Rencana Eksekusi Mati Tetap Berjalan di Tengah Kecaman Dunia

Ilustrasi/Pengamanan di Lapas Nusa Kambangan saat eksekusi mati.
Sumber :
  • REUTERS/Darren Whiteside

VIVA.co.id - Bila tak ada penundaan, awal pekan ini adalah hari-hari terakhir bagi sepuluh terpidana mati kasus narkoba sebelum menghadapi regu juru tembak. Mereka semua sudah dikumpulkan di Pulau-penjara Nusakambangan untuk dieksekusi secara bergilir.

Johan Budi Harusnya Tanggapi Laporan Haris Azhar

Namun, di luar sana, masyarakat internasional lagi-lagi memberi sorotan tajam kepada Pemerintah Indonesia. Mereka, terutama Pemerintah dari negara-negara asal para terpidana mati itu, terus melobi sambil berharap Indonesia akan memberi pengampunan di detik-detik terakhir.

Tampaknya, harapan tinggallah harapan. Pemerintah Indonesia bersikukuh tetap segera melaksanakan eksekusi tahap dua terhadap 10 terpidana mati kasus narkoba.

Dua Tahun Haris Azhar Simpan Rahasia Freddy Budiman

Pemerintah, melalui Kejaksaan Agung sebagai pelaksana eksekusi, hanya sekadar menegakkan hukum. Aturannya, sudah jelas, hukuman mati bagi mereka yang kedapatan membawa atau mengedarkan narkoba mulai dari kadar tertentu. 

Tak pandang bulu, aturan ini berlaku baik bagi warga sendiri maupun warga asing. Para terpidana mati ini pun sudah diberi hak untuk menempuh proses hukum dalam upaya membatalkan eksekusi mati, walau hasilnya ternyata tidak seperti yang diharapkan.

Polri, TNI dan BNN Diminta Cabut Laporkan Haris Azhar

Tanda-tanda eksekusi mati kian dekat sudah terlihat jelas. Pemerintah sudah mengundang perwakilan Kedutaan Besar negara-negara para terpidana mati itu ke Lapas Nusakambangan pada Sabtu 25 April 2015.

Selain diberikan informasi terkait eksekusi, seluruh perwakilan itu diberikan kesempatan untuk masuk lapas dan menjenguk para terpidana. Para kerabat maupun anggota keluarga terpidana mati pun sudah diberi kesempatan untuk bertemu terakhir kali di Nusakambangan.

Surat notifikasi diberikan kepada perwakilan negara sebelum eksekusi dilakukan. Notifikasi tersebut diberikan paling singkat tiga hari sebelum eksekusi dilakukan.

Kejagung memang belum mengonfirmasi secara resmi. Namun, mereka telah mengonfirmasi bahwa eksekusi gelombang kedua akan dilakukan terhadap sepuluh terpidana.

Bila Sabtu, 25 April 2015, notifikasi sudah diberikan saat perwakilan negara para terpidana hadir di Nusakambangan, maka berdasarkan ketentuan eksekusi paling cepat dilakukan pada Selasa 28 April 2015 atau tiga hari setelah notifikasi diberikan.

Kuasa hukum salah satu terpidana mati, Raheem Agbaje Salami, Utomo Kareem, membenarkan kalau Kejagung telah membacakan notifikasi terhadap tujuh terpidana mati pada Sabtu kemarin.

"Salah satunya untuk Raheem, di dalam notifikasi dijelaskan bahwa pengajukan PK sudah ditolak. Kemudian di situ dijelaskan, Raheem akan segera dieksekusi pada hari Selasa, 28 April 2015," ujar Utomo di Lapas Nusakambangan, Minggu, 26 April 2015.

Menurut Utomo, saat notifikasi dibacakan, masing-masing terpidana dipanggil secara terpisah di suatu tempat.

"Narapidana yang mendapat notifikasi dipanggil. Persisnya siapa saja. saya tidak tahu," katanya.

Persiapan Final

Pelaksanaan eksekusi mati ini tidak hanya sebatas isu belaka. Persiapan-persiapan sudah dilakukan di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Misalnya saja, sudah terlihat nisan berbentuk salib yang di sana tertulis nama-nama para terpidana misalkan terpidana asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso.

Kemudian, sejumlah pengurus gereja, mempersiapkan peti mati yang akan akan dibawa ke Nusakambangan, tempat eksekusi mati dilaksanakan. Lalu, keluarga para terpidana mati yang telah menerima notifikasi eksekusi, melakukan kunjungan ke Nusakambangan melalui dermaga penyeberangan Wijaya Pura, Cilacap, Jateng, pada Minggu 26 April 2015.

Jauh hari sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah sudah menyatakan kesiapan pelaksanaan eksekusi mati gelombang dua di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jateng telah final. Persiapan teknis telah selesai dilakukan.

"Waktunya sudah dekat. Timnya sudah turun. Kami siap sekali dan sudah koordinasi dengan Brimob Polda Jateng," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Hartadi di Semarang, Selasa 7 April 2015.

Hartadi menjelaskan, seperti halnya teknis eksekusi mati gelombang satu beberapa waktu lalu, khusus persiapan di lokasi eksekusi gelombang kedua di Lapas Nusakambangan juga selesai. Segala prasarana, seperti regu tembak dari Brimob Polda Jateng, serta persiapan personil juga telah terkoordinasi dengan baik.

Khusus personil dari Kejati Jateng, kata Hartadi, instansinya juga menerjunkan tim penting seperti tim pidana umum, intel, serta tim yuridis dari masing-masing Kejaksaan Negeri yang berangkutan.

"Intinya, Jateng sudah siap. Jika eksekusi hari ini, atau besok kami sudah siap segalanya, " imbuh Hartadi.

Sejumlah regu tembak dari Polda Jawa Tengah juga telah siap menjalankan perintah eksekusi. Asisten Intelijen Kejati Jawa Tengah, Yacob Hendrik memastikan tinggal menunggu perintah Jaksa Agung, untuk melaksanakan eksekusi mati terhadap 10 terpidana mati gelombang dua ini.

"Bocoran waktunya belum. Tapi kita pastikan semua sudah di dalam. Terakhir Mary Jane yang pagi tadi dipindah dari Lapas Yogyakarta tiba di Lapas Besi Blok 5 Nusakambangan, " kata dia kepada VIVA.co.id di Semarang, Jumat 24 April 2015.

Hendrik menyatakan, sampai saat ini instansinya tidak menemui kendala berarti untuk mempersiapkan eksekusi mati gelombang kedua. Regu tembak dari Brimob Polda Jateng yang jumlahnya mencapai 140 personel juga sudah siap menunggu perintah eksekusi.

"Sesuai ketentuan undang-undang. Satu regu tembak jumlahnya 14 orang. Terdiri atas satu komandan dan regu. Ya jumlahnya kira-kira segitu (140 personil)," katanya.

Paska berkumpulnya 10 terpidana mati di LP Besi, lanjut dia, keamanan di Nusakambangan memang langsung diperketat. Baik di dalam maupun luar lapas, yakni di Dermaga Wijayapura, Cilacap.

"Keamanan sesuai dengan protapnya datang dari unsur Polda Jateng, Polres Cilacap dan unsur TNI/Polri. Intinya semuanya sudah siap," katanya.

Tekanan Dunia

Sikap tak mau kompromi pemerintah Indonesia atas eksekusi mati tersebut membuat dunia bereaksi. Sebab, permintaan mereka kepada Indonesia agar tidak mengeksekusi salah seorang warga mereka, Serge Atlaoui, tidak dipenuhi  Presiden Joko Widodo.

Berbicara di ibukota Baku, Azerbaijan, Presiden Francois Hollande mengancam akan ada konsekuensi diplomatik seandainya Atlaoui tetap dieksekusi pada Selasa malam.

mulai dari memanggil pulang Duta Besar Corrine Breuze, enggan berkunjung ke Indonesia hingga penghentian sementara diskusi kerja sama kedua negara yang dibahas di sela KTT G20 tahun lalu di Brisbane dilontarkan Hollande ke media.

Meneruskan sikap keras Sang Presiden, Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius, Selasa, 21 April 2015, menegaskan jika tetap bersikeras melanjutkan eksekusi mati terhadap warga negara Prancis.

"Kami tetap berharap untuk adanya pengampunan. Kami sangat memperhatikan dengan keputusan ini. Ancaman kematian yang jika dilakukan, jelas akan menimbulkan konsekuensi bagi hubungan Indonesia dan Prancis," kata Fabius.

Memang, sejak Jokowi dilantik sebagai presiden, pemerintahannya telah mengeksekusi mati enam orang, termasuk lima warga negara asing, yang mendapat reaksi keras dari pemerintah Belanda dan Brasil.

Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Corinne Breuze, mengatakan jika pelaksanaan eksekusi mati terhadap Serge Atlaoui tetap dilakukan, maka hal tersebut bisa berakibat terhadap . Saat ini, proses Peninjauan Kembali kasus Atlaoui masih terus bergulir di Mahkamah Agung.

Kendati Atlaoui telah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, namun, dia yakin PK Serge akan dikabulkan dan tak jadi dieksekusi mati.

"Apabila eksekusi Atlaoui tetap dilakukan, maka tidak mungkin tidak akan berakibat terhadap hubungan bilateral Prancis dengan Indonesia," ancam Breuze.

Breuze turut memprotes pemberitaan media yang seolah hanya menjadikan Atlaoui sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas dalam kasus pabrik produsen narkoba di daerah Cikande, Tangerang. Padahal, Atlaoui tidak pernah menangani bahan narkoba atau bahan kimia apa pun.

"Yang membuat kami terkejut adalah nama Atlaoui satu-satunya dalam kasus ini yang masuk dalam daftar terpidana mati. Belum lagi dia sering disebut-sebut akan segera dieksekusi mati," ujar Breuze.

Sementara, terpidana yang lain dalam kasus yang sama seperti kepala sindikat dan aktor utama lainnya, kata Breuze, justru tidak terancam akan segera dieksekusi.

Peranan Atlaoui dalam kasus itu, klaim Breueze, hanya sebagai ahli kimia. Pernyataan itu didukung kesaksian dari terdakwa lain maupun polisi.

Di dalam permohonan grasi yang diajukan kepada Presiden RI, Atlaoui tidak pernah mengakui peranannya sebagai ahli kimia atau penyelundup narkoba.

"Dia mengakui tanggung jawabnya hanya sebagai teknisi pesuruh yang tidak pantas menerima hukuman mati," kata Breuze.

Dia pun menyayangkan isi laporan media yang kerap kali menyebut Atlaoui ditangkap dengan membawa barang bukti 138 kilogram sabu, 290 kilogram ketamine dan 316 drum precursor. Breuze tegas mengatakan pemberitaan itu bohong besar. Semua barang bukti itu disita oleh polisi bersamaan dengan penangkapan 17 tersangka.

Oleh sebab itu, Breuze berharap permohonan upaya PK yang pertama ke Mahkamah Agung berharap agar MA bisa memeriksa secara seksama berkas PK dan mengeluarkan putusan yang adil dan independen.

Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum Atlaoui, Nancy Yuliana, mengatakan selain melalui jalur Mahkamah Agung, mereka juga melakukan upaya perlawanan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Kami meminta keadilan terhadap hak klien kami, di mana dalam kasus ini, dakwaan terhadapnya disamakan dengan dakwaan lainnya," ujar Nancy.

Dia pun mempertanyakan alasan Atlaoui yang harus dieksekusi terlebih dahulu, padahal masih ada terpidana mati lainnya yang grasinya juga telah ditolak.

"Mengapa Atlaoui yang harus didahulukan? Apakah itu karena penolakan langsung grasi dari Presiden, kemudian Jaksa Agung menilai itu harus disegerakan?," tanya Nancy.

Reaksi serupa juga ditunjukkan oleh Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop. Bishop kembali mengajukan permohonan pembatalan eksekusi mati terhadap dua terpidana mati warganya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

"Saya sekali lagi dengan hormat memohon Presiden Indonesia untuk mempertimbangkan penolakan beliau untuk memberikan pengampunan. Tidak ada kata terlalu terlambat untuk mengubah hati," kata Julie Bishop dalam keterangan resminya yang diterima VIVA.co.id, Sabtu 25 April 2015.

Julie Bishop mengatakan telah berbicara dengan Raji, ibunda Myuran Sukumaran. Dalam permbicaraan itu, Julie berjanji akan terus berupaya meminta pengampunan dari Presiden Joko Widodo.

"Mereka telah direhabilitasi dengan cara yang sangat bagus selama lebih dari 10 tahun dan benar-benar menyesali kejahatan serius mereka. Tidak ada yang akan didapatkan dan lebih banyak yang akan hilang jika dua pemuda Australia ini dieksekusi," ujar Bishop.

Bishop mengatakan, tidak tahu kapan kedua terpidana mati yang tergabung dalam jaringan narkotika Bali Nine itu akan dieksekusi. Namun, pemerintah Indonesia telah memberikan sinyal kepada pejabat kedutaan besar Australia di Jakarta bahwa kedua terpidana akan menjalani eksekusi mati dalam waktu yang tak lama lagi.

Tak berhenti, Bishop juga melontarkan isu adanya skandal suap dalam proses peradilan dua warganya, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Bishop menyebut rumor mengenai permintaan suap kepada hakim itu sangat serius dan menjadi tanda tanya besar dalam proses pemberian hukuman peradilan di Indonesia.

Menurut laporan harian Australia, Sydney Morning Herald, yang mengutip pernyataan mantan pengacara dua gembong narkoba, Muhammad Rifan, para hakim sempat meminta uang sebesar AUD$130 ribu, atau Rp1,7 miliar. Jika uang itu diberikan, mereka akan memberikan hukuman kurang dari 20 tahun.

Terkait tuduhan itu, Jokowi mengaku heran dengan klaim Australia. Menurut dia, seharusnya isu tersebut sudah disampaikan Negeri Kanguru bertahun-tahun yang lalu.

"Kenapa mereka tidak menyampaikan hal itu sebelumnya, ketika misalnya permintaan suap terjadi," tanya Jokowi yang baru tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma usai menghadiri KTT ASEAN. 

. Dia melobi Presiden Jokowi agar salah satu warganya, Mary Jane, terhindar dari eksekusi mati sia-sia.

Presiden Benigno mengajukan permohonan, agar membatalkan eksekusi bagi Mary di sela KTT ASEAN di Kuala Lumpur. Benigno memohon atas dasar pertimbangan kemanusiaan.

Menurut juru bicara Presiden Benigno di Kuala Lumpur, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tersentuh dan bersimpati usai mendengar permohonan Benigno. Jokowi disebut akan berkonsultasi dengan Jaksa Agung terkait kasus Mary.

Tak hanya negara-negara yang warganya akan dieksekusi oleh Indonesia, tekanan juga datang dari organisasi dunia sekelas . Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon meminta agar eksekusi terhadap 10 terpidana mati dibatalkan.

PBB menentang pelaksanaan hukuman mati dalam semua keadaan. Juru bicara Sekjen mengatakan Ban telah mendorong Jokowi untuk mempertimbangkan pengumuman moratorium hukuman mati di Indonesia dan tujuan akhir menghapuskan hukuman tersebut.

"Di bawah hukum internasional, jika hukuman mati digunakan untuk semua tindak kejahatan, seharusnya hanya digunakan untuk tindak kejahatan yang tergolong paling serius, yakni mereka yang terlibat tindak pembunuhan berencana dan hanya dengan tindak perlindungan yang sesuai," ujar jubir Ban dalam sebuah keterangan tertulis.

Sementara, tindak kejahatan penyalahgunaan narkoba, Jubir Ban menjelaskan, tidak termasuk ke dalam kategori tindak kejahatan serius.

Desakan ini kembali disampaikan PBB, setelah sebelumnya pernyataan serupa diungkapkan pada 14 Februari. Ban disebut telah menghubungi Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi dan menyatakan keberatannya terhadap eksekusi mati yang baru-baru ini kembali dihidupkan oleh Pemerintah Indonesia.

"PBB menentang hukuman mati dalam segala situasi. Sekjen memohon kepada otoritas Indonesia agar eksekusi terhadap sisa terpidana kasus narkoba tidak dilakukan," ungkap Jubir Ban, Stephane Dujarric.

Sementara, saat itu, Jubir Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir, mengatakan Pemerintah Indonesia justru berpendapat narkoba adalah tindak kejahatan yang serius. Banyak orang yang menderita dan meregang nyawa tanpa pandang bulu karena mengonsumsi narkoba.

Data yang pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi ada 50 generasi muda setiap harinya yang meninggal akibat narkoba.

"Per tahun kalikan 360 hari berarti 18 ribu, ada 4,5 juta generasi muda yang harus direhabilitasi," kata Jokowi pada awal Maret lalu.

Pada tahun lalu, pemerintah hanya bisa menyembuhkan 18 ribu korban narkoba per tahun. Sementara, mantan Gubernur DKI Jakarta itu memprediksi akan 400 ribu pengguna narkoba.

"Ini harus dilakukan, kalau nggak kalah dengan kecepatan," ujar dia.

Jalan Terus

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, tak bisa melarang negara-negara asing termasuk Prancis dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bereaksi atas hukuman mati di Indonesia.

Namun, menteri asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu tidak menggubris desakan, bahkan ancaman yang dilontarkan demi membebaskan para terpidana mati.

"Silakan saja. Mau 1.000 negara (mengancam dan berupaya membebaskan) silakan," ujar Tjahjo saat ditemui di Kantor Kemendagri, Senin, 27 April 2015.

Tjahjo menegaskan, Indonesia sebagai negara berdaulat di bidang politik punya hak untuk melaksanakan undang-undangnya. Kebijakan itu juga sebagai bentuk ketegasan pemerintah untuk menyelamatkan generasi muda di tengah kondisi darurat narkoba yang tengah dialami negara.

"Mau 1.000 Sekjen PBB, Pak Jokowi tetap pada prinsipnya," kata mantan Sekjen PDIP itu.

Tjahjo mengemukakan Presiden juga mempunyai keputusan hukum yang berdasar oleh pengadilan, dan oleh hakim. Selain itu juga sudah terbukti secara fakta hukum. Karenanya, hukuman mati tersebut harus segera diproses dan tidak bisa dibatalkan.

Presiden Jokowi dalam beberapa kali kesempatan menegaskan bahwa eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus narkotika di Indonesia tidak akan dikompromikan.

Menurutnya, vonis hukuman mati terhadap gembong narkoba merupakan hukum yang berlaku di Indonesia. Hukuman mati dan pelaksanaannya adalah bagian dari kedaulatan bangsa Indonesia.

Kejaksaan Agung memastikan bahwa eksekusi mati tahap II akan dilakukan serentak. Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, eksekusi tidak mungkin dibatalkan.

Prasetyo mengatakan bahwa Kejaksaan Agung menghormati proses hukum yang masih dijalani para terpidana meski menurutnya hal itu sudah tidak mungkin lagi dapat mengubah keputusan terkait pelaksanaan eksekusi mati.

"Kita tunggu putusannya seperti apa, itu kan hak hukum mereka, yang mestinya sudah tidak perlu lagi mereka ajukan PK karena sudah ada grasi kan," kata Prasetyo.

Jelang eksekusi ini, Prasetyo mengungkap adanya lobi-lobi asing. Lobi-lobi itu dilakukan negara yang warganya akan dieksekusi.

"Negara-negara yang warganya dipidana mati pasti akan sangat melakukan pendekatan ke pemerintah," ujar Prasetyo, Senin, 27 April 2015.

Prasetyo menjelaskan, lobi-lobi itu dilakukan dalam upaya untuk menyelamatkan warga negara mereka dari hukuman mati. Namun, menurut dia, lobi-lobi itu tidak ditujukan langsung kepadanya, meski tak dijelaskan pula kepada siapa. Dia hanya menjelaskan bahwa dia dilarang berhubungan atau berkomunikasi dengan pihak-pihak itu.

"Saya, kan, tidak boleh berhubungan langsung dengan pihak-pihak tersebut," ujarnya.

Presiden Jokowi sendiri tidak bersedia memberi komentar mengenai ancaman Presiden Prancis, Francois Hollande, yang akan memutus hubungan diplomatik dengan Indonesia, bila tetap melaksanakan hukuman mati.

"Nanti ditanyakan saja ke Kejaksaan Agung," ujar Jokowi, sebelum keberangkatan menuju Kuala Lumpur Malaysia di Bandara Halim Perdanakusumah Jakarta, Minggu 26 April 2015.

Lebih jauh, saat ditanya tanggapannya mengenai Presiden Prancis yang  berencana menemui Perdana Menteri Australia Tony Abbott Senin mendatang untuk membicarakan hal ini, Jokowi hanya menanggapi dengan senyuman.

Presiden Prancis mengancam akan memulangkan duta besarnya dari Jakarta. Bahkan, kerja sama dengan Presiden Joko Widodo pada KTT G20 November silam juga akan dibatalkan.

Namun, Jokowi tak berkomentar dan hanya memberi respons dingin dan sepertinya tidak akan mengubah keputusannya dalam memerangi perdagangan narkoba.

Meskipun tak berniat menghentikan eksekusi mati, 10 terpidana tidak akan dieksekusi sekaligus. Kejaksaan Agung menunda mengeksekusi Terpidana mati asal Prancis, Sergei Areski Ataloui. Untuk sementara, nama yang bersangkutan disisihkan dari daftar eksekusi gelombang kedua.

"Kemungkinan yang dieksekusi (Sergei) tidak akan diikutkan dari 10 terpidana. Ini berarti tinggal sembilan," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Tony Spontana, saat dihubungi, 27 April 2015.

Menurut Tony, penundaan ini murni karena kejaksaan menghormati upaya hukum yang masih dilakukan Sergei. Dia membantah kabar tentang adanya tekanan dari pemerintah Prancis.

"Bukan karena tekanan Presiden Prancis," ujarnya.

Tony membenarkan jika Sergei kembali mengajukan perlawanan hukum terhadap keputusan Presiden tentang Grasi ke PTUN.

"Dia mendaftarkan perlawanannya pada menit-menit terakhir batas waktu pengajuan yakni di hari Kamis 23 April, pukul 16.00," imbuh Tony.

Tony menegaskan bahwa eksekusi tetap akan dilakukan terhadap Sergei. Namun, Kejaksaan Agung masih memberi kesempatan terhadap yang bersangkutan untuk menempuh proses hukum.

"Jika kelak putusan ditolak di PTUN maka Sergei akan dieksekusi," tegas Tony.

Selain Sergei, Kejagung juga masih menunggu putusan MA terkait pengajuan PK dari terpidana Zainal Abidin.

Sebelumnya, nasib Mary Jane juga masih dipertanyakan karena yang bersangkutan mengajukan PK kedua. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, memutuskan pada Senin petang, 27 April 2015, bahwa permohonan PK warga Filipina itu tidak dapat diterima.

Alasan PK kedua yang diajukan itu tidak dapat diterima adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014. Dalam SEMA itu, PK hanya dapat diajukan satu kali.

Meski pasal yang mengatur pengajuan PK hanya satu kali pada KUHAP sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, Marliyus menyebutkan masih ada dua pasal pada undang undang lain yang belum dianulir, yakni pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 24 ayat 2 yang berbunyi terhadap putusan Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali.

Marliyus juga menyebut pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 pasal 66 ayat 1 berbunyi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali.

Terkait nasib Mary, Jokowi telah berbicara dengan Jaksa Agung HM Prasetyo. Pembicaraan ini dilakukan setelah Presiden Filipina Benigno Aquino
III menemui Jokowi untuk memberikan pengampunan bagi Mary Jane.

Namun, ketika ditanya apa hasil keputusannya setelah berkonsultasi dengan Jaksa Agung, Jokowi enggan membeberkannya.

"Tanya ke Bu Menlu (Retno Marsudi). Karena yang di Malaysia kan bu Menlu. Tolong sampaikan ke Presiden Aquino seperti..seperti ini," kata Jokowi usai menghadiri forum silaturahmi Pers Nasional di Jakarta, Senin 27 April 2015.

Saat ini Aquino memang tengah menghadiri KTT ASEAN di Malaysia. Di acara itu pula, dia menemui an melobi Jokowi. Namun, Jokowi memberikan sinyal bahwa eksekusi mati bagi terpidana narkoba harus tetap berjalan. Sebab, menurutnya saat ini Indonesia tengah darurat narkoba. Inilah yang dia minta kepada media untuk menjelaskan berapa orang yang tewas karena narkoba.

"Setiap hari ada 50 generasi muda kita mati karena narkoba. Kalau di hitung setahun, ada 18 ribu, itu yang harus di jelaskan. Jangan yang dijelaskan yang dieksekusi, jelasin dong nama-nama 18 ribu itu siapa saja," ujarnya.

Kemudian, kata Jokowi, banyak korban narkoba pula yang saat ini tengah direhabilitasi. "Mereka berguling-guling, meregang, berteriak-teriak," imbuhnya.

Sehingga Jokowi ingin media lebih menyoroti bagaimana korban narkoba ini tersiksa dan tewas. "Jangan dibandingkan satu orang dengan 18 ribu orang itu," lanjutnya.

Lalu apakah Jokowi tidak akan memberikan pengampunan bagi Mary Jane?

"Saya tidak akan mengulang, itu kedaulatan hukum. Saya tidak akan mengulangi," tegas Jokowi.

Berikut 10 terpidana mati pada eksekusi tahap kedua:

1. Andrew Chan (Australia).
2. Myuran Sukumaran (Australia).
3. Martin Anderson (Nigeria).
4. Raheem Agbaje Salami (Nigeria).
5. Rodrigo Gularte (Brasil).
6. Sylvester Obieke Nwolise (Nigeria).
7. Okwudili Oyatanzel (Nigeria).
8. Zainal Abidin (Indonesia).
9. Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).
10. Sergei Areski Ataloui (Prancis).

Laporan: Robbi Sofwan Amin/ Nusakambangan

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya