuk menghabiskan stok," ungkap dia melalui keterangan tertulis yang diterima VIVA.co.id, Kamis 16 April 2015.

Artinya, sejak awal pekan ini, semua jaringan toko Alfamart sudah tidak lagi menjual minuman beralkohol.

Sementara itu, GM Public Relations PT Modern Internasional selaku pengelola 7-Eleven Indonesia, Neneng Sri Mulyati, mengatakan bahwa per Kamis 16 April 2015, pihaknya tak menjual bir di outlet minimarketnya.

"Mulai hari ini, kami sudah tidak ada lagi produk bir (di minimarket kami)," kata Neneng ketika dihubungi VIVA.co.id.

Dia mengatakan, pengosongan sudah dilakukan secara bertahap usai aturan larangan penjualan bir di minimarket dikeluarkan. "Kami sudah menyosialisasikannya dan memberikan surat edaran kepada outlet-outlet kami," kata Neneng.

Bir, lanjut Neneng, berkontribusi kecil terhadap pendapatan minimarket. Tapi, dia tak bisa menyebutkan angka pastinya.

"Kecil banget, karena fokus kami kan menjual makanan dan minuman siap saji. Kalau minuman beralkohol itu additional product untuk konsumen. Kalau tidak menjual minuman beralkohol, tidak masalah," kata dia.

Sayangnya, hal ini malah dikeluhkan oleh konsumen. Seorang karyawan swasta, Alfian, mengatakan bahwa aturan ini justru telah menyulitkan konsumen untuk membeli minuman keras tersebut.

"Urusan orang mau minum apa harusnya tidak diatur pemerintah. Harusnya yang diawasi itu pembeli yang berusia di bawah 21 tahun," kata Alfian kepada VIVA.co.id di Jakarta.

Yang dikhawatirkan dari berlakunya aturan itu, kata dia, adalah menyuburkan perdagangan minuman keras ilegal seperti cukrik dan minuman keras oplosan.

"Betul, bisa menyuburkan penjual miras oplosan," kata Alfian.

Dia pun meminta agar pemerintah memperketat aturan penjualan minuman beralkohol. Misalnya, menindak tegas minimarket yang menjual minuman keras kepada konsumen berusia di bawah 21 tahun.

"Pengawasan minimarket diperketat. Aturan penjualan minuman beralkohol hanya ditujukan konsumen berusia di atas 21 tahun, ya benar-benar diawasi dan diberi sanksi tegas. Biar tegas, ya, tutup minimarketnya kalau jual ke orang yang di bawah umur 21 tahun," tegasnya.

Berpotensi matikan pariwisata

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat menyarankan, larangan minuman beralkohol tak diberlakukan di semua gerai. Djarot beralasan bahwa minuman beralkohol adalah salah satu kebutuhan pokok bagi warga pendatang.

"Jangan sampai ini mematikan pariwisata, bagi orang asing, bir kan bukan suatu hal yang terlarang, mereka terbiasa untuk konsumsi bir," ujarnya, Kamis, 16 April 2015.

Djarot mengungkapkan, selain untuk memenuhi kebutuhan warga asing yang datang ke Jakarta guna melakukan bisnis maupun wisata, minuman beralkohol juga banyak dipergunakan di hotel, kafe dan restoran, baik di DKI maupun di wilayah lain.

Meski demikian, Djarot dan jajarannya di Pemprov DKI akan mematuhi Permendag No.6/M-DAG/PER/1/2015 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol yang mulai resmi diberlakukan hari ini.

"Tetap, kita akan lakukan cek dan pemantauan agar kebijakan ini berjalan sesuai rencana," ujar Djarot.

Senada dengan Djarot, Pengurus DPP Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) Demisioner, Satria Hamid, menyayangkan keberadaan aturan ini.

Menurut Satria, keberadaan minuman beralkohol diperlukan di minimarket untuk memenuhi kebutuhan ekspatriat. Tak hanya itu, di daerah-daerah wisata, seperti Bali, minuman beralkohol yang berkadar di bawah 5 persen ini dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan turis asing.

"Ini bukan masalah mabuk-mabukan, tapi gaya hidup. Sayang sekali kalau konsumen jadi sulit membelinya," tutur Satria. (art)

![vivamore="Baca Juga :"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya